11. It Wasn't Love, It Was An Illusion

1.7K 141 23
                                    

╔════════════╗

What if you are the cause
of everything falling apart?

╚════════════╝

Nasha termenung dari jendela kamarnya menatap pemandangan dibawahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nasha termenung dari jendela kamarnya menatap pemandangan dibawahnya. Jevin menggenggam tangan Inka lalu meniupnya, sama seperti yang sering dilakukan Jevin untuknya ketika mereka hanya berdua.

Nasha kenal wanita itu; itu Inka, seseorang yang Jevin bilang adalah roommate-nya. Tapi bukankah rasanya mereka terlalu dekat kalau dibilang roommate? Apalagi sampai berpegangan tangan seperti itu?

Bahkan Jevin pun terlihat berlari mengejar taksi yang dinaiki Inka setelah sebelumnya Inka buru-buru meninggalkan Jevin dengan menaiki taksi. Inginnya Nasha tidak terlalu overthinking, tapi tetap saja.

Apalagi setelah Nasha yakin Jevin dan dirinya sudah saling menyukai sejak lama, Nasha merasa harus memastikannya.

Diraihnya ponselnya untuk menghubungi Jevin, namun Jevin tidak mengangkatnya. Malah lelaki itu terlihat lunglai bahunya, berjalan kembali menuju apartemen. Nasha tahu hari ini adalah hari sidang terakhir tesis  Jevin, jadi dia buru-buru turun berniat menyambut Jevin dan menyemangatinya.

"Vin...!" teriaknya dari balkon atas pada Jevin yang berdiri menunggu lift. Lelaki itu bergeming, hanya mematung dengan kepala mendongak mencari sumber suara Nasha.

Tapi yang Nasha lihat bukanlah wajah Jevin yang berseri-seri ketika melihat Nasha; wajah itu adalah wajah seorang yang kalah, wajah yang telah menyerah akan segalanya.

Menyadari itu, buru-buru Nasha ikut naik lift menuju lantai tempat apartemen Jevin untuk menyambutnya, setidaknya untuk sekedar memberinya semangat di hari sidangnya. Ia tahu persis, bagi orang-orang yang hendak melaksanakan sidang, support moral adalah yang paling dibutuhkannya.

Jadi disinilah ia, berdiri di depan pintu apartemen Jevin dengan tangan terentang hendak memeluk Jevin yang berjalan lunglai mendekati pintu apartemennya. Lelaki itu membiarkan tubuhnya dalam pelukan Nasha yang mengelus punggungnya.

"Kamu gapapa, Vin?" tanyanya. Jevin mengangguk lemah, tanpa suara. Diraihnya pintu apartemennya dan angin pun terasa berhembus dari jendela apartemennya yang terbuka.

Belum ada hitungan jam sejak kepergian Inka namun apartemen ini terasa begitu kosong, kosong sekali seperti apartemen tak berpenghuni. Bukan cuma kosong, tapi juga dingin.

"Inka pulang ya, Vin?" tanya Nasha pelan. Jevin lagi-lagi hanya mengangguk mendengar itu. Diraihnya laptop serta jasnya dan ia memakai jasnya. Jas biru yang dipilihkan Inka, jas yang ia pakai ketika mereka berdua berjanji di depan altar pernikahan.

"Sini biar aku pakaikan," Nasha dengan cekatan mengambil dasi biru garis-garis yang senada dengan jas biru itu dan memakaikannya pada Jevin.

Jevin memperhatikan wajah cantik Nasha yang tertunduk memakaikan dasi itu untuknya. Jevin tak bohong, ia pun sebenarnya menyukai Nasha. Tapi bagaimana bisa ia tak menyadari itu selama bertahun-tahun?

[M] Perfection | Bluesy JenrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang