Mobil kami kembali mengarah ke Tarim, dan kawan abangku kembali bercerita, "Tarim dijuluki kota seribu wali, karena banyaknya hamba-hamba tercinta di sisi Allah, baik dari kalangan ulama ataupun ahli ibadah, laki-laki maupun perempuan. Mungkin karena disini kebaikan begitu mudah dikerjakan, seolah seluruh warga ikut serta membantumu melaksanakan ketaatan, sementara dosa tak ada sarananya; tak ada diskotik, bioskop, atau tempat-tempat hiburan.
"Laki-lakilah yang belanja ke pasar, sementara kaum perempuan tinggal di rumah. Kalaupun perempuan keluar untuk menghadiri undangan atau majelis ilmu khusus perempuan, mereka menutup aurat dan bercadar.
"Habib Abdurrahman Assegaf ulama terkemuka pada zamannya pernah mengatakan, "jalanan kota tarim adalah guru bagi yang tak berguru.""
"Maksudnya?" Abangku menyela, sebuah pertanyaan juga mewakiliku
"Kalau kamu tidak punya guru mursyid untuk membimbingmu menjadi hamba Allah yang baik, kamu cukup datang ke Tarim dan jalan-jalan saja. Insya Allah kamu akan berjumpa dengan banyak orang yang akan mengajarimu, baik lewat ucapan ataupun perilaku. Kurang lebih begitu maksudnya."
Di belakang aku mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Kota ini juga disebut Tarim Alghanna yaitu negeri yang kaya. Tentu yang dimaksud bukanlah kekayaan harta karena kebanyakan penduduknya justru hidup dalam kemiskinan. Namun mereka kaya ilmu, kaya akhlak, kaya hati, kaya ibadah, kaya berkah. Kekayaan yang tak terukur dengan materi, hal yang semakin langka di zaman sekarang ini."
Aku membenarkan ucapannya dalam hati. Kusaksikan sendiri bagaimana krisis moral dan akhlak yang melanda di negeriku lebih mengerikan krisis ekonomi. Anak-anak muda terjerat narkoba dan terseret arus pergaulan bebas, sementara orang dewasa terperosok pada keserakahan duniawi yang tak ada ujungnya, membiarkan anak-anak mereka hatinya kering dari curahan iman, namun berlimpahan kekayaan yang tak benar-benar mereka butuhkan. Sungguh kasihan.
Kawan abangku menambahkan, "Nabi Muhammad SAW pernah mendoakan Yaman dan Suriah agar menjadi negeri yang penuh keberkahan. Seperti dalam Hadits Riwayat Bukhari, beliau mengatakan, 'Semoga Allah berkahi Yaman kita dan Syam kita
"Bahkan dalam Hadits Riwayat Bukhari lainnya, dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sangat senang ketika datang penduduk Yaman datang ke Madinah. Beliau berkata, 'Telah datang kepada kita penduduk Yaman. Mereka lembut hatinya dan halus perasaannya, keimanan adalah keimanan orang Yaman, dan kebijaksanaan adalah kebijaksanaan mereka.""
Hatiku melonjak kegirangan. Aku merasa seperti pemenang lotre, berangkat ke Yaman hanya karena negerinya Faqihil Muqaddam tanpa tahu sejarah beliau, ternyata aku mendapat lebih daripada yang kubayangkan.
"Negeri kering seperti ini, apakah sering kekurangan air?" abangku kembali bertanya.
"Alhamdulillah, bahkan di musim panas sekalipun, air di sini melimpah ruah. Penduduk meyakini bahwa hal ini merupakan berkah dari doa sayyidina Abu Bakar Ash-Shidiq untuk Hadramaut," jawab kawan abangku.
Lagi-lagi abangku mewakiliku bertanya, "Sayyidina Abu Bakar pernah ke sini?"
"Tidak pernah, tapi sepeninggal Nabi Muhammad SAW, beliau dibaiat sebagai khalifah oleh mayoritas umat islam di Madinah, lalu beliau menulis surat kepada semua gubernur yang berada di bawah kekhalifahan islam, Hadramaut salah satu diantaranya.
"Pada masa itu banyak orang menjadi murtad, dan banyak pula yang membelot tak mau membaiat, akan tetapi Hadramaut tidak begitu. Mereka tidak murtad dan semuanya membaiat Abu Bakar r.a. tanpa terkecuali. Kabar itu disampaikan oleh Sahabat yang diutus berdakwah ke negeri ini.
"Sayyidina Abu Bakar sangat bersyukur atas hal itu dan membalas surat tersebut dengan mendoakan semoga Hadramaut dikaruniai tiga hal, yaitu agar Allah memakmurkan negerinya, memberkahi airnya, dan memunculkan para wali seperti hujan memunculkan jamur.
"Doa tersebut benar-benar terlihat ijabahnya di negeri ini. Kota ini makmur, airnya melimpah, dan seperti yang kita semua tahu, ini adalah negeri seribu wali. Karenanya kota ini dijuluki Madinatus Siddiq, kotanya Abu bakar Ash-Shidiq."
Dari kejauhan aku mulai melihat rerimbunan pohon kurma yang tak sedang berbuah karena bukan musimnya. Kami datang pada musim dingin, sementara kurma berbuah pada musim panas. Di bawah pepohonan kurma tersebut ditanami sayuran-sayuran hijau. Kota tarim tak segersang yang kukira. Mungkin juga akibat berkah doa Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Abu Bakar r.a.
"Kita sudah masuk kota Tarim," ujar kawan abangku kemudian.
Matahari hampir tenggelam kala itu, semburat cahayanya tersisa di rerimbunan pohon kurma, meski sang surya sudah menuju persembunyiannya di bebukitan. Anak-anak berpeci bergegas menuju masjid dengan riang gembira, demikian pula langkah kaki kaum lelaki memenuhi jalanan meski adzan maghrib belum berkumandang.
Pemandangan indah seperti itulah yang dulu pernah kujumpai di perkampungan Indonesia. Namun semenjak memasuki abad millennium baru, semua itu sudah semakin langka, berganti dengan anak-anak berwajah suram memandangi ponsel masing-masing di rumah atau langkah kaki kaum lelaki pulang dari pekerjaan dengan wajah lelah nan muram durja.
Semoga keadaan negeri ini tak berubah hingga akhir zaman, harapku dalam hati, Agar dapat menjadi tempat kembali bagi hati yang penat dari kesibukan dunia, dan menjadi rumah, tempat pulang bagi jiwa yang bising dari hiruk pikuk dunia.
Sesaat menjelang Maghrib kami pun tiba di rumah keluarga kawan kami. Rencananya kami akan tinggal di sana beberapa hari sampai menemukan rumah kontrakan dengan harga yang terjangkau.
KAMU SEDANG MEMBACA
assalamualaikum Tarim
Narrativa Storicauntuk mengenalkanmu bahwa di atas muka bumi ini ada sebuah kota kecil. yang meski tak terlihat menarik pemandangan alamnya, tak bersahabat cuaca dan kulinernya, namun kota ini membuat saya mengerti hakikat hidup yang sesungguhnya yaitu berbekal menu...