6. A Matter of Priorities

1.7K 141 10
                                    

╔════════════╗

If I ever see a flaw of yours,
I'd say my eyes are the flawed ones

╚════════════╝

"Gue tinggal, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gue tinggal, ya."

Nasha melambaikan tangannya pelan dengan senyum di wajah cantiknya. "Mm. Makasih, ya."

Jevin mengangguk. Tangannya mengepal erat dibalik saku jaketnya sementara kakinya terlihat berjinjit naik turun seolah ragu untuk melangkah dari depan pintu apartemen Nasha yang terbuka.

"Lo yakin lo gapapa sendiri?" Entah setan atau malaikat di pundaknya yang menyuruhnya untuk bertanya seperti itu, bahkan Jevin malah mempertanyakan dirinya sendiri, bisa-bisanya mereka mengambil alih kendali atas dirinya.

"Gapapa, Vin. Disini kan aman." jawab Nasha manis.

Kalo khawatir ya bilang aja. Apa susahnya, sih?

Ah, sialan, ternyata setan pelaku yang sejak tadi mengambil alih dirinya.

"Oke. Kabarin gue kalo ada apa-apa, ya." untunglah sang malaikat berhasil mengalahkan setan sialan itu dan membuatnya mengatakan hal yang benar. Nasha tersenyum manis lalu melambaikan tangannya pada Jevin yang mulai melangkah menjauh. Sesekali ia berbalik, mendapati Nasha masih ada di pintu, melambaikan tangan padanya. Melihat Nasha masih tersenyum manis setiap kali Jevin berbalik, lelaki itu mengulum senyum.

Ia pun berlari pelan menuju lift yang terletak di sudut gedung. Ia berbalik dan bersandar pada tembok. Dirabanya dadanya sendiri, tempat jantungnya terasa berdegup kencang.

Jevin tahu persis perasaan bahagia janggal yang hinggap di hatinya.

Satu kali saja ia pernah merasakan perasaan ini.

Rasa bahagia yang sama dengan yang pernah ia rasakan untuk seorang wanita berambut pendek yang tersenyum membukakan pintu untuknya. Seorang wanita yang dijanjikan Jevin akan ia bahagiakan seumur hidupnya, seorang wanita yang dirusak hati dan tubuhnya oleh kejamnya dunia.

Dan mungkin juga oleh dirinya sendiri, karena wanita itu masih tersenyum menyambut suaminya pulang, sekalipun Jevin tak mengangkat telpon darinya berkali-kali ketika ia sedang menikmati kehangatan tubuh gadis lain dalam pelukannya.

"Jevin. Akhirnya kamu pulang."

Entah sejak kapan, kehangatan dekapan wanita yang memeluknya itu tak lagi sehangat dulu.

Hatinya dipenuhi keraguan namun ia berusaha keras menepisnya dengan mencium kepala wanita itu lama.

"...aku pulang, Inka."

***

3 tahun sudah biduk rumah tangga Jevin dan Inka berlayar. Inka meninggalkan segalanya termasuk seluruh masa lalunya demi bisa bersama dengan Jevin yang berikrar padanya untuk membahagiakannya.

[M] Perfection | Bluesy JenrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang