6

230 47 8
                                    

"Apa?" tanya Nawasena kebingungan. "Gue Nawasena, warga negara Indonesia."

"Bukan itu," bantah Agha. "Kaditula yang lo miliki adalah benda terkutuk. Apa lo punya sisilah keluarga yang kena karma?"

Wajah Nawasena memerah. Dia tersinggung. "Gue saja enggak tahu apa itu Sudra atau Kaditula sebelumnya. Gue yatim piatu. Apa itu yang lo maksud?"

Agha tidak bermaksud menyinggung privasi Nawasena. Sekarang, dia merasa bersalah dan turut berduka atas informasi yang terdengar barusan.

"Maaf untuk yang sebelumnya. Gue hanya terkejut melihat Kaditula hitam tersebut. Biasanya benda seperti ini diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi, melihat lo terluka sebelumnya ... gue juga merasa heran. Mengapa lo tidak menggunakan benda itu untuk menghalau para Ahool?"

Saat itu, Nawasena terlalu lemah untuk mengayunkan Kaditula tersebut. Menanti jawaban yang tidak kunjung keluar dari bibir Nawasena. Agha pun akhirnya memutuskan untuk segera berlatih. "Serang gue dengan benda itu."

Mata hitam Nawasena terbelalak. "Hah? Lo serius?"

"Serang!" titah Agha. Tidak mempedulikan pertanyaan Nawasena.

Tangan Nawasena menggenggam erat Kaditula tersebut. Dia mengayun dan memutarnya. Lalu, dengan sekuat tenaga. Nawasena berlari dan menyerang Agha.

Serangan Nawasena sangat mudah untuk dibaca. Agha tidak menghindar. Namun tangannya dengan sigap memegang Kaditula. Ada sensasi panas, saat Agha memegang benda tersebut. Telapak tangannya tergores dan darah yang keluar, justru terserap ke dalam Kaditula. Buru-buru, pria tersebut menarik tangannya.

"Master!" seru Arya dari pinggir arena. Namun, Agha hanya memberikan isyarat untuk tetap diam di tempat. "Cukup. Istirahatlah. Selepas sore, kita akan berburu. Lo butuh banyak energi untuk bertarung. Di tambah, jamu yang tadi lo minum cuma sesaat menahan kutukan. Rasa nyeri itu akan kembali muncul. Saat itu terjadi, pikirkan sesuatu untuk meredam dan melawannya."

Nawasena rasa, ini tidak seperti yang ia bayangkan. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Agha. Tetapi pria itu sudah memasang isyarat dan Nawasena tidak bisa memaksa.

Sepeninggal Agha. Nawasena menghampiri Arya. "Apa yang terjadi?" tanya Nawasena

"Lo mau tahu soal yang mana?" tanya balik Arya.

"Karma tentang keluarga gue."

Arya menghela napas panjang. "Lo pernah belajar sejarah mengenai Ken Arok dan Ken Dedes?"

Nawasena mengganguk.

"Lo ingat soal keris yang digunakan Arok membunuh Tunggul Ametung? Di mana benda itu juga yang dipakai Anusapati pada ayah tirinya."

Nawasena kembali mengganguk.

"Kaditula lo seperti itu." Arya menjelaskan pendek. "Seharusnya baik-baik saja jika dipakai menyerang atau membunuh."

Sorot mata Nawasena berubah saat mendengar kata membunuh dari bibir Arya. "Gue enggak ada niat membunuh siapa pun."

"Gue paham soal itu," sahut Arya. "Di kalangan kesatria bhayangkara. Itu benda pembawa kesialan. Tidak ada seorang pun yang mau mendekati penggunanya. Master juga berpikir seperti itu. Tapi, jangan khawatir. Sebagai pemilik benda itu. Lo bisa memutuskan takdir yang ada di dalamnya."

"Benda ini menyerap darah Agha." Nawasena mengingatkan.

Arya bergidik. Dia menelan saliva susah payah. "Itulah kekuatan Kaditula lo. Mereka akan menyerap setiap darah yang mereka tebas sebagai penambah kekuatan. Sekarang kita istirahat. Lo butuh itu."

...

Siaga malam mulai diberlakukan. Para personel militer berkeliling kota dengan mobil beratap terbuka. Kejadian malam tahun baru membawa anomali alam yang tidak bisa dibayangkan. Sejak semburat jingga lenyap dari cakrawala. Para Ahool sudah menyebar ke seluruh kota.

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang