14

150 35 1
                                    

"Lo baik-baik saja?" tanya Gayatri saat  mereka mendudukkan Nawasena di tepi tempat tidur. Tidak ada tempat lain yang mereka tuju selain Master Cafe.

"Ya," sahut Nawasena sambil mengganguk. Dia tidak banyak bicara, ada emosi yang masih terpendam. Gayatri dan Agha saling melemparkan pandangan. Tampaknya, Nawasena berhasil membuat keduanya kembali akur.

"Istirahatlah sebentar," kata Agha sambil  menepuk pundak Nawasena. "Saat Magma kembali, lo bisa ikut dia."

"Ke mana?"

"Untuk sementara bersembunyi. Kita akan berpencar. Apa yang telah kita lakukan adalah tindakan yang tidak bisa dianggap sepele. Para Senopati akan memburu dan meminta pertangungjawaban."

Nawasena pikir, itu ide bagus. Lagipula, dia tidak ingin lagi tertangkap. Kalau pun dia harus tertangkap. Nawasena pastikan, kutukan Ahool dari tubuhnya telah menghilang dan orang-orang itu tidak punya alasan lagi untuk menghabisi nyawanya. Tetapi untuk sementara, Nawasena perlu menjadi lebih kuat demi menghalau orang-orang yang akan menghadang tujuan tersebut.

"Gue ingin menjadi lebih kuat," gumam Nawasena. Dari menunduk menatap lantai kamar. Dia menengadah dan menatap Agha dengan tajam. "Gue ingin menjadi lebih kuat."

Agha tersentak. Sorot mata Nawasena menghunusnya tajam. Binar mata hitam dan merah yang ia miliki. Memancarkan tekad dan ambisi yang tidak dapat dipatahkan. Perlahan, ujung bibir Agha tertarik tipis. "Lo ingin jadi lebih kuat sebagai Anomali atau seorang Tucca?"

"Tentu saja Anomali," sahut Nawasena tegas. "Sebelumnya, kalian bilang, gue memiliki darah itu. Jadi, tidak salah bukan? Kalau gue ingin membangkitkan dan mengasah kemampuan tersebut?"

Agha tersenyum tipis. Entah dia tersenyum karena tekad Nawasena atau sesuatu yang lain. Kendati demikian, Agha mengganguk, menyetujui permintaan tersebut.

...

"Ada apa dengan ekspresi wajah, Kakak?" tukas Magma yang asyik menyeruput susu cokelat dari kotak kemasan. Dia mengayunkan kedua kakinya sambil melirik tajam ke arah Nawasena yang duduk di samping.

"Lo yang akan melatih gue lagi?" tanya Nawasena dengan wajah datar. "Gue berharap orang itu Agha."

"Ck, dasar tidak tahu terima kasih." Magma pun melompat turun dari bangku taman. Semilir angin sore berembus menerbangkan sedikit poninya. Sebelum menjawab, ia melirik orang-orang yang melintas di dekat mereka. "Gini-gini, Magma itu berpengalaman. Kakak enggak ingat cerita Arya? Siapa yang paling berperan dalam misi penyelamatan?"

"Yeah, gue dengar itu berkat ide lo." Nawasena menjawab malas.

"Bagus. Kalau begitu, Magma udah punya kualifikasi dan Kakak enggak perlu ragu," katanya dengan tersenyum sombong. Lalu memainkan kedua alis matanya.

"Ya, terserah lo saja." Nawasena acuh tak acuh. "Lebih baik kita pulang. Jam malam akan diberlakukan. Lo lupa? Kalau ada kesatria bhayangkara yang melihat kita, lo dan gue bisa kembali tertangkap."

Nawasena pun beranjak dari atas bangku taman. Dia bersiap, untuk diajak Magma berteleportasi.

"Kita tidak akan pergi," ujar Magma sambil menengadah menatap Nawasena.

"Maksud lo, Bocah? Lo ingin gue tertangkap?"

"Tidak." Magma menggeleng. "Ujian dan latihan Kakak dimulai dari matahari terbenam sampai matahari terbit."

Mata kanan Nawasena terbelalak, sedangkan mata kirinya tertutup oleh penutup mata hitam. Kendati demikian, dia masih mencoba sabar dan bertanya pada Magma. "Lo merencanakan apa?"

"Lihat saja," jawab Magma dengan sebuah seringai. "Di sini, Magma yang jadi pelatih. Ayo."

Hanya dalam sekali sentuhan tangan. Sebuah lingkaran sihir tercipta di bawah telapak kaki keduanya. Walau mereka berada di tempat umum. Tidak ada Sudra yang dapat melihat jejak sihir tersebut. Sedetik kemudian, Nawasena dan Magma sudah berada di atas atap sebuah ruko.

Keduanya menatap ke arah jalan raya. Saat semua lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Sirene jam malam berbunyi nyaring ke seluruh kota. Beberapa mobil militer pun mulai berkeliling dan berjaga.

"Tidak ada gunanya," cibir Magma sambil memandang mobil-mobil tersebut. "Senjata modern tidak akan berguna melawan Ahool. Apa mereka tidak belajar dari kesalahan?"

"Apa kemaharajaan tidak memberitahu mereka?" tanya Nawasena yang memilih duduk bersila menatap ke arah bawah.

"Menurut Kakak? Apa mereka akan percaya?"

"Melihat apa yang terjadi ... seharusnya iya. Dunia sudah berubah dan kalian bilang, ini akan jadi abad kekosongan."

Magma hanya bergumam. Dia tidak membalas apa pun. Padahal, Nawasena sangat menanti jawaban yang akan ia sampaikan. Dia berpikir, menjalin kerjasama antara dua belah pihak. Mungkin bisa membantu.

"Waktunya pertunjukan." Suara Magma, membuyarkan lamunan Nawasena.

Dari arah langit, terlihat ribuan mata-mata berwarna merah. Suara kepakan sayap para Ahool, seolah sebuah melodi menuju kematian.

"Kakak siap?" seru Magma sambil melirik. "Keluarkan Kaditula Kakak sekarang juga. Penggal setiap kepala Ahool."

Sejujurnya, Nawasena belum terlalu terbiasa mengeluarkan benda tersebut. Setiap kali mengeluarkannya, dia harus menguras energi dan emosinya yang paling dalam.

Tiga Ahool menukik dan langsung menyerang Nawasena sebagai mangsa. Pria itu bergerak cepat dengan menebas apa yang ada di hadapannya.

Tindakan itu berhasil. Namun, dia terlambat menyadari serangan yang mencederai punggung belakang. Nawasena terjungkal ke depan dan wajahnya menghantam atap ruko dengan beberapa goresan.

"Gunakan indra Kakak untuk peka!"

Nawasena melirik dan mencari-cari keberadaan Magma. Bocah itu berdiri cukup jauh dan hal paling menyebalkan yang Nawasena lihat adalah, tubuh bocah itu diselimuti sebuah kubah transparan. Hal itulah, yang Nawasena yakini membuat Magma tidak terlihat.

Sebuah serangan kembali menghampirinya. Nawasena berhasil berguling ke samping dan buru-buru berdiri di detik-detik terakhir. Dia meremas ganggang Kaditula begitu kuat lalu lari menerjang para Ahool.

Seekor Ahool berhasil ditebas. Nawasena berlari ke depan dengan tatapan penuh kebencian. Dia tidak ingin lemah. Dia menyerang dan bertahan dengan napas terengah-engah. Dadanya seperti mau meledak.

Lebih kuat lagi, lebih kuat lagi. Nawasena membatin kalimat tersebut sebagai penguat diri sendiri. Walau ia berhasil membunuh satu Ahool. Dua Ahool yang lain masih berusaha mendekat dan memamerkan taring-taringnya yang tajam dan mengerikan.

Magma menyadari, ada perubahan binar dari mata Nawasena. Pria itu bergerak lebih cepat mengayunkan Kaditula tanpa ragu. Lalu memenggal kepala si Ahool.

Berpikir bahwa Nawasena terlambat menyadari serangan dari arah belakang. Magma dibuat tercekat, saat Nawasena berbalik begitu gesit. Lalu mengarahkan mata pisau Kaditula menebas dagu Ahool yang menyergap dari belakang.

Makhluk itu pun jatuh dengan suara ringkik yang aneh lalu tergeletak mati.

Nawasena tidak bisa bernapas lega.
Mati tiga, namun tumbuh seribu. Kawanan Ahool dari penjuru mulai menyergap Nawasena dari berbagai sisi.

Tidak ada rasa gentar melihat musuh yang semakin banyak. Nawasena bersiap dengan memasang kuda-kuda. Dia menunggu, makhluk-makhluk itu mendekat dan dengan semangat. Ia mengayunkan Kaditula.

Senyum di wajah Nawasena merekah. Dia terus maju dan menari dalam percikan darah Ahool yang terciprat di mana-mana. Pergerakannya jauh lebih gesit. Magma sampai harus menelan saliva. Saking terpananya dia menatap cara senyum Nawasena.

Dia tumbuh menjadi monster

__//___//____/___
Tbc

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang