Matcha

13 2 0
                                    

Aku memasuki sebuah cafe bernuansa vintage. Lampu-lampu bergantung memancarkan warna jingga redup menambah kesan nyaman untuk sekedar menyesap kopi. Terdapat beberapa bangku kayu di pojok ruangan, beberapa lagi tersebar di pojok lain. Aku melangkah menuju seorang Barista yang mengenakan masker.

“Ada matcha?” tanyaku sembari melihat menu.

“Ada kak.”

“Kalo gitu saya mau matcha panasnya satu, terus sama croissant nya satu.” kataku.

“Baik kak, ditunggu.”

Aku mengangguk lantas melangkah menuju meja kosong di dekat jendela pojok. Aku melepaskan sejenak masker yang menutupi sebagian wajahku dari pagi. Sungguh, aku tidak bisa bebas bernafas selagi memakai masker. Semoga pandemi ini cepat selesai.

“Permisi kak, ini matcha dan croissant nya.” pengantar makanannya sama dengan yang mengambil pesananku. Aku melirik ke arah tempat aku memesan, ternyata hanya ada dua orang yang menjadi Barista. Temannya sedang sibuk melayani pelanggan lain.

“Iya, terima kasih.” kataku. Dia lantas pergi.

Suara gemuruh sudah terdengar. Sejak keluar kampus tadi, langit sudah tidak lagi bersahabat. Mendung dengan angin yang cukup kencang. Aku harus siap sedia membawa payung kalau seperti ini. Aku mencicipi matcha yang ku pesan. Enak sekali

Matcha memang tidak pernah mengecewakan. Rasanya seperti tenang dan damai.

Rintikan hujan terlihat dari balik kaca. Diikuti rintikan lain. Hujannya deras. Sepertinya aku akan lama berdiam di sini. Biarlah, toh aku suka dengan suasananya.

Aku melirik beberapa orang di cafe. Ada yang sedang mengerjakan tugas, fokus dengan laptop di depannya. Ada yang sekedar mengobrol dengan teman. Ada pula yang berpacaran di pojok dekat tempat pemesanan.

Oh ya, selagi menunggu hujan reda, lebih baik aku membaca novel saja. Aku beli kemarin di toko buku bekas. Penulisnya tidak terkenal dan menurutku dia sudah tidak menulis lagi. Apa urusanku?

Beberapa lembar telah aku baca, sebuah kilatan petir terlukis jelas. Aku sedikit terkejut, tapi itu tidak menghentikan aku membaca. Aku menoleh ke arah luar. Air sudah mulai mengalir deras. Apa di kawasan ini sering terjadi banjir?

“Sedang baca buku?” sebuah suara yang tidak asing terdengar. Sepertinya menegurku.

“Iya.” Barista tadi.

“Kalau boleh tahu buku apa?”

“Novel romansa, tapi penulisnya nggak terkenal. Saya baru beli kemarin dan baru baca hari ini.”

“Judulnya Matcha?”

Aku membalik buku. Melihat sampul dan membaca judulnya. Benar judulnya Matcha.

Aku mendongak. Barista di depan ku melepas masker. Aku tersentak. Kilatan petir disusul gemuruh terdengar menggelegar, seakan menambah suasana tegang.

“Hai, sudah lama sekali tidak ketemu.” katanya sembari menjulurkan tangan. Aku masih belum bisa mengatakan kata apapun.

“Gio?”

“Iya, aku Gio. Sekaligus penulis novel yang kamu baca.”

Memeluk Angan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang