Tiga tahun sudah aku menimba ilmu di pondok pesantren ini saat pada suatu siang kudengar bel dibunyikan berulang-ulang, dilanjutkan dengan pengumuman dari kantor. Semua santriwati diminta berkumpul di musholla.
Kami kedatangan tamu, seorang ulama dari
Hadramaut, Yaman, yang akan memberi kami
nasehat dan pelajaran.
Limabelas menit kemudian kami semua berkumpul dan tamu itu pun datang didampingi Mudir, pimpinan pesantren kami, Habib Hasan Baharun, yang akan sekaligus bertindak sebagai penerjemah.
Sang tamu ternyata seorang ustadz muda dengan usia pada kisaran tiga puluh tahun. Ia begitu penuh kharisma, terlihat khusyuk, dan entah kenapa memandangnya serasa sedang memandang seorang abid, ahli ibadah di masa lampau yang sering diceritakan para ustadz di kelas.
Mataku tak berkedip menatap wajahnya. Bahkan buku tulis yang sudah kupersiapkan untuk mencatat ceramah darinya tak tertulis satu kata pun selain nama beliau di sudut kanan atas halaman. Bukan tak mendengarkan, tapi justru konsentrasi membuatku tak punya waktu untuk menulis.
Bagiku, saat itu adalah salah satu "magic moment," yaitu saat terjadinya peristiwa penting yang kemudian membuat bumi seolah terhenti dan semesta berporos pada diri kita. Sungguh pengalaman, yang meski puluhan tahun telah berlalu, tak akan pernah hilang dari ingatan.
Ya, sampai sekarang aku masih ingat apa yang disampaikan tamu itu.
"Hubungan dengan Allah dapat terjalin dengan ibadah, dan ibadah tentu harus didasari dengan ilmu. Namun selain itu, ibadah juga memerlukan sambungan hati untuk bisa sampai kepada-Nya. Sambungan ini semacam setrum yang membuat semua alat elektronik dapat berfungsi. Tanpanya, secanggih apapun alatnya, hanya menjadi barang tak berguna. Maka, carilah sambungan hati sebagaimana kalian mencari ilmu."
Tamu itu menceritakan sambungan hati para ulama dan para wali yang tak pernah terputus. Mereka mengingat Allah setiap waktu, menghadirkan-Nya dalam tiap keadaan dan kejadian.
Mendengar itu semua, mataku memanas, air mataku mengalir perlahan, dan hatiku berbisik lirih, memohon kepada Allah SWT berulang-ulang, Ya Allah, jadikanlah aku muridnya.
Aku tak perlu memikirkan bagaimana cara Allah mengijabah doaku. Aku bahkan tak tahu apakah beliau memiliki pondok pesantren atau tidak, aku hanya berdoa. Aku sering mendengar para ustadz berkata, "Berdoalah setinggi langit."
Maka, tiap memiliki keinginan yang kurasa baik, aku akan berdoa, meminta kepada Sang Maha Kuasa. Dan kutahu, Dia merengkuh doaku, lalu mengijabahnya pada waktu yang tepat.
Belasan tahun kemudian, sepulangku dari Tarim, aku merapikan beberapa kitab dan buku catatan. Rencananya, sebagian akan kubakar dan sebagian lagi kusimpan. Sebab aku akan tinggal di Jakarta dan insya Allah akan mulai berdakwah di sana. Lalu tanganku membuka sebuah buku tulis dan tampaklah halaman kosong itu dengan hanya satu tulisan, nama tamu yang datang hari itu di pondok pesantren Darullughah.
Nama yang tertulis adalah "Habib Umar bin Hafidz, Tarim, Hadramaut, Yaman."
KAMU SEDANG MEMBACA
assalamualaikum Tarim
Historical Fictionuntuk mengenalkanmu bahwa di atas muka bumi ini ada sebuah kota kecil. yang meski tak terlihat menarik pemandangan alamnya, tak bersahabat cuaca dan kulinernya, namun kota ini membuat saya mengerti hakikat hidup yang sesungguhnya yaitu berbekal menu...