Part 8

1.3K 122 35
                                    

"Ma ... yang lain m-mana?" Aku bertanya dengan napas tersengal-sengal.

Mama yang sedang duduk sambil memakan sandwich langsung menoleh ke arahku, alisnya naik sebelah. "Yang lain siapa?"

"Papa, Kakak, Abang. Mereka kemana? Kok, rumah udah sepi?" Aku celingukan ke kanan dan ke kiri, sepi. Apakah mereka semua sudah pergi? Kenapa aku selalu ditinggal begini.

"Kalo Papa sama Kakak udah pergi. Kalo Abang masih di rumahnya, mau ngambil motor katanya." Mama melihatku sekilas, kemudian kembali memakan sandwich-nya.

"Kalo gitu Nia nyusul Abang deh, Ma. Mama baik-baik di rumah, jangan nakal," ucapku diiringi dengan kekehan ringan. Mama langsung memutar bola matanya. "Mama bukan anak kecil lho, Nia."

"Iya, Mama. Nia tau kok. Kalo gitu Nia berangkat sebelum ditinggal sama Abang, assalamualaikum," pamitku sambil mengecup pipi kanan Mama.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati. Nanti langsung pulang, ya. Jangan nongkrong-nongkrong lagi. Ada tamu yang mau dateng soalnya."

"Ok, Ma." Tanpa banyak bertanya aku melangkahkan kaki menuju keluar rumah.

Sampai di depan rumah, aku melihat Bang Rafa sedang mengotak-atik motor Honda CBR250RR warna merahnya, entah apa yang sedang dilakukannya, sepertinya serius sekali. Aku langsung melangkah menuju ke pekarangan rumah dengan cat warna hitam dan putih itu. Rumah yang dulunya ber-cat warna terang itu, kini sudah berubah menjadi warna monokrom. Abang mengubahnya saat aku masih duduk di bangku SMA beberapa tahun lalu.

"Abang!" Aku menepuk pundaknya dari belakang. Membuat si empunya badan langsung terperanjat kaget. "E-eh? Kenapa, Dek?" tanyanya dengan raut heran, karena melihat aku sudah rapi di pagi hari begini.

"Anterin Nia ke kampus, yuk. Lagi males naik ojol nih," kataku, sambil ikut berjongkok untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh Bang Rafa sejak tadi.

Bang Rafa tampak berpikir. Oh, ayolah, mau saja. Kapan lagi aku menghabiskan waktu dengan Bang Rafa, dia selalu sibuk beberapa waktu ini. Kalaupun ada waktu luang, pasti dia akan bersama pacarnya itu.

Mengingatnya saja sudah membuatku sebal.

"Boleh deh, kalo gitu Abang ganti baju dulu. Jangan diapa-apain ini motornya, ya," ucapnya sambil berdiri dari jongkoknya. Aku juga tidak segabut itu untuk mengotak-atik motor orang.

"Iya, Abang. Nia cuma lihat-lihat doang kok," kataku yang dibalas dengan anggukan olehnya.

Saat bang Rafa masuk ke dalam rumah, aku hanya bisa melihat-lihat motor sport merah di depanku ini. Kadang aku berpikir, kapan aku bisa mengendarai motor atau mobil, agar tidak susah kalau mau kemana-mana. Tapi, jangankan mau naik motor atau mobil, naik sepeda saja aku tidak bisa sampai sekarang.

Pernah sekali aku diajari naik sepeda oleh kakakku, tapi katanya dia kapok mengajari aku naik sepeda. Ya, mungkin karena baru saja menggowes sepeda, aku sudah menabrak pilar rumah milik pak RT yang ada di sebelah rumahku. Alhasil, stang sepada yang awalnya masih cantik langsung penyok karena benturan yang lumayan keras. Ya, sejak saat itu, kakak maupun orang tuaku tidak lagi memperbolehkan aku menaiki sepeda atau sejenisnya.

"Adek, yuk berangkat!"

Aku tersentak karena suara Bang Rafa tiba-tiba terdengar di telinga sebelah kananku. "Ngapain masih jongkok di sini? Ayo." Tangannya langsung terulur untuk membantuku berdiri.

Saat sudah berdiri, aku sedikit meringis karena kakiku sedikit kebas. Sepertinya terjadi karena lumayan lama berjongkok tadi.

"Ayo deh."

Bang Rafa langsung menaiki motornya setelah menyerahkan helm padaku. "Bisa pake helm-nya?"

Aku langsung mendengus. Aku sudah khatam kalau soal memakai helm saja, yang tidak bisa hanya membawa motor. "Bisa dong, aku udah sering pake helm. Kan, sering naik ojol."

ONLY YOU [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang