Abangku datang menjengukku di pondok pesantren pada bulan-bulan terakhir sebelum kelulusan. Dia mengajakku pergi ke luar negeri. Ke Yaman tepatnya, Hadramaut provinsinya, dan Tarim nama kotanya. Dia ingin bersekolah di Darul Mustofa, sebuah pesantren yang baru dibangun oleh seorang ulama besar bernama Habib Umar bin Hafidz. Beberapa kawannya sudah berangkat ke sana.
"Di sana ada pondok pesantren perempuannya, Kak?" tanyaku.
"Sepertinya tidak ada," jawabnya cuek. "Kabarnya malah perempuan di sana tidak ada yang keluar dari rumah."
"Kalau begitu, aku di
ngapain?" Aku menatapnya bingung. "Kamu bisa menemani aku, memasak untukku,
sana
membantu mencuci bajuku."
Aku termangu. "Terdengar sangat tidak menarik ya,
Kak, kalau aku ikut Kakak ke sana?" Dia tak menjawab. Beberapa saat keheningan
di antara kami berdua.
Setelah beberapa saat, aku bertanya lagi, kembali membuka percakapan. "Memangnya, kenapa harus ke sana, Kak?"
"Sebab di sana negerinya para ulama besar dari kalangan Habaib, keturunan Nabi Muhammad SAW."
Jawabannya belum bisa membuatku tertarik.
la melanjutkan dengan nada datar. "Tarim itu kotanya Sayyidina Muhammad bin Ali Ba'alawy."Mendengar kalimatnya yang terakhir itulah aku justru mulai merasa tertarik. "Muhammad bin Ali Ba'alawy yang kita baca dalam ratib itu?"
Dia mengangguk.
Aku pun memutuskan tanpa ragu. "Kalau begitu, aku ikut." "Oh, ya? Kenapa berubah pikiran?" Kini justru
kakak saya yang terdengar ragu.
Aku menjawab mantap. "Ya, aku rasa kita tak akan telantar di kota tempat seorang wali besar yang selalu kita sebut namanya selama ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
assalamualaikum Tarim
Historical Fictionuntuk mengenalkanmu bahwa di atas muka bumi ini ada sebuah kota kecil. yang meski tak terlihat menarik pemandangan alamnya, tak bersahabat cuaca dan kulinernya, namun kota ini membuat saya mengerti hakikat hidup yang sesungguhnya yaitu berbekal menu...