11 - Salah Paham

34 0 0
                                    

Happy Reading 😉

***
Faisal dan Ziyah rasanya sangat keberatan sekali karena harus melepaskan keponakannya yang kini akan menetap di rumah suaminya.

Terlebih lagi Ziyah mendekapnya dengan sangat erat, sembari terisak menangis tiada henti. Begitu juga  Putri, dia menyeka air matanya dengan kasar. Meski sudah berusaha menguatkan diri, tapi rasanya sangat sulit sekali baginya.

"Uti bakalan kangen Paman sama Tante." Bibirnya mengerucut, benar-benar sangat menggemaskan sekali.

Hal itu pun membuat Ziyah menanggapinya dengan senyuman lebar. Meski dia merasakan hal yang sama atas kehilangan keponakannya, tapi bagaimana pun juga dia harus bisa menahan diri untuk menguatkan dirinya.

"Kamu pergi juga kan karena tanggung jawab, Sayang. Sekarang kamu harus bisa tenang ya, Sayang, karena bagaimana pun juga kamu kini sudah sah menjadi istri orang." Dengan lembut, Ziyah mengusap puncak kepala keponakannya. Lalu, dia kembali mendekap tubuh Putri lagi sangat erat.

Faisal yang menyadari kesedihan dalam hati istrinya segera mengelus punggung Ziyah. Mereka tidak dapat mencegah Firdaus untuk menghentikan aksinya, karena kenyataannya pun kini Putri sudah menjadi miliknya.

"Paman hanya ingin kamu jaga baik-baik Uti ya. Jadilah suami yang siaga, Fir." Memberi nasihat pada lelaki di depannya, Faisal menepuk pelan bahu Firdaus bagian kanan.

Menanggapi ucapan dari pria di depannya, Firdaus pun mengangguk mengiyakan. "Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Paman."

"Jangan sakiti dia." Kali ini Ziyah yang membuka suara dengan nada serak. Dia menangis sejadi-jadinya, karena baru kali ini Putri akan meninggalkannya, keluar dari kediamannya.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, jika Ziyah sangat menyayangi keponakannya itu, kasih sayangnya bagai pada anak kandung sendiri.

"Tentu saja, Tan. Saya tidak akan menyakiti hatinya."

"Beri tahu Tante kalau ada apa-apa ya." Ziyah segera menyeka air matanya dengan kedua tangan, dia rasa tangisan itu tidak akan membuat Firdaus mengubah pikirannya.

"Iya, Tan. Siap."

"Uti, harus belajar masak lagi di YouTube ya. Biar suami kamu enggak makan di luar." Wanita paruh baya itu memberitahunya, hal tersebut pun membuat Faisal terkekeh pelan saat melihat ekspresi menggemaskan dari ponakannya.

"Kalau gitu Firdaus pamit bawa Putri ya, Paman, Tan. Kalau pun memang dia kepengin ke sini, pastinya Fir bakalan anterin. Enggak mungkin cegah dia juga buat ketemu kalian." Perkataannya begitu sangat lembut sekali. Putri saja malah senyam-senyum tidak jelas saat memandangi suaminya.

Ziyah dan Faisal pun melambai begitu keponakannya masuk ke dalam mob.

"Dadah, Tante, Om. Uti sayang kalian." Dia juga menunjukkan bentuk love Korea yang dirapatkan antara jari telunjuk dan jempolnya.

"Semoga saja Uti setelah menikah bisa lebih dewasa ya, Sayang." Ziyah menggandeng lengan suaminya dengan mesra. Hal itu pun diangguki Faisal pelan. Dia juga setuju atas apa yang dikatakan istrinya, karena seingat mereka selama ini sosok Putri itu sifatnya terlalu kekanakan, dan hal tersebut membuat mereka berdua selalu saja khawatir.

"Aku yakin, Sayang. Kalau Firdaus bisa mengimbanginya." Faisal menanggapinya dengan penuh ketenangan.

"Ya, aku pun sudah meyakinkannya jika Firdaus akan menjadi suami yang baik. Hanya saja, aku kurang yakin kalau Uti bisa jadi istri yang baik buat Fir." Suaranya terdengar lirih, tapi kalimat tersebut membuat Faisal terkekeh pelan.

"Jangan bilang kayak gitu. Kamu bilang gitu karena Uti selalu diperlakukan manja sama kita. Makanya, kita selalu takut kalau sikapnya tidak bisa mandiri setelah menikah." Faisal mengusap lembut puncak kepala istrinya, lalu menyempatkan untuk mengecupnya juga.

***
Sesampainya di rumah Firdaus, Putri celingukan karena mungkin saja dia terkejut dengan bangunan luas, sederhana, tapi tetap terlihat elegan.

"Ini kita ke rumah siapa? Kamu enggak nyasar kan, suami?" tanya Putri, mendongak memandangi Firdaus yang kini justru terkekeh pelan.

"Rumah untuk anak-anak kita." Firdaus melingkarkan tangan kanannya di pinggang istrinya.

"Rumah kamu?" tanya Putri memastikan.

Firdaus tampaknya gemas pada istrinya, dia menjawil dagunya. "Iya, Sayang. Rumah aku, kamu, dan calon anak-anak kita."

Jika perempuan lain mungkin akan memerah wajahnya saat suaminya berkata demikian, tapi tidak dengan Putri yang justru malah bengong memandangi bangunan di depannya.

"Suami, nanti aku tidur di mana?" tanyanya dengan polos.

"Hah?" tanya Firdaus.

Baru saja sampai, dia sudah menanyakan kamar untuknya. Firdaus ingin sekali tertawa saat itu juga, tapi urung dilakukannya. Terlebih lagi, ada Pak Wawan yang menyambut mereka.

"Selamat datang, Tuan dan ...." Dia menggantungkan ucapannya. "Nyonya kecil."

Lanjutan ucapan dari Pak Wawan membuat Firdaus tergelak. Dia melirik ke arah istrinya yang masih saja terkesima dengan bangunan di hadapannya.

"Kamar kita ada di bawah." Firdaus pun menggandeng istrinya dengan sangat manis sekali. Pak Wawan membantu mereka dengan memasukkan semua barang-barang bawaannya ke rumah.

"Ini kamar kita." Firdaus membuka salah satu ruangan yang ternyata sudah dihias sedemikian rupa. Ada banyak bunga-bunga hiasan yang mengitari hingga tampak terlihat indah.

"Kenapa dihiasnya sama bunga, suami? Kenapa enggak sama boneka aja? Kan lucu." Dia mengerucutkan bibirnya dengan gemas.

"Kamu mau bikin kamar pengantin atau kamar main buat anak-anak, hm?" tanya Firdaus sembari terkekeh pelan.

Terlepas dari pembahasan kamar, kini pandangan Putri menyisir ke sekitar ruangan. Hingga matanya terfokus pada sebuah foto seorang perempuan yang tengah tersenyum sangat manis sekali.

"Kamu punya perempuan lain selain aku, suami?" tanya Putri, membuat Firdaus terdiam, dan matanya mengikuti arah pandang istrinya pada gambar yang mengenakan pigura cokelat di atas dinding.

***
Jangan lupa baca ceritaku yang lainnya ya. Jangan lupa follow ya. 

PASUTRI BUCIN AKUT (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang