"Aksa, nanti kalo teman-teman kamu udah selesai, tolong tugasnya antar ke ruangan Ibu, ya!" Ujar guru Bahasa Indonesia tersebut pada Aksa. "Dan kalian kumpulinnya nanti sama Aksa." Kali ini perhatiannya berpindah pada murid yang tengah sibuk menulis di atas meja masing-masing.
"Iyaaaa bu!" Jawab murid lainnya serentak.
Aksa sebagai ketua kelas dengan cekatan langsung berkeliling kelas, mengambil satu per satu tugas yang sudah diamanatkan sebelumnya. Samar-samar ia mendengar percakapan Nancy dan teman-temannya mengenai pemilihan ekskul cheerleader.
"Mana tugasnya?" Tanya Aksa pada Nancy dan Sisi tiba-tiba.
"Oh God...Wait, Aksa!" Jawab Nancy kebingungan.
"Cepet! Gue mau istirahat, nih!" desak Aksa. "Tadi ngobrol mulu, giliran orang pada selesai jadi bingung, kan? Gue laper nih," Aksa masih mengomel di depan meja Nancy.
"Bukan cuma lu doang yang mau istirahat. Gue juga! Sabar dong!" Protes Nancy sambil sibuk menyalin tugas Lala.
Aksa berdecak. "Satu... dua... ti...." Aksa terlihat senang menggoda Nancy dan Sisi yang buru-buru menulis.
"Nih... nih... ambil! Sana pergi!" Nancy menyodorkan kertas tugasnya pada Aksa, begitu juga Sisi. Wajah kesal keduanya tak bisa mereka sembunyikan dengan baik.
"Ck...ck...ck! Mana nyontek lagi," kata Aksa membuat Nancy dan Sisi semakin berang. "La, kok lu mau sih temenan sama mereka? Mana nyontek mulu."
"Yeaaay! Biarin!" Seru Lala yang diaminkan oleh Nancy dan Sisi. Aksa tertawa penuh kemenangan sambil membawa tumpukan kertas tugas menuju ruang guru.
Nancy mengipasi wajahnya yang kesal. "Nyesel banget milih dia jadi ketua kelas," rutuknya. "Lagian kenapa bisa masuk IPS sih tuh anak? Kan dia pinter, harusnya masuk IPA aja sana, nyempil aja di sini."
"Maksud lu anak IPS nggak pinter, Nan?" Tanya Lala.
"Bukannya memang anak IPS adalah anak IPA yang dibuang ya, La?" Sisi yang polos balik bertanya.
"Sembarangan kalo ngomong! Itu mah elu, gue nggak!" Jawab Lala tidak terima. "Gue mah emang males masuk IPA."
Kalau diingat lagi, Nancy membenarkan ucapan Lala. Sedari awal ia memang tidak memiliki minat masuk kelas IPA. Malah ia bersyukur bisa masuk IPS, dengan begitu ia tidak akan bersua kembali dengan yang namanya Fisika, Kimia dan saudara-saudaranya itu. Terlebih menurut Nancy, anak-anak yang masuk kelas IPA cenderung kaku serta hidup mereka cuma berpatokan dengan teori dan buku.
Mana bisa seorang Nancy hidup seperti itu.
***
Di kelas sebelas IPA 1 tampak hening. Semua antensi tertuju pada seorang guru dengan kaca mata besar dan tebal yang bertengger di batang hidungnya. Sesekali Pak Wiyoko menulis di papan tulis lalu pandangannya beralih ke murid-muridnya. Nama-nama seperti Alkana, Alkena, Alkuna dan isomer sangat tidak asing terdengar kadang Pak Wiyoko juga melemparkan pertanyaan pada muridnya hanya sekedar memastikan bahwa apa yang ia sampaikan bisa dicerna dengan baik.