1. He That Never Really Goes Away

3.4K 212 2
                                    

╔═══════╗

𝘐 𝘣𝘢𝘳𝘦𝘭𝘺 𝘩𝘦𝘭𝘥 𝘮𝘺𝘴𝘦𝘭𝘧 𝘸𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘩𝘦 𝘴𝘮𝘪𝘭𝘦𝘥 𝘢𝘵 𝘮𝘦. 𝘐 𝘬𝘯𝘰𝘸, 𝘎𝘰𝘥 𝘤𝘰𝘶𝘭𝘥 𝘣𝘦 𝘶𝘯𝘧𝘢𝘪𝘳 𝘴𝘰𝘮𝘦𝘵𝘪𝘮𝘦𝘴, 𝘦𝘴𝘱𝘦𝘤𝘪𝘢𝘭𝘭𝘺 𝘵𝘰 𝘵𝘩𝘪𝘴 𝘨𝘶𝘺. 𝘎𝘰𝘥'𝘴 𝘣𝘦𝘦𝘯 𝘱𝘭𝘢𝘺𝘪𝘯𝘨 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘏𝘪𝘴 𝘧𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵𝘦𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘣𝘭𝘦𝘴𝘴𝘦𝘥 𝘩𝘪𝘮 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘴𝘶𝘤𝘩 𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘨𝘦𝘭𝘪𝘤, 𝘩𝘦𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘴𝘮𝘪𝘭𝘦. 𝘏𝘪𝘴 𝘴𝘮𝘪𝘭𝘦 𝘤𝘰𝘶𝘭𝘥 𝘮𝘢𝘬𝘦 𝘮𝘦 𝘧𝘢𝘪𝘯𝘵 𝘢𝘯𝘺 𝘥𝘢𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘐'𝘥 𝘵𝘩𝘢𝘯𝘬 𝘏𝘪𝘮 𝘧𝘰𝘳 𝘴𝘮𝘪𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘢𝘵 𝘮𝘦. 𝘛𝘩𝘢𝘵'𝘴 𝘩𝘰𝘸 𝘮𝘶𝘤𝘩 𝘺𝘰𝘶 𝘨𝘶𝘺𝘴 𝘴𝘩𝘰𝘶𝘭𝘥 𝘬𝘯𝘰𝘸 𝘩𝘰𝘸 𝘭𝘦𝘵𝘩𝘢𝘭 𝘩𝘪𝘴 𝘴𝘮𝘪𝘭𝘦 𝘪𝘴. 𝘔𝘢𝘺𝘣𝘦 𝘐'𝘮 𝘦𝘹𝘢𝘨𝘨𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘯𝘨, 𝘣𝘶𝘵 𝘵𝘩𝘢𝘵'𝘴 𝘩𝘰𝘸 𝘪𝘵 𝘪𝘴. 𝘏𝘦 𝘪𝘴 𝘥𝘪𝘷𝘪𝘯𝘦. 𝘏𝘦'𝘴 𝘱𝘦𝘳𝘧𝘦𝘤𝘵 𝘢𝘴 𝘩𝘦 𝘪𝘴.

╚═══════╝

Nasha Allanis. Gadis cantik dengan tinggi semampai yang sanggup membuat semua orang menoleh padanya dan terpana melihat dirinya. Nasha sendiri sepertinya tidak terlalu menyadari kecantikannya karena titik fokusnya ada pada Jevin.

Sudah sejak SMA Nasha memendam perasaan untuk Jevin. Jevin yang santun dan ambisius itu adalah laki-laki idaman Nasha, walau Jevin sendiri tak pernah tahu. Nasha tahu, banyak orang mendukung agar Nasha dan Jevin bersama, tapi Nasha lebih memilih untuk mencintainya dalam diam dan mengaguminya dari jauh agar tidak menghalangi Jevin melangkah dalam hidupnya.

Prioritas utama Nasha saat itu adalah melihat Jevin melangkah meniti masa depannya dan Nasha tak mau menjadi pengganggu. Ia senang melihat Jevin yang giat berusaha dan Nasha selalu siap menjadi tempat curhat Jevin ketika ia lelah belajar.

Nasha dan Jevin selalu rebutan menjadi yang terbaik di sekolahnya. Dalam pelajaran apapun, terkadang Nasha yang juara 1 atau Jevin yang ranking 1. Manapun itu, tapi yang pasti selalu rebutan, bahkan tak ada satupun yang berani beradu kompetensi dengan Jevin atau Nasha. Kalau satu kelompok dengan Jevin atau Nasha, dijamin nilai semesteran naik beberapa digit.

Tapi Nasha dan Jevin tak sombong. Jevin dan Nasha selalu siap membantu belajar siapapun yang bertanya pada mereka juga selalu siap memberikan contekan pr pada teman-temannya. Jevin dan Nasha juga masih terlibat dalam OSIS juga mengikuti banyak olimpiade. Deretan piala dan piagam yang terpajang di ruang kepala sekolah didominasi oleh nama mereka berdua.

"Gue bangga punya sahabat kaya lu, Nash."

Nasha dan Jevin bersahabat sekaligus rival bagi satu sama lain. Walau perasaan Nasha yang lebih dalam tak diketahui Jevin. Kadang perih rasanya mendengar Jevin menekankan kata sahabat, tapi ya sudah, mau bagaimana lagi?

Nasha pikir Jevin akan selalu ada di dekatnya. Tak menjadi miliknya pun tak apa, Jevin tak menyadari perasaannya pun tak apa, asalkan dia bisa berada di sisi Jevin saat ia sedang senang maupun sedih. Nasha siap mengikuti langkah Jevin yang ambisius, semua demi bisa dekat dengan Jevin tanpa harus memilikinya dan Nasha bahagia dengan itu.

Nasha pikir Jevin akan selalu menemuinya untuk mencurahkan rasa lelahnya meniti masa depannya namun ternyata tidak.

Jevin diterima di kampus yang berbeda dengannya, di kampus yang sama dengan sahabat-sahabatnya. Jevin begitu bahagia dan Jevin juga yang memberinya ucapan selamat karena Nasha diterima di jurusan arsitektur di Melbourne.

"Selamat, Nash!"

Dari puluhan orang yang memberinya ucapan selamat, hanya ucapan selamat dari Jevin yang paling tidak ingin didengarnya. Dengan ucapan selamat dari Jevin, Nasha harus menguatkan hati untuk berpisah dari 'sahabat'nya ini.

Nasha harus maklum dan sesuai janjinya pada diri sendiri, Nasha tak akan menjadi penghalang bagi Jevin yang meniti masa depannya, jadi dengan berat hati Nasha menerima undangan kuliah di Melbourne, Australia dan berpisah dari Jevin.

Walau Nasha tinggi semampai, Jevin tetap lebih tinggi darinya. Laki-laki berkacamata itu melepas topinya, menyugar rambutnya ke belakang sambil melihat jadwal penerbangan.

Ya, Jevin mengantar Nasha ke bandara, mengantarnya sampai departure gate. Lalu lelaki itu menoleh padanya, matanya seolah mengatakan kalau inilah waktunya berpisah dengan Jevin sembari tersenyum manis.

 Lalu lelaki itu menoleh padanya, matanya seolah mengatakan kalau inilah waktunya berpisah dengan Jevin sembari tersenyum manis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

God, his smile.

Nasha tak pernah bisa menahan dirinya ketika Jevin tersenyum padanya. Ia hentakkan kakinya ke lantai kuat-kuat demi menguatkan kakinya yang rasanya lemas melihat senyum Jevin.

Terdengar suara dari speaker bandara menyatakan waktunya boarding untuk pesawat yang akan membawanya ke Melbourne sudah tiba. Nasha mendengus pelan. Tiba-tiba matanya terhalangi oleh topi yang dipakaikan Jevin padanya, lalu kepalanya sudah dibawa ke dada Jevin, ke dalam pelukannya.

"Selamat berjuang, Nash. Gue juga berjuang disini. Lu jaga diri, ya?"

Boleh kan, Nasha jatuh cinta sedikit lebih dalam untuk Jevin?

"Balikin topi gue kalo kita ketemu lagi, ya?"

Nasha tersenyum. Dipegangnya erat hoodie abu-abu Jevin. Tanpa kata-kata, Nasha melepas pelukan Jevin dan matanya bersirobok dengan tatapan manis Jevin yang tersenyum padanya. Ditariknya sedikit ujung topi itu demi menutupi matanya yang mulai basah oleh air mata.

"Jangan nangis. Lu cocoknya sama senyuman, bukan air mata." sahut Jevin singkat. Nasha mengusap air matanya lalu menampilkan senyum terbaiknya pada Jevin, sahabatnya.

Di depan gerbang departure gate, Nasha mengangkat kepalan tangannya yang disambut kepalan tangan Jevin menyentuh kepalan tangannya juga.

Lalu gadis tinggi semampai itu berjalan ke departure gate, memastikan semua dokumen dan visanya lengkap. Setelah melewati pemeriksaan, Nasha pun menarik nafas berkali-kali. Ini benar-benar saatnya berpisah dari Jevin.

"Nash!"

Suara teriakan Jevin membuatnya segera menoleh ke arah Jevin yang melambaikan tangannya.

"Gue simpan baik-baik pesan dari lo, Nash!"

Nasha tertegun. Apakah Jevin sudah mengetahui perasaan yang ia pendam selama ini?

"See you on top!"

Nasha tersenyum pahit. Bukan tentang perasaannya, tapi tentang janji mereka untuk bertemu di puncak kesuksesan mereka.

Ditatapnya topi hitam itu, topi titipan Jevin yang akan diambilnya saat mereka bertemu lagi. Untuk kali ini, Nasha ingin beristirahat dari perasaannya. Nasha ingin mengesampingkan dan mengacuhkan perasaannya, setidaknya sampai ia lulus kuliah karena ia butuh tenaga ekstra untuk fokus pada studinya tanpa Jevin.

Pesawat pun akhirnya lepas landas, memisahkannya dan Jevin, menariknya pada kenyataan untuk berjuang sendiri tanpa ditemani Jevin.









-to be continued

[M] Perfection | Bluesy JenrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang