Batu Nisan

3 1 0
                                    

“Kamu seperti kupu-kupu.”

Sekuntum mawar merah pasti tertawa mendengarnya. Kalimat yang keluar dari mulutmu selalu membuatku menaikan halis. Sering kali tidak nyambung tapi anehnya aku suka. Beberapa orang memandangi kami saat mereka berjalan. Tatapannya jijik. Tapi aku tidak peduli, aku hanya ingin didekatmu saja hari ini. Menghabiskan hari yang mendung.

“Kamu tau tidak kenapa kupu-kupu sering dikatakan tamu saat masuk rumah?”

Semua orang tahu itu. Aku tahu dari Oma. Kupu-kupu jadi tamu yang tidak diundang tapi anehnya disambut baik oleh pemilik rumah. Dia juga tidak mudah didekati, kenapa? Karena dia sudah merasakan sakit berkali-kali makanya dia susah didekati. Itu bukan kataku, tapi Fajar yang bilang. Aku bertanya kenapa dan Fajar menjelaskannya dengan bercanda. Katanya, karena banyak orang yang menginginkan kupu-kupu makanya dia lari. Dia tidak suka disukai oleh banyak orang, dia hanya mau disukai oleh waktu.

“Kamu tau kan aku suka sekali hujan.”

Jelas aku tahu. Kamu menjadi satu-satunya manusia yang menyukai hujan sampai kamu tidak bisa menyukainya lagi. Setiap ada masalah kamu sering merokok di bawah hujan. Dasar manusia aneh. Itu berarti hujan baik kepadaku Ta, dia tidak mau paru-paru ku rusak karena rokok. Kalau begitu, dia tidak usah menyalakan rokok saat bermain hujan, tapi katanya tidak bisa. Rokok yang basah itu adalah masalahnya, dan hujan menjadikannya padam.

“Tapi aku sudah tidak merokok.”

Aku yang melarangmu. Di taman dekat rumah bu Dini kamu bilang mau berhenti merokok, tapi di depan kampus kamu malah menghisapnya kembali. Itu karena Didin yang menyuruhmu kan? Agar kamu tidak di cap sebagai laki-laki yang takut pada perempuan. Sok tau kamu, itu salam perpisahan ku. Terserah kamu Jar, karena sekarang kamu sudah tidak merokok lagi.

Kamu ingat tidak Jar, dulu waktu kamu bilang mau mengajakku keliling kota Bandung, kamu harus berhadapan dulu sama papa. Kamu bilang ini adalah kiamat, sebentar lagi meteor jatuh langsung ke bumi tanpa kompromi. Aku jelas tertawa, mana ada meteor yang jatuh harus berkompromi dulu dengan manusia? Papa mengijinkan kamu, tapi pulangnya harus bawa martabak kacang spesial di dekat masjid agung. Setelah itu, setiap kamu mengajakku main, pulangnya pasti beli martabak kacang spesial untuk papa.

“Sebentar lagi hujan Ta.”

Oh ya? Aku tidak bisa merasakannya, bisa tidak hujannya dibatalkan saja Jar? Tolong bilang kepada Tuhan, aku masih mau mengobrol, aku belum bercerita tentang kamu yang suka menonton One Piece juga menunggu film Marvel terbaru. Fajar masih duduk bergeming.

“Kamu suka americano, tapi kamu tidak suka pahit, setiap minuman nya tidak habis, kamu memberikannya padaku sambil bilang 'Nanti americano nya marah' padahal yang beli kamu."

Itu bukan aku. Itu Sinta yang lain. Aku suka kok americano, tapi lebih suka kalau kamu yang habiskan. Jangan lupa sama roti tawar nya juga, setiap kita ke sana kamu selalu pesan roti tawar. Padahal apa enaknya roti tawar. Enak kok, cuma yang bisa rasain roti ini enak cuma aku. Fajar masih duduk walaupun rintikan hujan sudah membasahi rambutnya.

“Tempat itu sudah tidak ada, toko kopi sekaligus jadi tempat minum kopi itu sudah rata dengan tanah. Tau kenapa? Karena aku yang menyuruhnya.”

Ada-ada aja kamu Jar. Toko itu diruntuhkan karena dibangun di atas tanah sengketa. Pemiliknya tidak diberitahu saat membeli tanah itu dulu. Pak Redo nya sendiri yang bercerita. Aku penasaran dengan kabar Didin. Dulu dia pernah bilang kalau dia suka aku tapi sialnya kamu lebih dulu menembak ku. Dia juga bilang kalau kamu awalnya cuma main-main sama aku. Tapi tidak apa-apa, karena setelah Didin bilang seperti itu, kamu langsung mengajakku ke Bogor.

Seperti julukannya, Bogor kota hujan. Perjalanan kami juga hujan waktu itu. Deras sekali, tidak sempat untuk melipir dulu untuk berteduh karena kiri-kanannya hanya kebun yang tidak terurus. Kalo kita bisa melewati hujan besar, tidak ada lagi yang perlu kita takutkan, katanya.

“Aku mau pulang”

Fajar beranjak dari duduknya seraya mengusap batu nisan ku dengan lembut sambil tersenyum pilu disusul butiran hujan yang jatuh silih berganti.

Memeluk Angan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang