Setelah mengantarku berjumpa dengan Hubabah kali pertama hari itu, beberapa hari kemudian, abangku mengajakku berziarah,
"Bukankah kemarin kita sudah berziarah?" tanyaku sambil bersiap.
"Hari ini kita akan ziarah masjid," jawabnya singkat.
Kami berkendara menelusuri jalanan kota Tarim yang berdebu ditemani kawan abangku.
"Kita akan menziarahi masjid-masjid keramat dikota ini," dia mulai menerangkan. "Habib Abdullah bin Abu Bakar Alaydrus pernah mengatakan 'Ziarah ke tempat ibadah para wali lebih afdhal daripada menziarahi makam mereka. Tentu di sana kita sholat, membaca al-Qur'an meskipun surat pendek dan berdzikir dengan harapan hati kita tersambung dengan mereka sebab kita pernah berada di tempat yang sama."Aku setuju. Di sejengkal bumi yang sama, kita pernah bertemu, bisikku dalam hati.
"Meski kecil, Tarim memiliki lebih dari seratus masjid karena semua laki-laki di kota ini sholat di masjid. Bahkan jika ada perluasan daerah, pasti dibangun masjid lebih dulu," lanjut kawan abangku menjelaskan.
Aku perhatikan masjid di sini bangunannya tidak semewah masjid-masjid di Indonesia atau negeri Timur Tengah pada umumnya. Hanya tersusun dari batubata yang terbuat dari campuran tanah dan rumput kering dengan atap dan lantai yang jauh dari kata megah. Tapi aku merasakan kekhusyukan yang berbeda ketika sholat atau sekedar duduk iktikaf. Barangkali karena kehalalan harta, keikhlasan, dan tingginya derajat orang yang membangunnya. Tak semua masjid kami kunjungi, hanya beberapa saja yang dikenal paling keramat di kota ini.
Masjid pertama ini namanya Masjid Ba'alawy," kawan abangku mulai bercerita. "Salah satu masjid tertua di sini, dibangun oleh Habib Ali bin Alwy Kholi' Qosam Bersama Bani Jaded dan Bani Basri sekitar tujuhratus tahun yang lalu. Masjid ini merupakan salah satu tempat yang didatangi warga jika sedang ada hajat. Tiang-tiangnya yang banyak merupakan tempat bersandar para wali selama ratusan tahun. Disebut juga Masjidul Qaum, sebab semua habaib yang tinggal atau berkunjung ke Tarim akan datang ke masjid ini. Habib Umar Al-Muhdhor pernah mengatakan, 'Siapa yang pernah sholat di masjid ini walau hanya dua rakaat, insya Allah dia tidak akan celaka."
"Kenapa para habaib disebut dengan istilah Ba'alawy?" tanya abangku penasaran.
"Kamu ingat Al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa yang kita ziarahi waktu itu?" tanya kawannya.
Abangku mengangguk.
"Beliau memiliki anak bernama Abdullah, namun lebih suka dipanggil Ubaidillah yang artinya hamba kecilnya Allah. Beliau memiliki tiga orang anak yang kesemuanya menjadi ulama, yaitu Jadid, Alawy, dan Basri. Alawy memiliki putera bernama Ali yang membangun masjid ini, beliau bersama anak keturunannya disebut Bani Alawy, anak keturunan Alawy. Keturunan Bani Jadid dan Bani Basri terputus. Dengan begitu, semua habaib di kota ini adalah anak keturunan Alawy, sehingga disebut Bani Alawy dan dalam Bahasa Arab disingkat menjadi Ba'alawy."
Alhamdulillah, mendengarkan penjelasannya, aku semakin mengerti banyak hal.
"Masjid Ba'alawy ini pernah direnovasi oleh Habib Umar Al-Muhdhor kecuali bagian depannya. Tiang- tiangnya dibangun berbentuk bintang, kecuali satu tiang yang biasanya disandari Al-Faqihil Muqaddam, Habib Umar berencana membangunnya dengan bentuk berbeda, dan akan beristikharah tentang hal itu. Namun keesokan paginya, beliau dan tukang bangunan terkejut ketika melihat tiang itu telah berdiri kokoh dengan bentuk spiral," jelasnya menutup cerita karena kami telah tiba.
Kami pun masuk dengan niat beriktikaf, sholat di salah satu sudutnya, dan bersandar sebentar pada tiang yang tadi telah diceritakan.
Tak jauh dari Masjid Ba'alawy, kami berjalan kaki menuju Masjid Assegaf.
"Masjid ini dibangun oleh Habib Abdurrahman Assegaf pada tahun 768 H. Memiliki empat tiang utama sebab kabarnya beliau melihat empat Khulafaurrasyidin pada setiap sudutnya saat membangun masjid ini. Para penghapal al-Qur'an biasa menyetorkan hapalannya sesudah sholat Maghrib di sini karena beliau dikenal sebagai ahli Quran," kisah kawan abangku.
"Oh iya, di sini setiap malam Senin diadakan kegiatan pembacaan Hadrah Assegaf yang dihadiri ribuan orang," dia menambahkan
Kami pun masuk. Suasana tenang dan damai menyelimuti masjid ini. Terlihat beberapa orang sedang membaca al-Qur'an. Aku pun turut merapal beberapa surat pendek, berharap mendapat keberkahan.
Tak jauh dari Masjid Assegaf ke arah Utara, kami menuju masjid yang lain.
"Ini masjid kakek kalian, Habib Abdullah bin Abu Bakar Alaydrus. Diperkirakan umurnya sudah sekitar 850 tahun. Di sini ada ma'bad atau tempat ibadah beliau yang berada di bawah tanah, sebuah lorong sempit yang beliau jadikan tempat ber-khalwat."
Seperti pada masjid sebelumnya, lagi-lagi kami masuk dengan niat beriktikaf. Kemudian kami melihat tempat khalwat tersebut, sebuah lorong bawah tanah yang sangat sempit dalam pandangan mata, namun pastilah tempat ini sangat luas secara makna, sebab bukankah ia menjadi tempat turunnya hujan rahmat Allah yang begitu luas?
Aku sholat dua rakaat di sana lalu berdoa, Ya Allah berikanlah aku karunia rasa nikmat beribadah kepada-Mu seperti yang Kau berikan kepada mereka, kumpulkan aku bersama mereka, dan jadikan aku sebaik-baik keturunan dari para pendahulu.
Seusai dari Masjid Alaydrus, kami melangkahkan kaki menuju masjid lain yang juga berdekatan dengan masjid sebelumnya.
Kawan abangku kembali menjelaskan sambil membuka pintu masuk masjid yang kecil itu, "Ini Masjid Assakran, yang dibangun oleh Habib Abu Bakar bin Abdurahman Assakran. Kisah beliau sudah saya ceritakan sewaktu kita berziarah ke Zanbal kemarin itu."
Setelah itu kami naik mobil menuju masjid yang dijadikan simbol kota Tarim, Masjid Al-Muhdhor.
"Masjid tersebut dibangun oleh Habib Umar Al-Muhdhor. Menaranya sangat tinggi, sekitar empatpuluh lima meter. Sebagian orang mengatakan bahwa menara ini termasuk dalam keajaiban dunia. Karena pada usianya yang lebih dari enamratus tahun, ia tetap kokoh berdiri padahal terbuat dari tanah liat tanpa besi ataupun semen," jelas kawan abangku sambil mengendarai mobil.
"Kabarnya tukang bangunan sempat menolak membangun menara setinggi itu karena khawatir jatuh. Lalu Habib naik ke atas bangunan dengan membawa mangkuk berisi air dan menjatuhkannya di hadapan tukang tersebut. Ajaibnya mangkuk itu tidak pecah dan airnya tidak tumpah setetes pun. Kemudian Habib Umar berkata, 'Aku menjamin keselamatanmu seperti air yang ada di dalam mangkuk ini.' Melihat karomah tersebut, tukang itu pun tak lagi ragu membangunnya."
Tak lama kemudian, kami tiba di sebuah masjid klasik nan indah dengan menara menjulang megah tersebut, Masjid Al-Muhdhor, sebuah kemegahan dzahir dan batin yang dapat disaksikan mata kepala maupun mata hati.
Sesudah puas beriktikaf di masjid mulia itu, kami kembali mengendarai mobil menuju masjid yang terakhir.
"Namanya Masjid Al-Fath, terletak di daerah Alhawi, dibangun oleh Imam Al-Haddad yang juga membangun Masjid Awwabin di daerah Nuwaidiroh. Masjid tersebut bangunannya berbeda dengan masjid yang lainnya, sebab belum lama direnovasi oleh seorang dermawan kaya keturunan beliau."
Kami pun memasuki masjid tersebut dan merasa seperti tidak sedang berada di Tarim. Bangunannya sangat mewah, lengkap dengan marmer dan kubah indahnya, dindingnya dihiasi lampu-lampu bertuliskan kata-kata sang Imam. Pada bagian dalam masjid ini, terdapat beberapa peninggalan beliau seperti tasbih besar. Juga ada ma'bad, tempat khalwat beliau yang dibiarkan tetap seperti semula dengan atap terbuat dari susunan kayu kecil seperti kayu siwak.
Di tengah masjid ada sumur berlapis kaca tebal. "Ini Namanya Bi'ir Syifa, sumur obat, dulunya tempat wudhu beliau. Kita dapat meminumnya di tempat wudhu di belakang karena airnya telah dialirkan ke sana."
Sesudah sholat sunnah dan meminum air sumur tersebut, kami pun berkendara ke arah pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
assalamualaikum Tarim
Ficção Históricauntuk mengenalkanmu bahwa di atas muka bumi ini ada sebuah kota kecil. yang meski tak terlihat menarik pemandangan alamnya, tak bersahabat cuaca dan kulinernya, namun kota ini membuat saya mengerti hakikat hidup yang sesungguhnya yaitu berbekal menu...