Dua buih

1 1 0
                                    

“Kamu mau kemana?”

“Bukan urusan kamu.”

Malam itu menjadi malam pertama sekaligus malam terakhir aku bersama Dika. Beberapa jam lalu kami melangsungkan pernikahan di depan banyak orang. Disaksikan oleh kedua orang tua kami dengan ijab kabul yang khidmat. Senyuman dan tangisan menghiasi upacara pernikahan kami.

Tapi sebenarnya tidak seperti itu. Aku dan Dika menikah tanpa di dasari oleh cinta. Kami dipaksa menikah karena kedua orang tua kami adalah pemilik saham dari dua perusahaan raksasa. Mereka sepakat untuk menjodohkan kami. Makanya, di malam pertama ini, Dika pergi tanpa alasan yang jelas.

Aku meringkuk di atas ranjang. Sesuatu menusuk hatiku begitu dalam. Rasanya sakit sekali, perih. Dika tidak salah jika ingin pergi karena kami belum mengenal satu sama lain. Begitu pun dengan aku. Tapi, apa ini semua benar?

Walaupun kami terpaksa menikah, haruskah kami terus berpura-pura nantinya?

"Pulang jam berapa?" tanyaku lagi.

"Sudah aku bilang itu bukan urusan kamu,"

Pukul 12 malam.

Kami tinggal di rumah yang di belikan oleh ayah Dika beberapa bulan lalu, sekaligus menjadi mahar pernikahan kami. Ayahnya mau yang terbaik untuk anak laki-laki satu-satunya tersebut. Kini Dika sudah siap pergi, memakai kemeja hitam dan jeans robek-robek.

Dika seperti sedang mencari-cari sesuatu, aku beranjak dari ranjang, hendak mengambilkan handphonenya yang tergeletak di atas nakas. "Ini." kataku seraya memberikan handphone tersebut. Ia mengambilnya tanpa berterima kasih, lantas bersiap untuk lekas pergi.

"Kamu beneran nggak akan pulang? Di malam pertama kita?" tanyaku menegaskan.

"Urus aja urusanmu sendiri."

Dika pergi. Di malam pertama kami menjadi sepasang suami istri. Dari awal pernikahan ini memang tidak masuk di akal. Kedua orang tua kami yang haus akan materi mengorbankan kedua anak mereka pada jurang ketidaktahuan tentang dunia pernikahan ini.

Pemikiran singkat acap kali terbesit di kepalaku untuk menyerah saja dan mengakhiri semua ini dengan damai. Tidak ada lagi yang harus aku perjuangkan, dan aku sudah sangat lelah. Tapi, mama pernah bilang kalau aku menyerah, berarti aku kalah. Bahkam sebelum bertarung.

Dinginnya malam seakan menyadarkanku bahwa beginilah dunia pernikahan itu, sepi dan sendiri. Tapi, tidak semua demikian. Siapa yang harus aku salahkan? Oranh tua ku? Atau Tuhan? Ah, bahkan aku tidak sempat kepikiran untuk menyalahkan orang lain.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Memeluk Angan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang