21 (mengambil hak)

9.9K 716 22
                                    

Menempuh perjalanan sekitar lima jam dari kota tempat tinggalku, akhirnya kami tiba di depan rumah sederhana peninggalan almarhum Tuan Suhendar, ayah dari Marina. Bersama Oliver, yang hanya menyisihkan satu jadwal meeting untuk menemani, aku berdiri di depan rumah itu. Aku menekan bel beberapa kali hingga seorang pria paruh baya dengan rambut setengah botak, perut buncit, dan kaos oblong keluar menyambut kami.

"Maaf, bapak dan adik siapa ya?" tanyanya dengan nada sopan.

"Saya Oliver Zayan. Kami berniat bertamu ke rumah ini. Jika keberatan, kami akan pergi," jawab Oliver dengan sikap santun.

"Tidak masalah, Pak Oliver. Silakan masuk," balas pria itu dengan ramah.

Kami melangkah masuk ke dalam rumah yang sederhana. Tak ada barang mewah, hanya furnitur yang terlihat sudah cukup tua. Oliver menggenggam tanganku, memberi isyarat agar aku mengikutinya. Kami duduk di ruang tamu, di mana suasana rumah semakin menunjukkan kesederhanaannya.

"Sebelumnya, saya ingin bertanya sesuatu kepada Paman," kataku membuka pembicaraan.

"Tentang apa, Dek?" tanya pria itu.

"Rumah ini benar milik Tuan Suhendar?" tanyaku memastikan.

"Benar. Beliau adalah juragan saya," jawabnya dengan tenang.

"Hah, bos?!" aku terkejut.

"Mungkin adek tidak percaya. Juragan Suhendar memang sederhana sekali. Tidak pernah ingin terlihat seperti orang kaya pada umumnya," jelasnya sambil tersenyum kecil.

"Lalu, di mana Pak Suhendar sekarang?" tanyaku, pura-pura tidak tahu.

"Beliau sudah tiada dua bulan lalu," jawabnya, nada suaranya menjadi sendu.

"Jadi, siapa pewaris rumah ini?" tanyaku lagi.

"Den Aditya," jawabnya tanpa ragu.

"Putranya?" Oliver menyela.

"Bukan, cucu angkatnya," jawab pria itu.

"Cucu angkat?" ulangku tak percaya.

"Seminggu sebelum meninggal, Juragan Suhendar bilang bahwa Den Aditya bukan cucu kandungnya. Tapi dia yang dipilih menjadi pewaris," jelasnya.

Oliver mengernyit. "Bukankah, menurut hukum, anak kandung lebih berhak daripada cucu angkat?" tanyanya tegas.

"Juragan Suhendar memang merasa ada perasaan berbeda saat pertama kali bertemu Den Aditya. Perasaan itu tidak dia rasakan pada cucu-cucunya yang lain. Setelah mencari tahu tentang Den Aditya, fakta yang dia temukan mengejutkan hingga sempat memengaruhi kesehatannya," tutur pria itu panjang lebar.

"Lalu, kenapa Pak Suhendar lebih memilih Aditya sebagai pewarisnya?" tanyaku penasaran.

"Den Aditya itu baik hati, berbudi luhur, dan ramah. Tidak seperti cucu-cucu Juragan yang lain. Bahkan, putri kandung Juragan saja tidak peduli pada ayahnya saat beliau sakit. Tapi Den Aditya sering menjenguknya, membantu, bahkan memperhatikan hal-hal kecil," jawabnya dengan penuh keyakinan.

"Putri kandungnya di mana sekarang?" tanya Oliver.

"Ikut suaminya. Sifatnya jelek sekali, Pak. Juragan sakit saja tidak pernah ditengok, beda sama Den Aditya," katanya sambil menghela napas.

"Aditya baik sekali, ya," kataku pelan.

"Benar pisan, Dek. Dulu saja dia pernah kasih saya uang lima ratus ribu buat istri saya berobat," ujarnya, mengenang kebaikan Aditya.

"Paman tahu di mana Aditya sekarang?" tanyaku.

"Saya bingung. Nomor Den Aditya tidak aktif," jawabnya dengan nada menyesal.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang