40

212 27 23
                                    

Dalam sekali melompat. Nawasena berhasil naik ke permukaan. Area tersebut masih berdebu pekat. Dicobanya dengan menebas dan hasilnya nihil. Debu-debu yang berterbangan masih tetap.

Berdasarkan insting. Nawasena melangkah menembus debu. Ada aliran pergerakan yang tertangkap di sekitar. Suara-suara erangan pun terdengar jauh di beberapa titik. Hingga pelan-pelan. Debu itu mulai menipis dan Nawasena bisa menyaksikan bagaimana gedung-gedung pencakar langit roboh dengan api yang masih berkobar.

Di sisi lain, puluhan kesatria bhayangkara menyebar dalam beberapa formasi untuk melancarkan serangan pada seorang pria yang menggunakan setengah topeng merah pada mata kanan mereka. Dia memainkan sebuah cambuk bercahaya kuning terang ke arah serangan para kesatria bhayangkara. Yudha adalah Senopati yang memimpin.

Diam-diam. Nawasena mengawasi dari jauh. Dia berjalan memutar. Kemudian melihat seorang pria yang berdiri di atas puing-puing bangunan sedang tersenyum pada Javas. Saat pria itu berteriak pada Orang Bati dan Ahool. Nawasena bisa melihat bagaimana gigi pria itu tampak runcing. Dia juga mengenakan topeng yang sama dengan orang sebelumnya.

Javas benar-benar kesal. Setiap hantamannya pada tubuh Ahool. Dia mematahkan tulang wajah mereka dalam sekali pukul.

"Berhenti bermain-main! Maju dan lawan gue secara jantan!" teriak Javas yang muak menghantam para makhluk mitologi. Sisa pasukannya pun kebanyakan melakukan hal serupa. Seberapa banyak mereka menghabisinya. Jumlah Ahool dan Orang Bati tidak pernah berkurang.

"Javas Alumy. Lo masih belum cukup membuat gue tertarik untuk bermain. Jadi, mari lampau batas kemampuan gue."

Javas meludah ke samping. Dia memikirkan cara untuk menyerang orang tersebut. Sialnya, semakin dia mendekati. Sosok itu terus mengeluarkan Orang Bati dan Ahool yang keluar dari dalam portal.

Javas tidak ingin gegabah menyerangnya dan mengorbankan sisa pasukan. Javas curiga, ada banyak jebakan dan perangkap. Sedari tadi, orang-orang itu belum menyerang dengan serius.

"Sial!" Javas mengumpat sambil kembali menebas Ahool yang berusaha menyerang dari belakang.

Hentikan! Nawasena membatin. Sontak, para Ahool benar-benar berhenti menyerang. Binar mata merah mereka berkedip karena terkejut.

Mereka pun memandang sekitar. Mencari keberadaan Nawasena. Beruntung, Nawasena mampu menyembunyikan diri di balik bongkahan dinding yang roboh.

"Apa yang terjadi pada mereka?" seru salah seorang kesatria bhayangkara. Walau Ahool berhenti menyerang. Orang Bati tidak terpengaruh dengan sugesti tersebut.

Kasa yang memiliki kendali awal tentang Ahool pun ikut tersentak. Dia kembali memerintahkan para Ahool secara batin. Tetapi, titahnya itu tidak di dengarkan.

"Apa yang terjadi?" gumam Kasa. Ikatannya mendadak terputus dan Kasa rasa. Javas tidak bisa melakukan itu. Ia pun mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Mendeteksi setiap cakra yang mencurigakan. Lalu terhenti pada sosok Nawasena yang bersembunyi.

Ledakan tak kasat mata membuat Nawasena terpental jauh. Awalnya Javas tidak terlalu peduli dengan hal tersebut. Namun, karena arah pandangan Kasa yang terus tertuju ke sana. Mau tidak mau membuat Javas ikut menoleh dan melihat kehadiran Nawasena di antara debu beton yang berterbangan.

Nawasena tidak menduga bahwa dia akan menjadi pusat perhatian. "Apa gue salah tempat di sini?"

Pertanyaan Nawasena tidak mendapatkan tanggapan. Semuanya masih memandangnya dengan pikiran yang berbeda-beda.

Lagi, sebuah ledakan kembali terjadi. Tetapi itu tidak melukai Nawasena. Melainkan Kasa yang berpindah tempat mendekat.

"Lo. Tucca?" tebak Kasa. Lalu tersenyum sinis, dia baru menyadari sesuatu. "Apa yang lo lakukan di sini? Tidak seharusnya lo mematahkan ikatan Senior lo pada Aho-".

Serangan mengejutkan Ahool membuat Kasa kecolongan. Ia beruntung pipinya hanya tergores. Tetapi, itu membuat Kasa semakin penasaran dengan Nawasena.

Bahkan sebelum Kasa membalas. Javas memanfaatkan momentum tersebut untuk mengincar kepala Kasa. Hantaman Javas meninggalkan aspal jalan yang hancur dengan retakan di mana-mana. Kasa berhasil menghindar di saat terakhir.

"Lo," seru Javas pada Nawasena. "Apa lo bagian mereka?"

Nawasena memilih membisu. Padahal Eril sudah lebih dulu memperingatkannya agar tidak bertemu Senopati lain.

"Gue akan pergi."

"Tidak semudah itu."

Di luar dugaan. Javas dan Kasa mengincar Nawasena secara bersamaan. Dia memang mampu menahan serangan Javas. Tetapi tidak dengan Kasa yang membuat ledakan.

Akibatnya. Nawasena memuntahkan darah. Kepalanya berdenyut karena luka di pelipis. Dia bingung, siapa yang harus diserang. Bila ia menyerang Kasa. Sapta Syam akan berpikir dia mengkhianati mereka. Sialnya, Kasa ingin membunuhnya.

Sedangkan Javas. Jika Nawasena menyerang. Mereka akan tahu, kalau dia adalah bagian dalam kelompok tersebut.

Serangan demi serangan datang bertubi-tubi. Nawasena hanya bisa bertahan dengan menangkis menggunakan bilah kaditula. Lalu ia terhempas dengan terseret jauh membentur pintu mobil yang terpakir .

Nawasena tidak bisa berdiri. Tulang pergelangan kakinya remuk akibat pukulan Javas, sedangkan kepalanya bermandikan darah. Kasa tampaknya lebih fokus mengincar kepala Nawasena dibanding Javas.

Kasa dan Javas saling melirik. Tidak ada kesatria bhayangkara yang berani mendekat di pertarungan tersebut. Keduanya saling menunggu, siapa yang akan lebih dulu menghampiri Nawasena.

"Sial! Sial! Sial!" Nawasena mengumpat kesal. Dia merasa tidak berarti dan selalu menjadi lemah. Air matanya tumpah. Dia merasa beban. Nawasena ingin membuktikan pada Raksa. Bahwa dia bisa berjuang dan menjadi lebih baik. Bayangan Yolai dan Kavin ikut terbayang.

Sakit hati Nawasena semakin dalam. Nawasena merasa, keduanya pun terlalu memanjakannya dan dia selalu membuat mereka kerepotan. Nawasena menginginkan satu hal. Dia ingin bisa menjadi lebih kuat. Dia juga ingin menjadi orang yang dapat diandalkan.

Emosi itu meledak. Nawasena meraung frustasi. Perasaan yang tidak stabil ini membuat sesuatu yang tersegel sejak dia lahir menjadi pecah. Javas dan Kasa bahkan terpental jauh.

Pusaran cakra berputar di sekeliling Nawasena bagai angin puting beliung. Yudha yang berada di pertempuran lain pun tersentak dengan hal tersebut. Bahkan mantra yang baru saja ia ucapkan tidak bekerja sama sekali. Kaditula setiap orang mendadak lenyap.

Awan hitam datang bergerombol dan menutupi cahaya matahari. Nawasena terus berteriak di antara rasa sakit di tubuh dan rasa sakit yang tidak terlihat.

Kesedihannya semakin bertambah. Saat menyadari bahwa kematian kedua orangtuanya yang semula diyakini Nawasena sebagai kecelakaan mobil. Ternyata akibat melindungi dirinya. Orang tua Nawasena menggunakan cakra mereka untuk menyegel sihirnya.

Nawasena syok. Ingatan samar itu juga menunjukkan wajah Raksa yang memeluk ibu mereka dengan derai air mata. Sekarang, Nawasena rasa dia pantas mati. Kehadirannya hanya membuat orang lain menjadi beban.

"Sial!" umpat Eril yang berdiri tidak jauh di dekat Javas. Astrid pun turut mengikutinya dengan bibir yang sedikit bengkak.

"Cepat katakan! Apa yang lo sembunyikan dari kami, Eril."

Javas yang mendengar seruan tersebut. Menatap mereka dengan alis bertaut. "Eril?"

"Jangan berharap gue akan menceritakan sesuatu," balas Eril tanpa menoleh pada Javas.

"Lo dan Yudha menyembunyikan apa?"

"Apa?" sela Astrid terkejut. "Yudha juga tahu?" Dia menatap Eril dengan sorot menuntut.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan. Hanya Raksa Auriga yang bisa menghentikan adiknya."

"Adik?" ulang Javas. "Sudah kuduga. Ada yang aneh dengan cakra bocah itu sedari awal. Darah bangsawan rupanya."

Di lain sisi. Rekan Kasa yang bernama Karo mengirim pesan untuk meninggalkan arena pertarungan secara diam-diam. Sebab tujuan mereka sudah terpenuhi.

Di dekat tugu Monas. Terdapat sebuah lubang tanah yang amblas ke bawah. David dan para pengikut Sapta Syam yang lain telah berkerumun di sekitar. Lalu, salah seorang dari mereka berseru, "Saatnya kebangkitan."

The Heroes Bhayangkara jilid 1 selesai, bersambung ke jilid 2

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang