A Rewind Time
Bukan perkara mudah bagi Taejun, menerima kenyataan bahwa sosok yang telah melahirkannya lebih dulu pergi sebelum mereka bertemu. Kasih sayang Ibu dalam sembilan tahun awal kehidupannya telah menjadi bagian permanen dalam laci memori, menimbulkan kerinduan yang terus menumpuk hari demi hari sepanjang hidup. Diam-diam pemuda Daegu itu bergulat dengan penyesalan yang menyakitkan, hampir setiap saat.
"Hyung! Astaga. Kenapa di sini?" Jungsuk setengah terpekik. Ia sempat kelimpungan mencari kakaknya beberapa menit lalu setelah mendapati kamar rawat Taejun kosong, sedangkan hujan turun deras di luar sana. Rupanya Taejun tengah duduk di kursi koridor luar, sekitar sepuluh meter dari kamarnya. Ia membungkus tubuh atasnya dengan selimut rumah sakit.
Langkah pemuda kekar itu terhenti ketika ia mendapati perangai berbeda Taejun. Alih-alih menyapa sumringah seperti biasa, kakaknya justru segera menunduk dalam sembari mengusap pipi dengan punggung tangan yang tak terinfus.
"Hyung? Kau kenapa?" Jungsuk mengernyit, lalu ikut duduk di samping Taejun dan menelisik wajah yang tertunduk itu.
"Cuma melihat hujan kok." Yang lebih tua lantas melempar senyum lebar. Namun, Jungsuk bisa melihat dengan jelas rona merah dan sembab di mata itu.
"Bohong."
"Tidak."
"Kau habis menangis, Hyung. Aku melihatnya."
Berangsur senyum Taejun berubah kecut. Ia kembali menatap jauh ke depan, ke arah rinai hujan dan alam yang sekelabu wajahnya saat ini. "Kenapa aku tidak bisa berbohong padamu, sih?"
"Kan Hyung memang payah soal itu," Jungsuk mencoba bergurau, tapi tak mampu mengusir kemurungan kakaknya.
"Tiga belas bulan, Jung." Taejun mulai bicara pelan setelah sekian detik. "Kalau aku lebih serius mencari, harusnya aku tidak menunggu sampai berita itu muncul untuk menemukan kalian. Iya, kan?"
Jungsuk tak berniat menyela keluh kesah kakaknya, sementara Taejun terlihat mendesah berat. Tatapannya turun ke lantai yang mulai basah oleh percikan air, pedih.
"Kalau aku lebih cepat, setidaknya aku bisa bertemu Ibu. Bisa bicara dengannya, memeluknya..," kemudian pemuda itu kembali menoleh pada adiknya, sayu. "Bagaimana rupa Ibu waktu itu, Jung?"
Yang ditanya sempat geming. Batinnya tersentil oleh pertanyaan sederhana yang terasa sarat kepedihan itu. Namun, Jungsuk tak mau ikut bersedih. Kakaknya membutuhkan dirinya saat ini. Maka ia mengangkat kedua sudut bibir sebisa mungkin, kemudian mencoba menghibur Taejun dengan caranya sendiri, menggenggam lengan yang lebih tua dan bersandar dengan hati-hati di pundak sang kakak -hal yang sering ia lakukan dulu, semasa kecil-.
"Ibu masih cantik, Hyung. Tubuhnya lebih gemuk daripada dulu. Wajahnya cuma keriput sedikit, tapi hampir seluruh rambutnya memutih. Satu gigi depan bagian kiri atasnya hilang setengah gara-gara jatuh di tempat kerja. Kalau tersenyum, giginya yang bolong pasti kelihatan. Sayangnya Ibu memang suka tersenyum lebar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rose Petals By The Frontier
General FictionIni kisah tentang kasih sayang, kerinduan, dendam, dan penyesalan. Tentang tiga lapis pagar besi berduri pemutus dua peradaban, pemisah sanak dari saudara, para suami dari istri, serta anak-anak dari orang tuanya. Namun, suatu ketika perbatasan itu...