⊡ Alternative Universe ⊡
Naruhina Fanfiction
Mature [21+]
Harap pembaca bijakGenre: Romance Metropolis.
Tolong Etika dipakai terkait ilu inistrasi yang ada di dalam fanfiksi ini, Terima kasih.
🌵🌵🌵🌵
Dia meyakinkan diri bahwa yang dilakukan saat ini merupakan bagian dari perjanjian mereka. Setidaknya dia punya alasan kuat andai pria dingin itu mempertanyakan kelancangannya. Tungkai diayun tenang, walau sebagian kegugupan berhasil mengendalikan. Ini pertama kalinya bagi Hinata menginjakkan kaki ke gedung besar perusahaan milik suami pura-puranya.
Berpasang-pasang mata melirik sarat tanda tanya yang tentu tiada bisa diucapkan. Beruntung dia diterima dengan baik oleh Kushina, hingga gampang baginya mencari informasi mengenai kondisi perusahaan ini. Hinata memburu langkah ketika mendapati kotak lift baru terbuka. Dia masuk bersama sepasang insan yang jika diamati merupakan karyawan di sini. Begitu denting lift berbunyi, Hinata dapat mendengar samar bisik-bisik di antara keduanya, hingga dia mengesah dengan gelengan kepala sebelum mendahului mereka.
"Kapan hari keberangkatan itu? Aku harus menyiapkan agendanya sekarang untuk memastikan perjalanannya terencana dengan baik."
"Itu yang masih aku pikirkan. Aku sedang mempertimbangkan waktunya. Apakah aku perlu meluangkan dulu waktu untuk Hinata atau sebaliknya."
"Kau habis salah bicara, ya? Atau kupingku yang bermasalah."
"Tidak, Ryusuke. Kami berdua mendiskusikannya tempo hari. Aku tidak mungkin berdiam diri setelah pernikahan itu. Apalagi ibu berpikir bahwa hubunganku dan Hinata bukan sebuah permainan." Dituturkannya dengan dagu berpangku di kedua telapak, melalaikan raut penuh selidik dari pria yang puluhan tahun berada di sisinya.
"Bayi tabung bukan perkara mudah, Devian. Orang-orang akan mencurigaimu bahkan sebelum pihak medis berhasil melakukan proses pembuahan."
"Aku tahu, maka dari itu aku sibuk memikirkan cara apa yang lebih tepat. Dan logikaku mengarah kepada pembuahan alami melalui seks, Hinata juga tidak keberatan jika memang kami terpaksa memilih jalan ini."
"Oh Tuhan, Devian. Kenapa kau bodoh sekali. Tidakkah kau merasa aneh terhadap fakta itu? Dia hanya gadis murahan yang kita temui di tempat pelacuran. Bagaimana jika kelak dia memakai anak hasil pembuahan kalian untuk memerasmu lebih banyak. Perempuan seperti dia menggilai uang. Pertimbangkan lagi niatmu itu, Dev. Kurasa cukup dengan kau membuat pernikahan kalian seperti pernikahan sungguhan, tanpa adanya rencana kelahiran bayi atau semacamnya. Kau membutuhkan cinta dalam mengurus seorang anak. Jadi, apa yang memupuk tekadmu untuk mewujudkannya? Kau lupa sebesar apa kau enggan melihat perempuan itu ketika pertama kali dia datang ke hadapan kita?!"
"Lalu, apa kau punya solusi untuk menunjukkan pernikahanku ini terlihat benar di mata orang-orang? Terutama ayah dan ibu."
Mereka hanyut di dalam keheningan sejenak. Sekadarnya saja, sebab bunyi rendah ketukan pintu menarik perhatian Devian. "Masuk!" katanya sebelum cukup tercengang ketika mendapati istri sandiwaranya menghampiri dia bersama senyum canggung.
"Dev, maaf bila mengagetkanku. Aku ingin mengajakmu makan siang, kau ada waktu?" Dadanya berdentum cepat, dia mengakui itu pada nalarnya. Tatapan dari turquoise lembut di depannya jelas sekali menimbulkan efek tak biasa. Hinata grogi.
"Ehm, aku free--" Sedikit meragukan tanggapannya kala Ryusuke refleks melemparkan pandangan menusuk. "Ya, tetapi aku telanjur juga mengajak Ryusuke untuk makan siang di luar." Barulah pria berparas androgini itu bisa curi-curi tersenyum puas.
"Begitu, ya..." Tersemat irama kekecewaan, Hinata meremas asal jemarinya sembari menggiring perhatian ke bawah. Dia merasa gagal dan entah kenapa menjadi kesal terhadap pria jangkung satunya di sana. Ryusuke tampaknya tak akan pernah memberi kenyamanan di sekitarnya, tidak sama sekali. "Mu-mungkin lusa atau lain kali saja saat kau bisa menyisihkan luangmu untukku." Devianaru terdetak, kejujuran dalam canggungnya Hinata menggugah simpatinya.
"Atau--aku pergi dengan Ryusuke begitu selesai denganmu."
-----
Padahal keduanya sudah tiba di resto. Namun, perlakuan kecil Devian ketika di kantor tadi masih juga terngiang-ngiang di benak Hinata. Itu pertama kalinya dia mendapatkan sedikit afeksi dari suami pura-puranya, sehingga dampak yang dia terima tak main-main mengusik hati.
"Pesan saja apa yang kau mau. Ini makan siang santai, sambil barangkali kau berencana menjelaskan rencana waktu itu dengan lebih terperinci." Sikap dingin dibarengi kepedulian pada ucapannya sekadar menambah daya tarik pada sosok pengusaha muda ini. Devian tengah mengamati daftar menu di genggaman, menawarkan serta si partner yang sejak tadi betah menunduk diam.
"Aku merasa tidak enak pada Ryusuke karena menggagalkan acara kalian." Daripada terus-menerus bungkam, Hinata mengutarakan asal apa yang terlintas.
"Tidak perlu memikirkannya, aku bisa pergi nanti. Pertemuan itu kebanyakan berhubungan dengan pekerjaan."
"Ya--aku hanya sungkan. Kelihatan di wajah Ryusuke, dia tidak menyukai keputusanmu."
"Dia memang orang yang seperti itu, pengalihan atau ingkar janji bukan gayanya."
"Jadi, kenapa kau mengubahnya? Mungkin saja sebenarnya dia ingin marah padamu."
"Langsung ke tujuan kita ke sini setelah kau memilih menu yang kau mau, pelayannya sudah datang." Lalu, Hinata menyadari bahwa tindakannya melalui batas, Devianaru memotong kalimatnya.
"Baiklah, aku minta maaf."
"Tidak masalah--bisa kau katakan pada mereka untuk mengurangi rasa pedasnya?" Si pelayan mengangguk saat menyimak keterangan yang dibubuhkan Devian pada menu pilihannya. "Tolong tehnya lebih kental, ya dan tanpa tambahan gula."
Lalu, Hinata tak perlu repot-repot menyematkan ini dan itu pada makanan yang dia pilih. Gugup tidak mengizinkannya untuk dapat leluasa dengan gampang.
"Sebelum menjumpaimu aku sempat menghubungi Ibu Kushina. Dia yang memberitahuku alamat juga sebagian kecil situasi di dalam."
"Oh, berarti ibuku tahu kau mampir ke kantor?"
"Iya. Awalnya dia mengajakku untuk menemaninya datang ke jamuan makan yang diadakan temannya. Dan setelah berpikir ulang, ibu Kushina justru ragu dan membatalkannya."
"Ah, aku mengerti. Dia bosan ketika kumpulan itu mulai memperdebatkan tentang barang-barang branded atau liburan eksklusif mancanegara."
"Aku mendengarnya dari Ibu Kushina. Mereka cuma komunitas penggosip, begitu katanya." Kendati keramahan tadi mengagetkan dia, Hinata malah menikmati kesenangan lain sebab bisa mengobrol ringan dan damai bersama Devian.
"Ibuku benci perkara yang berbau sia-sia, semacam perbincangan kosong tentang seberapa besar kau sanggup menghabiskan jumlah kekayaanmu pada waktu tertentu. Ibu gemar menabung, belanja hanya jika memang dia menyukai barang itu. Lalu, selebihnya dia mengolah uang untuk didonasikan ke yayasan atau sekolah-sekolah yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah."
"Dia tidak seperti wanita-wanita kaya yang pernah kutemui. Aku tahu terlalu dini berasumsi demikian. Tapi, dia memandangku dengan cara berbeda." Nada suara Hinata merendah di ujung kalimatnya, teringat jika dia tidak berasal dari tempat yang pantas. Wajahnya kontan mendongak kala dua jenis minuman berbeda mendarat di hadapan mereka.
"Jalani saja sesuai kesepakatan yang ada. Jangan berlebihan dalam berekspektasi. Aku tidak melarang jika kau mau mengakrabkan diri dengan ibuku, tapi kita tetap tidak bisa menjamin hari esok. Orang-orang sering menyebut ibu rendah hati, pada kondisi tertentu dia juga bisa menjadi sangat keras."
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
EX- Bitches
RomanceAlternative Universe Naruhina Fanfiction Harap pembaca bijak [𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫𝐞] Terdapat ilustrasi di dalam cerita, mohon jangan digunakan tanpa seijin Illustrator. Story writer © Lipeuchi_ © Laceena Illustrator © Lipeuchi_ Cover design © Lipeuchi_ �...