Setelah kurang lebih setengah jam perjalanan, di sisi kanan jalan mulai terlihat bangunan putih di atas bukit dengan ratusan tangga menujunya. Indah sekali.
"Suatu hari nanti aku ingin naik ke atas sana,
kurasa pemandangan dari sana akan terlihat indah."
Kupejamkan mataku
sambil membayangkan nikmatnya berbaring di atas kasur empuk, tanpa tahu bahwa selama empat tahun ke depan aku tak pernah lagi bertemu dengan benda itu. Warga Tarim tak kenal kasur empuk, mereka tidur di atas karpet atau busa tipis. Entah kenapa saat kita mengantuk selalu saja membayangkan tempat tidur yang empuk, padahal rasa kantuk itu sendiri justru sarana tidur paling nyaman. Orang yang benar-benar mengantuk bisa tidur di atas aspal jalan sekalipun.
Lamunanku terhenti karena jalanan yang dilewati tak lagi beraspal, rupanya mobil menepi di jalanan kecil menuju bangunan putih yang kulihat tadi.
"Kita berziarah dulu ya," ucap kawan abangku. Aku keberatan karena lelah namun tetap keluar mobil meski gontai.
"Di atas sana ada makam Imam Al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa, cucu Nabi Muhammad SAW yang datang pertama ke negeri ini. Karenanya, beliau mendapat julukan Al-Muhajir Ilallah, orang yang hijrah menuju Allah."
Kami mulai memasuki
kawasan
makam
Dia kembali melanjutkan, "Beliau keturunan kesembilan Nabi Muhammad SAW dan merupakan kakek dari kebanyakan habaib yang kini tersebar di seluruh dunia, Beliau juga kakek dari para Wali Songo yang menyebarkan Islam di Indonesia. Namanya Ahmad Al-Muhajir bin Isa Arrumi bin Muhammad Shohib Marbath bin Ali Aluraidhi bin Jafar Asshadiq bin Muhammad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad SAW." "Mengapa beliau hijrah?" Meski lelah, abangku
bertanya karena penasaran. "Beliau lahir tahun 260 Hijriah di Irak dan tinggal di sana dalam keadaan mulia dan kaya raya. Setelah menikah dan memiliki beberapa anak, terjadi fitnah di negaranya dengan munculnya dua kelompok berbahaya bagi islam, yaitu Gharamitah, semacam komunis, dan kelompok pencaci sahabat Nabi Muhammad SAW. Khawatir akan akidah anak cucunya kelak, beliau memutuskan untuk hijrah sekeluarga. "Kabarnya beliau berangkat bersama tujuhpuluh kerabat dan pembantunya. Mereka berencana singgah ke Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW lalu hijrah ke Mekkah.
"Mereka tinggal di Mekkah selama dua tahun dan menjalankan ibadah haji pada tahun 318 Hijriah. Akan tetapi beliau mendapat petunjuk dari Allah untuk hijrah ke Yaman. Beliau mulai tinggal di tempat ini sejak tahun 319 Hijriah."
Jawabannya membuatku mengerti mengapa banyak Habaib berasal dari negeri ini, mereka adalah anak cucu keturunan beliau.
Aku memandang sekeliling. Di masa sekarang saja tak ada perumahan di sekitar sini, apalagi pada masa itu. Aku bayangkan beratnya perjuangan beliau dan keluarganya yang terbiasa hidupnyaman dengan pelayan dan segala kemudahan dinegerinya, kemudian harus hidup di tempat gersang seperti ini. Kalau aku jadi anaknya, mungkin aku akan ngambek dan tak mau ikut hijrah. Namun segala perjuangan mereka menjalani petunjuk Allah mendapatkan hasil yang gemilang. Keturunan beliau menjadi ulama pengemban dakwah Nabi Muhammad SAW dengan ajaran ahli sunnah wal jamaah bermadzhab Syafi'i dan banyak di antara mereka yang Allah angkat menjadi para wali.
"Buah pengorbanan selalumanis," pikirkukemudian.
Takmengapa berpenat-penatdiduniajikamembuatmu beristirahat panjang kelak di akhirat. Tak mengapa hidup susah sebentar di dunia jika itu membuatmu merasakan hidup surga.
manis kelak di
"Ada sekitar dua ratus tangga untuk sampai ke makam beliau di atas sana. Mau naik atau cukup ziarah di bawah saja?" tanya kawan abangku. Abangku menoleh ke arahku,
"Kita naik. Bismillah." Demikian jawabku setelah benakku kubisiki ucapan, 'Ada manis di belakang setiap pengorbanan, percayalah!'
Dan meski perlahan, langkah kami mulai menapaki tangga demi tangga.
Kelelahan telah mencapai puncaknya saat langkah kami tiba di atas. Tampak sebuah ruangan kecil yang dengan makam bertuliskan nama beliau.
"Al imam Al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa dan seterusnya.
Di makam ini tidak tertulis panggilan Habib yang umumnya digunakan menjuluki keturunan Nabi Muhammad SAW di masa sekarang. Belakangan aku baru tahu bahwa julukan Habib baru dipakai pada masa Habib Umar bin Abdurahman Alathas- sang ulama terkemuka penyusun Ratib Alathas, guru habib Abdullah bin Alawy Al-Haddad. Para murid dan pecinta beliau memanggil dengan Habib yang berarti orang yang tercinta atau tersayang karena cinta mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Sebelum itu, para ulama keturunan Nabi dipanggil dengan Syekh, Imam, atau Sayyid.
Seusai melafalkan bacaan-bacaan ziarah seperti biasanya, kawan abangku menunjuk ke satu lubang kecil di dinding ruangan.
"Kabarnya kalau kita menyebut nama seseorang di lubang tersebut, insya Allah orang itu akan datang ke sini. Tergantung keyakinan juga sih, tapi kami biasa melakukannya. Kami sebut nama orang-orang yang kami sayangi, dan dengan izin Allah, mereka akan datang ke Tarim suatu saat nanti."
Aku tak mau melewatkan kesempatan itu, aku sebut nama orang tua dan saudara-saudaraku di lubang itu, hasilnya benar-benar luar biasa. Hampir semua nama yang kusebut di sana, satu persatu Allah hadirkan ke Tarim beberapa tahun kemudian.
Setelah selesai berziarah, kami menuruni tangga. Dan sesampainya di bawah, kawan abangku mengajak kami masuk ke dalam bangunan kecil yang di dalamnya terdapat sebuah makam.
"Ini makam Habib Ahmad bin Muhammad Alhabsyi murid Syekh Abu Bakar bin Salim. Beliau adalah orang pertama yang dimakamkan di bagian bawah lembah ini hingga dijuluki Habib Ahmad Shahibus Syi'ib. Beliau dikenal sebagai seorang ulama dan wali.
Kabarnya ada orang shaleh bermimpi bahwa Al-Muhajir mengatakan, "Barang siapa berziarah kepadaku namun tidak berziarah kepada Ahmad bin Muhammad Alhabsyi maka sia-sialah ziarahnya."
Ucapannya tersebut membuatku semakin tak ragu bahwa kota ini memang dipenuhi dengan para ulama dan para wali.
Halimah, kali ini kamu telah membuat keputusan yang benar dalam hidupmu dengan datang ke negeri ini, bisikku dalam hati sambil tersenyum haru.
KAMU SEDANG MEMBACA
assalamualaikum Tarim
Historical Fictionuntuk mengenalkanmu bahwa di atas muka bumi ini ada sebuah kota kecil. yang meski tak terlihat menarik pemandangan alamnya, tak bersahabat cuaca dan kulinernya, namun kota ini membuat saya mengerti hakikat hidup yang sesungguhnya yaitu berbekal menu...