Part 26

1.7K 157 50
                                    

Ternyata sangat sulit melupakan orang yang sudah lama menempati hati kita selama bertahun-tahun. Entahlah, semakin aku mencoba membenci dan melupakannya malah semakin aku mengingatnya. Apalagi dalam seminggu ini dia rajin sekali datang ke rumah. Entah untuk mengantarkan makanan Lily, padahal aku punya stok berlebih untuk makanan Lily, tetapi dia beralasan sebagai Papa dari Lily dia bertanggung jawab atas kelangsungan hidup Lily. Cih, berlebihan. Lain lagi kalau sudah sore, dia akan siap sedia mengantarkan Mama belanja, sampai mengobrol dengan Bi Janah pun dilakoninya.

Kalau malam hari tiba, dia akan datang dan mengajak Papa main catur atau mengajak Kak Rey bermain game bersama. Mungkin dia sengaja berkeliaran di rumahku, entah untuk alasan apa, tetapi aku yang bosan melihat wajahnya di mana-mana.

Seperti pagi ini, dia sudah duduk di dapur sambil menonton Mama dan Bi Janah yang sedang sibuk dengan adonan masing-masing. Benar-benar kurang kerjaan. Aku yang baru masuk ke dapur langsung menghentikan langkah, tapi aku harus masuk ke dapur karena ada yang mau kutanyakan pada Bi Janah. Ah, masa bodo lah, masuk saja. Anggap saja dia hanya patung di sana.

Setelah mengumpulkan tekad, aku masuk ke dapur dan menghampiri bi Janah. "Bi, deterjen udah abis, ya? Nia cari-cari nggak ada."

Bi Janah menoleh ke arahku, diikuti dengan Mama dan juga Bang Rafa. "Ada kok, Non. Di dalam plastik putih deh kayaknya, belum Bibi keluarin kemarin," balas Bi Janah. Aku langsung mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu aku langsung berbalik dan kembali ke ruang cuci, mengabaikan tatapan tajam dari laki-laki yang sedang menumpukan tangannya di meja itu.

Hari ini aku memang sangat rajin, berhubung sedang tidak ada drakor yang ingin kutonton, akhirnya aku berinisiatif meringankan beban Bi Janah dengan mencuci pakaian dan juga spreiku sendiri. Iya, hanya punyaku sendiri. Kalau pakaian yang lain tetap dicuci oleh Bi Janah.

Setelah sprei terendam dengan air, aku memasukkan deterjen dan menyalakan mesin cuci. Setelah itu mengambil ember kecil yang berisi pakaianku yang sudah dikeringkan, hanya tinggal dijemur saja. Aku membawanya ke ruangan khusus yang dipakai untuk menjemur pakaian. Letaknya bersebelahan dengan ruang cuci.

Saat hendak mengambil celana untuk dijemur, aku dikagetkan dengan suara berat Bang Rafa tepat di belakangku. Karena suara itu datang tiba-tiba, aku langsung terperanjat dibuatnya. "Bisa nggak sih, kalo nggak bikin kaget?" Rasanya jantungku tiba-tiba mau copot saking terkejutnya.

Dia langsung pindah bersisian di sampingku. "Abang bantuin, ya?" katanya dengan senyum yang masih bertengger di wajah yang sayangnya sangat tampan itu. Huh! Kenapa dia tidak pernah jelek, sih?

"Nggak usah! Nia bisa sendiri," balasku ketus. Masa bodo soal sopan santun kepada orang yang lebih tua, sekarang bawaannya kesal terus kalau melihat wajahnya.

Kukira dia akan menurut dan segera pergi dari sini. Ternyata tangannya malah menggapai pakaianku yang ada di dalam ember, dan dia mengambil—oh, astaga! Itu bra milikku!!!

"Jangan sentuh-sentuh!!!" Aku langsung mengambil alih bra yang berada di genggamannya dan membawa ke belakang punggungku. Ah, bra-ku sudah tidak suci lagi.

"E-eh, maaf. Abang nggak tau kalo itu tadi ... anu ...." Dia tampak gugup sambil menggaruk kepalanya. Wajahnya juga tampak merah padam.

Astaga! Rasanya aku ingin masuk ke dalam mesin cuci saja kalau begini. Bra berwarna merah menyala milikku tadi dipegang olehnya dengan wajah tanpa dosa begitu.

Huaaa!!! Mama, Nia malu banget ....

"Nggak papa, mending keluar dari sini. Biar Nia aja," kataku yang langsung diangguki olehnya. Setelah itu dia langsung meninggalkan aku sendiri di sini dengan wajah yang menahan malu. Astaga, kalau bisa sekarang aku mau ke pluto saja, malu sekali.

ONLY YOU [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang