Beberapa hari kemudian abangku mengantarku berjumpa dengan istri Habib Umar, pimpinan Daruzzahra, sekolah untuk perempuan, cabang dari Darul Mustofa. Kami pergi ke sana mobil sewaan. dengan menaiki
"Kata Kakak, tidak ada pondok pesantren putri?" tanyaku teringat ucapannya sebelum kami berangkat waktu itu.
"Pesantren putri belum ada, Daruzzahra adalah sekolah buat anak perempuan yang ingin belajar agama. Semacam madrasah di tempat kita."
"Tapi aku enggak bisa ngomong bahasa arab kayak
orang sini," ujarku panik.
"Enggak apa-apa, semacam setor muka saja. Kamu bisa ngomong Bahasa Arab Fusha, insya Allah beliau mengerti."
"Terus aku mesti ngomong apa ke beliau?" Aku tetap panik.
"Kamu bilang saja, kamu Halimah Alaydrus datang dari Indonesia untuk menuntut ilmu. Kamu bisa, kan?"
"Baiklah, akan aku coba."
Kemudian sampailah kami di sebuah rumah besar
di mana pintu masuk laki-laki dan perempuan dibedakan. Aku terpisah dari abangku dan masuk sendirian dengan ketakutan. Di ruang tengah, aku melihat dua orang perempuan sedang berbincang dengan bahasa arab yang sangat
cepat sekali. Jangankan mengerti, aku bahkan tidak
bisa memisah-misahkan kata-katanya.
Ya Allah, Bahasa Arab macam apa yang mereka gunakan? bisikku dalam hati. Aku berdiri mematung di ambang pintu ruangan
tersebut tanpa tahu harus berbuat apa sampai
salah satunya memanggilku dan mempersilakanku
duduk di dekat mereka.
Usianyakutaksir belum empatpuluh tahun, sementara yang satu lagi lebih tua, mungkin enam puluh tahunan.
Perempuan yang memanggilku tadi tersenyum
kepadaku kemudian berkata, "Marhaba?" dengan
nada bertanya.
"Saya Halimah Alaydrus, Hubabah. Saya datang dari Indonesia bersama abang saya untuk menuntut ilmu agama," jelasku dalam Bahasa Arab Fusha.
Keduanya terbengong sesaat, kemudian ia berucap, "Ahlan wa sahlan bi Halimah," yang dilanjutkan dengan beberapa kalimat lain yang sama sekali tak kupahami.
Aku hanya terdiam, karena menyerah dan merasa percuma berusaha memahami ucapannya.
Tak lama kemudian, keduanya kembali melanjutkan obrolan yang sempat terputus akibat kehadiranku,
Selang beberapa waktu, perempuan yang akhirnya kutahu adalah istri Habib Umar itu beranjak ke luar ruangan. Tinggallah aku bersama perempuan tua yang kami tak saling memahami bahasa satu sama lain. Dia berusaha mengajakku bicara. Namun setelah beberapa kalimat, tak ada tanda aku memahaminya, dia menyerah dan memutuskan diam saja. Beberapa menit kemudian dia pun berdiri meninggalkanku sendirian di ruangan besar itu.
Aku semakin tak mengerti harus bagaimana. Yang terlintas di benakku, Mungkin adat istiadat di negeri ini kalau tamu sudah menyampaikan hajatnya, dia diperkenankan pulang dengan cara ditinggalkan seorang diri seperti ini.
Aku menunggu sekitar lima menit tanpa sesuatu terjadi, akhirnya aku memutuskan keluar dan pulang.
Beberapa hari kemudian, aku mendengar kabar dari abangku bahwa Hubabah pergi, pulang kampung beliau di Baidha selama beberapa minggu. Dan itu membuat 'perjumpaan tak jelas' kemarin itu sebagai awal pertemuanku dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
assalamualaikum Tarim
Historical Fictionuntuk mengenalkanmu bahwa di atas muka bumi ini ada sebuah kota kecil. yang meski tak terlihat menarik pemandangan alamnya, tak bersahabat cuaca dan kulinernya, namun kota ini membuat saya mengerti hakikat hidup yang sesungguhnya yaitu berbekal menu...