ketibaan

202 15 0
                                    

Selama perjalanan dari Seiwun menuju Tarim, mataku terus memandang ke kanan dan kiri jalan. Wajar saja jika Hadramaut disebut wadi yang artinya lembah, karena sisi-sisinya dikelilingi gunung. Kota ini terletak di tengah-tengah gunung batu. Tak ada pepohonan atau tumbuhan apapun, semua hanya batu berwarna cokelat dengan puncaknya yang rata. Mirip kue bolu yang dipotong pisau, rata di semua sisinya. Sungguh aneh.

"Jaraknya sekitar 600 km dari San'a," jelas kawan abangku yang menjemput kami saat ditanya jarak antara Tarim dengan San'a, ibu kota Yaman. "Kota ini sebenarnya hanya kota kecil, tapi dipenuhi dengan para ulama. Terutama ulama dari kalangan Habaib," tambahnya.

Ada banyak pertanyaan di benakku, yang kuharap oleh kawan abangku ini, tapi sebagai satu- satunya perempuan di mobil, aku lebih memilih untuk diam. Pertanyaan paling mengganjal saat itu, "Kenapa para habaib banyak tinggal di sini? Bukankah Nabi Muhammad SAW dulu tinggal di Madinah? Bagaimana asal muasalnya hingga kota begitu istimewa, padahal dari pandangan mataku, bahkan tak layak disebut kota?

Bandaranya lebih kecil dari stasiun bus di Indramayu yang bukan kota besar. Bahkan di sepanjang jalan menuju Tarim tak kulihat lampu merah satu pun. Kurasa memang belum diperlukan, mengingat sedikitnya mobil melintas di sini. Sebagian jalanannya pun belum diaspal. Kulihat seorang anak kecil menunggang keledai. Kota mana yang begitu?

Berdasarkan apa yang kulihat dan saksikan, aku mengambil kesimpulan, Ini bukan kota, ini adalah kampung Arab, kampung besar di negeri Arab.

assalamualaikum Tarim Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang