Noble Work"Apa kau takut?" Pertanyaan Dokter Ok Sujin mengalihkan atensi Taejun dari objek yang diamatinya sedari tadi.
"Ah... Tidak, Guru. Aku hanya heran. Kenapa seseorang harus dihukum mati di depan umum cuma karena nonton film?" Taejun mengembuskan napas bersamaan mengulas senyum prihatin. "Kenapa ya, orang bisa membunuh sesama semudah itu?"
Sore itu tepat tiga minggu setelah kedatangan para dokter baru. Dokter Kepala Ok sengaja mengajak Taejun memanen beberapa sayuran yang ia tanam di pinggiran lapangan golf di belakang markas. Orang bilang area berumput itu adalah lapangan golf paling berbahaya, sebab datarannya dipenuhi oleh ranjau tersembunyi. Lokasinya bersinggungan langsung dengan pagar berduri yang menjadi bagian dari garis batas negara. Pagar itulah yang barusan menarik perhatian Taejun.
Sedangkan yang dibicarakan Taejun adalah berita baru-baru ini tentang hukuman mati bagi dua pelajar Korea Utara lantaran menonton dan menyebarkan drama dari Korea Selatan.
"Pemerintah di sana takut tontonan seperti itu bisa merusak ideologi yang mereka bangun, Taejun. Lagipula... Kita tau seberapa benci mereka pada kita." Dokter Ok akhirnya bersuara, sementara Taejun mulai memetik daun-daun perila yang belum layu diterpa musim dingin. "Kebencian akan membutakan hati manusia sehingga kita bisa saja melakukan sesuatu di luar nilai-nilai kemanusiaan, sadar atau tidak."
"Kebencian..." Taejun meletakkan sayuran yang dipetiknya pada keranjang di tangan Sujin. Tatapannya menerawang sejenak sebelum kembali menunduk untuk mencabut tomat mini. "Seandainya kebencian bisa diredam, pasti tidak akan ada perang. Tidak akan ada orang-orang yang terpisah atau kehilangan anggota keluarganya."
Setelah lengang menguasai waktu beberapa saat, Dokter Ok terkekeh menyadari betapa muram wajah Taejun, lantas menepuk-nepuk pundak anak buahnya sembari berseru, "Kenapa emosional sekali sih? Tenang, anak muda! Itulah alasan kita ada di sini. Untuk meredam kebencian dan mencegah perang terjadi lagi. Kita punya tugas mulia, you know!"
Lawan bicaranya tersenyum seketika, lalu senyum itu berangsur menjadi tawa yang tertahan.
"Apa?" Sujin mengernyit penuh antisipasi, merasa terhina oleh tawa serta tatapan bawahannya.
"Guru, kau memanggilku anak muda padahal usia kita cuma terpaut 4 tahun. Jangan-jangan kau bohong soal umurmu ya?"
"Hah?" Kepala tim medis itu mencerna ucapan Taejun sebelum menyembur, "bohong pantatmu! Aku ini tidak pernah menua. Wajahku saja terlihat lebih muda dan lebih ganteng darimu. Bagaimana bisa kaukira aku bohong? Orang pasti percaya kalau kubilang umurku 25!"
Tawa Taejun semakin meledak-ledak mendengar omelan atasannya yang serapat dan secepat rapper kelas dunia. Ngomong-ngomong, mereka memang seakrab itu. Keduanya telah saling mengenal sejak Taejun menjalani masa koas di Rumah Sakit Universitas Seoul dengan Dokter Ok sebagai pamongnya. Waktu itu, hanya dalam satu bulan Kim Taejun berhasil membuktikan kecakapannya dalam menangani pasien kecelakaan di pusat trauma sehingga Ok Sujin yang merupakan dokter bedah umum senior begitu terkesan dan meminangnya sebagai tim kepercayaan setelah Taejun menyelesaikan dua tahun koas. Mereka hanya bekerjasama selama satu setengah tahun sebelum akhirnya Dokter Ok mendapat panggilan tugas di Camp Bonifas menggantikan kepala dokter yang telah wafat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rose Petals By The Frontier
General FictionIni kisah tentang kasih sayang, kerinduan, dendam, dan penyesalan. Tentang tiga lapis pagar besi berduri pemutus dua peradaban, pemisah sanak dari saudara, para suami dari istri, serta anak-anak dari orang tuanya. Namun, suatu ketika perbatasan itu...