Al-Anwar, akhir tahun 1998

323 20 0
                                    

Abangku datang menjengukku di pondok pesantren pada bulan-bulan terakhir sebelum kelulusan. Dia mengajakku pergi ke luar negeri. Ke Yaman tepatnya, Hadramaut provinsinya, dan Tarim nama kotanya. Dia ingin bersekolah di Darul Mustofa, sebuah pesantren yang baru dibangun oleh seorang ulama besar bernama Habib Umar bin Hafidz. Beberapa kawannya sudah berangkat ke sana.

"Di sana ada pondok pesantren perempuannya, Kak?" tanyaku.

"Sepertinya tidak ada," jawabnya cuek. "Kabarnya malah perempuan di sana tidak ada yang keluar dari rumah."

"Kalau begitu, aku di

ngapain?" Aku menatapnya bingung. "Kamu bisa menemani aku, memasak untukku,

sana

membantu mencuci bajuku."

Aku termangu. "Terdengar sangat tidak menarik ya,

Kak, kalau aku ikut Kakak ke sana?" Dia tak menjawab. Beberapa saat keheningan

di antara kami berdua.

Setelah beberapa saat, aku bertanya lagi, kembali membuka percakapan. "Memangnya, kenapa harus ke sana, Kak?"

"Sebab di sana negerinya para ulama besar dari kalangan Habaib, keturunan Nabi Muhammad SAW."

Jawabannya belum bisa membuatku tertarik.
la melanjutkan dengan nada datar. "Tarim itu kotanya Sayyidina Muhammad bin Ali Ba'alawy."

Mendengar kalimatnya yang terakhir itulah aku justru mulai merasa tertarik. "Muhammad bin Ali Ba'alawy yang kita baca dalam ratib itu?"

Dia mengangguk.

Aku pun memutuskan tanpa ragu. "Kalau begitu, aku ikut." "Oh, ya? Kenapa berubah pikiran?" Kini justru

kakak saya yang terdengar ragu.

Aku menjawab mantap. "Ya, aku rasa kita tak akan telantar di kota tempat seorang wali besar yang selalu kita sebut namanya selama ini."

assalamualaikum Tarim Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang