Aku ingat betul kejadian hari pertama kepindahan kami ke rumah masjid tersebut. Saat itu minggu pertama bulan Ramadhan. Abangku berbelanja keperluan dapur dan rumah tangga di pasar sementara aku merapikan baju dan bersih-bersih rumah.
Sekitar jam empat sore, aku dikejutkan suara gedoran pintu yang kencang sekali, aku tergopoh membukanya. Kukira yang datang adalah pengiriman barang yang dibeli abangku dari toko. Ternyata seorang anak laki-laki dekil tanpa alas kaki. Dia berbicara sangat cepat dan aku tak paham satu kata pun. Mendapati mukaku yang kebingungan, dia mengulangi ucapannya tapi tetap saja tak kupahami. Lalu dia menyodorkan semacam rantang dan aku berasumsi keluarganya memberikan itu kepada kami.
Aku menerimanya sambil berkata, "Syukron."
Sekarang justru dia yang terlihat kebingungan dan kembali menyerocos lagi.
Ya Allah... bagaimana caraku memahami bahasa mereka?, pekikku dalam hati. Sungguh aku juga kebingungan.
Menyadari aku tak paham apa yang dia katakan, dis pun pulang setelah aku mengembalikan rantangnya dalam keadaan kosong. Sebelumnya, dalam rantang yang ia bawa terdapat kurma dan samosa untuk berbuka puasa.
Setelah ia pergi, aku terus saja memperkirakan yang tadi ia ucapkan sambil tak habis pikir bagaimans Bahasa Arab yang selama delapan tahun ini alk pelajari kitabnya di pondok pesantren dan sud kujadikan bahasa percakapan sehari-hari dengan santri, kini menjadi bahasa yang tak kumengerti sama sekali. Aku bahkan tak dapat memisahkan kata per katanya. Bahasa apa yang selama ini kupelajari Atau jangan-jangan mereka bukan berbahasa Arab! Benar-benar masalah bahasa ini ujian yang berat bagiku.
Tak seberapa lama pintu rumahku digedor lagi. Kali ini aku tahu pelakunya, pasti anak yang tadi karena suara gedoran pintunya sama persis. Akukembali membuka pintu, ternyata kali ini seorang anak perempuan. Dia pun berbicara dengan sangat cepat lalu menyodorkan piring bertutup kain. Aku membukanya, dan isinya sama, kurma dan samosa.
Aku berusaha menjelaskan kepadanya bahwa aku sudah dikirimi sebelumnya, namun sia-sia, dia tak memahami bahasaku. Aku pikir, lebih baik terima saja pemberiannya agar dia segera pulang. namun aku teringat sesuatu dan kutanyakan padanya hal itu, "Aina sausholli sholat Tarawih? Di mana saya bisa melakukan sholat Tarawih?" tanyaku dengan logat yang kuarab-arabkan
KAMU SEDANG MEMBACA
assalamualaikum Tarim
Historical Fictionuntuk mengenalkanmu bahwa di atas muka bumi ini ada sebuah kota kecil. yang meski tak terlihat menarik pemandangan alamnya, tak bersahabat cuaca dan kulinernya, namun kota ini membuat saya mengerti hakikat hidup yang sesungguhnya yaitu berbekal menu...