Part 21

1.5K 133 19
                                    

Aku berlari masuk ke dalam kamar, mengabaikan raut penasaran dari Kakak dan mamaku. Kenapa aku tadi bertindak bodoh seperti itu, sih? Kenapa tadi aku malah memperburuk keadaan dengan kembali mengemis jawaban yang sudah pasti jawabannya sama seperti kemarin, bahkan kali ini dia terang-terangan mengatakan tidak ada rasa sama sekali padaku.

Kenapa kamu bodoh sekali, Tania. Kenapa?

"Arrggh!!! Tania SIALAN! Kenapa lo goblok banget sih?!" Aku membenamkan kepala di bantal, berharap teriakanku tidak terdengar sampai keluar.

Sekarang aku benar-benar merasa bodoh, bisa-bisanya aku bertindak seperti itu. Goblok! Cari penyakit itu namanya, Tania!

"Rafa SIALAN! Nggak punya hati! Bajingan!!!"

Rasanya mengeluarkan semua makian untuk orang itu, sungguh melegakan hatiku. Rasanya beban di tubuhku ikut keluar.

Baiklah, dia yang bilang kalau tidak pernah memiliki rasa sedikit pun untukku. Baik, hari ini adalah hari terakhir aku mengemis cinta padanya. Lalu, apa katanya tadi? Aku ini hanya orang asing? Holy shit! Bukannya aku mau mengungkit masa lalu, tetapi aku selalu menghiburnya disaat dia masih bersedih atas kepergian orang tuanya. Aku selalu mendengarkan setiap curhatan tentang saat-saat terakhirnya dengan sang Ibu, dan kini dia mengatakan kalau kami adalah orang asing?

Ah, tetapi tetap saja aku yang bodoh karena masih saja berharap untuk sesuatu yang sudah jelas-jelas tak bisa kumiliki.

"Kamu kenapa? Kamu berantem sama Abang?"

Aku menoleh, kak Rey masuk ke dalam kamarku dan langsung mengambil duduk di tepi kasur.

"Jangan sebut nama orang itu lagi di sini. Nia nggak mau dengar," kataku kesal. Untuk saat ini mendengar namanya membuat kekesalanku yang tadinya sudah berkurang, kini malah bertambah.

"Kenapa, sih? Abang lagi sedih lho, kenapa kamu jadi sensi denger nama Abang? Aneh banget."

Sedih apanya? Mana ada orang sedih bicara seketus tadi.

"Duduk deh, masa Kakak ngomong sama punggung kamu." Kak Rey menepuk punggung belakangku, mau tak mau aku jadi duduk dan bersandar di headboard kasur.

"Abang yang sedih kenapa kamu yang nangis? Tapi iya deh, soalnya Mama juga tadi nangis banget. Kalo Abang lebih tegar, mungkin malu kalo nangis, soalnya bukan bocah kayak dulu lagi."

Aku menoleh ke arah Kak Rey. "Gimana mau sedih sih, Kak. Nggak mungkin juga dia sedih, masa pacarnya hamil dia sedih, harusnya bahagia."

Entah kenapa aku merasa dikhianati, padahal sudah jelas hubunganku dengan dirinya tidak lebih dari—teman, mungkin.

"Ha?" Kak Rey mengerutkan dahinya. "Kenapa bahagia? Kamu kok aneh banget."

Aneh? Apanya yang aneh? Yang aneh itu kamu, Kak. Biasanya juga begitu, 'kan? Kalau pasangannya hamil pasti bahagia, tidak mungkin sedih. Kan, mereka berbuat dengan senang hati, bukan atas paksaan dari siapapun.

"Tau deh, ngomong sama Kakak bikin Nia tambah pusing. Mending keluar sana! Nia mau tidur bentar." Aku mendorong Kak Rey agar turun dari tempat tidur, tetapi badannya tak bergerak sedikit pun.

"Ini udah sore. Nggak boleh tidur jam segini," timpalnya.

"Ya udah, Nia nggak tidur. Tapi, sekarang Kakak keluar, Nia mau nenangin diri dulu."

Bukannya beranjak, sekali lagi dia malah menyamankan duduknya dengan ikut bersandar di sampingku. "Oke, nanti Kakak bakalan keluar dari sini. Tapi, sebelum itu Kakak mau tanya, kenapa abis dari rumah Abang tadi kamu malah nangis, hem?"

ONLY YOU [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang