"Ahool?" seru Nawasena dengan alis bertaut. "Gue pernah mendengar itu."
"Dongeng pengantar tidur, Kakak?" Bocah itu menimpali dengan senyum paling menyebalkan. Ingin rasanya Nawasena menghadiakan jitakan di atas pucuk kepala bocah tersebut. Namun ia takut, pukulannya bisa menembus.
"Sebaiknya kita tetap diam. Ahool itu tidak akan melihat kita."
"Tapi orang-orang itu dalam bahaya. Kita harus menyelamatkan mereka. Maksud gue, membawa mereka bersembunyi di sini," seru Nawasena dengan rasa kepedulian yang begitu besar. Tetapi si Bocah malah menggeleng. Genggamannya pada tangan Nawasena kian menguat.
Nawasena jadi berpikir, bocah ini benar-benar kuat tuk sekelas makhluk astral.
"Kakak tidak bisa. Jangan naif. Sebelum Kakak bisa menolong orang lain. Kakak sendiri yang akan jadi mangsa mereka. Kecuali, Kakak seorang Anomali."
Si Bocah menarik Nawasena lebih dalam. Membuat pria itu tidak dapat melihat apa yang terjadi di luar. Namun, jeritan pilu dan menyayat hati tidak bisa membuat Nawasena tetap merasa tenang. Ia menggigit bibir bawah sambil memainkan jari-jari dengan gelisah. Nawasena cemas memikirkan keadaan Cetta, bagaimana jika sahabatnya itu berada di luar sana dan menjadi korban? Nawasena menggeleng, ia tidak bisa duduk diam dan dia tidak bisa memaafkan dirinya, jika sesuatu terjadi pada Cetta. Lebih baik bergerak sekarang daripada menyesal kemudian.
"Hey!" Bocah itu berusaha menghalangi Nawasena. Tetapi Nawasena sekuat tenaga menghalaunya.
"Minggir, Nak. Gue harus mencari sahabat gue. Tanpa Cetta, gue enggak tahu jalan pulang."
Bocah misterius itu hanya bisa berdecak kesal melihat Nawasena menyelinap keluar dari lorong. Ia menengadah ke arah langit. Tidak ada bintang yang terlihat. Tetapi, hawa kematian terasa kian pekat.
Di luar, Nawasena seperti ingin muntah. Tubuh-tubuh manusia berceceran di sembarang tempat. Ada yang perutnya terkoyak hingga mengeluarkan organ di dalamnya. Tubuh lain malah lebih memprihantikan. Wajah-wajah hancur tak berupa.
Ahool, yang disebutkan si bocah. Tampak asyik menikmati sebuah tubuh tidak bernyawa. Entah pria atau wanita. Nawasena tidak bisa menebak. Lalu, kepala Ahool itu bergerak dan menoleh pada Nawasena.
Mata makhluk itu semerah darah yang mencucur dari gigi-giginya. Ia berteriak keras. Lalu terbang ke udara. Nawasena melirik ke kanan dan ke kiri. Mencari sesuatu untuk menghalau. Tidak ada apa pun, selain bongkahan batu-batu yang Nawasena ambil untuk ia lemparkan.
Tidak terlalu berguna memang. Lemparan Nawasena meleset karena Ahool tersebut pandai menghindar. Satu Ahool sudah membuat Nawasena kewalahan. Sekarang, Ahool lain mulai terpancing dan gerombolan tersebut kian mendekat.
Nawasena tidak punya pilihan selain berlari. Adrenalinnya berpacu cepat. Jalanan mulai sepi dan sesekali terdengar jeritan dari kejauhan. Tidak ada polisi atau orang-orang militer yang datang membantu.
Karena terlalu banyak berpikir. Nawasena terantuk tangan seorang manusia. Lutut dan telapak tangan Nawasena tergores oleh aspal yang rusak. Satu Ahool berhasil melukai pundak pria tersebut.
Sebisa mungkin, Nawasena melemparkan kerikil-kerikil untuk membuat Ahool menjauh. Namun usahanya sia-sia belaka. Cakaran demi cakaran mulai membekas di tubuh Nawasena.
Nawasena mulai merintih kesakitan. Luka cakaran itu mengoyak kulit dan dagingnya. Lalu, tanpa sengaja. Mata Nawasena, malah melihat bocah di lorong tadi sedang menatapnya dengan tersenyum tipis. Ahool, seolah tidak bisa melihatnya atau memang. Mereka benar-benar tidak bisa melihatnya.
Tenaga Nawasena mulai terkuras, di tambah luka fisik yang sangat parah. Lemparan tangannya tidak sekuat yang sebelumnya. Nawasena menelan saliva dengan sesak. Mungkin ini akhir dari segalanya. Tewas di pesta tahun baru oleh sekelompok makhluk mitologi.
Saat Nawasena pasrah dan siap menghadapi hal terburuk. Dia merasakan seseorang menarik ujung kerah belakangnya dengan kasar untuk berdiri.
"Buka mata Kakak." Nawasena terbelalak oleh wajah bocah yang menolongnya. "Lawan mereka! Kakak punya kemampuan untuk itu."
Wajah Nawasena berkerut bingung. Ia tidak mengerti dengan topik yang dibicarakan si Bocah. Sementara itu, para Ahool yang ingin menyerang tiba-tiba terpental ke belakang. Seolah-olah ada sekat transparan yang menghalangi mereka mendekati Nawasena dan bocah kematian.
"Anomali." Bocah tersebut mengulangnya. "Bantuan akan datang terlambat. Kakak harus berjuang, jika ingin hidup."
Nawasena merasakan tubuhnya di dorong kasar oleh bocah tersebut. Sungguh aneh, kekuatan seorang anak kecil terlalu kuat kalau dilihat dari usianya saat ini. Bahkan, Nawasena yang orang dewasa pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Seekor Ahool terbang dan berhasil melukai pucuk kepala Nawasena. Saat ia menghalau makhluk itu, lengan dan tangannya semakin dicabik tanpa ampun.
Rasa sakit itu sungguh luar biasa. Air mata Nawasena sampai mengalir keluar. Ia benar-benar tidak tahan menanggung segalanya. Tubuh pria itu pun ambruk di aspal. Menindih bagian potongan tubuh yang sudah rusak.
Nawasena sudah tidak mampu bergerak. Dia hanya menyilangkan kedua tangan di depan wajahnya sambil menahan rasa sakit yang teramat besar. Hingga tanpa bisa dicegah, mata kiri Nawasena tergores oleh cakar Ahool.
Teriakan pilu mengalun dari bibir Nawasena. Dia kesal, emosi, dan dendam pada bocah berbaju kuning yang hanya berdiam di pojok tanpa melakukan apa pun. Seolah, dia memang menunggu kematian Nawasena.
Pandangannya mulai buram. Nawasena merasa ini sudah akhir dari segalanya. Akan tetapi, ia merasakan sesuatu mengalir di dalam tubuhnya. Rasanya seperti ada aliran panas yang menjalar dari kaki dan menyebar ke seluruh tubuh. Kemudian terpusat di telapak tangan kanan Nawasena.
Saat ia membuka mata. Nawasena terperanjat. Dia menggengam sebuah keris yang memiliki panjang seperti pedang. Bilahnya berkelok-kelok dan ganggangnya berwarna hitam pekat. Benda itu terasa ringan di telapak tangan.
"Itu Kaditula," seru bocah kematian. "Lihat ke depan."
Nawasena menurut. Para Ahool yang sebelumnya beringgas menyerang Nawasena. Sekarang malah menjauh, makhluk-makhluk itu terlihat sangat waspada pada pedang yang dipegang Nawasena.
"Gunakan Kaditula itu untuk membunuh Ahool. Mereka bakal mati dengan mudah."
Nawasena sudah tidak punya kekuatan untuk menyerang makhluk-makhluk itu. Ia hanya mencoba bangun tuk sekedar hidup dan tampaknya para Ahool berniat terbang dan melarikan diri.
"Ck, seharusnya beri pukulan untuk mereka."
Nawasena mulai tidak menyukai bocah kematian ini. Dia terlihat sok tahu dan banyak tahu. Sekaligus menyebalkan di waktu yang bersamaan.
"Ini pedang punya siapa?" tanya Nawasena.
"Punya Kakaklah, masa punya Magma." Alis Nawasena naik satu. Dia akhirnya mengetahui nama si Bocah.
"Ini bukan milik gue."
"Kaditula itu milik Kakak. Tahu khodam? Ya, Kaditula adalah perwujudan dari itu. Mereka memiliki kemampuan untuk berubah menjadi item tertentu atau senjata, dan juga mempunyai nama lain seperti harta karun, senjata suci, atau peralatan suci atau apa pun itu."
"Untuk beberapa saat. Magma pikir, Kakak seorang Sudra." Magma makin mengoceh dengan bangga. Dia bahkan tidak terlihat ketakutan atau panik melihat mayat-mayat yang tergeletak.
"D-Diam."
Satu kalimat singkat berhasil keluar dari bibir Nawasena. Sebelum akhirnya, ia ambruk karena kehilangan banyak darah.
__//___//___///___
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heroes Bhayangkara
FantasyNusantara dalam bahaya. Saatnya para pemburu berjuang untuk menyelamatkan dunia. Kekuatan mitologi adalah kunci segalanya. #1 Fantasi Indonesia #2 Fantasi Lokal