24

140 36 17
                                    

Wajah Nawasena memerah semu. Ia menatap Yolai dengan mata terbelalak. "Dasar gila!"

"Ya udah, dalam goa aja."

"Bagaimana dengan lo?"

"Gue?" ujar Yolai canggung. "Gue akan bertapa di bawah air terjun. Lo enggak bisa ikut. Di tahap yang sekarang, lo bisa pingsan."

"Apakah itu benar?" Selidik Nawasena curiga.

"Iyalah. Gue masih cukup waras untuk tidak mengobral kejantanan gue. Tidak, tidak. Black Mamba hanya untuk wanita terpilih. Ahaha."

Nawasena memutar bola mata malas. Sangat tidak tertarik dengan lelucon Yolai.

Sepeninggal Yolai. Nawasena kembali ke goa. Dia masih sedikit melatih kemampuannya. Mulai dari latih pedang sendirian, hingga mengasah insting sebagai seorang Ahool.

Bagi Nawasena, ini sangat memuakkan. Akan tetapi, Nawasena tidak bisa bertambah kuat, bila hanya mengandalkan satu kemampuan. Panca inderanya sebagai Ahool membantu Nawasena belajar lebih cepat.

Ia sudah mampu mendengar dan mengendus bau dalam radius beberapa meter. Bahkan bisa mengenali aroma badan seseorang.

Malam itu, Nawasena mengalami gejala-gejala yang membakar seluruh tubuhnya. Tubuh Nawasena berkeringat, sensasi mendamba seksual hampir membuat kesadaran Nawasena diambil alih oleh jiwanya yang lain.

Nawasena telah melepas semua atasan yang ia gunakan. Sekuat tenaga, Nawasena memusatkan pikiran untuk lebih serius berlatih. Pikiran-pikiran dan keinginan bercinta terus terkoneksi dalam benaknya. Hingga saking kelelahannya, Nawasena jatuh tertidur sampai ayam jantan berkokok keesokan harinya.

...

Hari demi hari berlalu, bahkan berbulan-bulan kemudian dan tidak terasa. Setahun lebih Nawasena berguru pada Yolai.

Nawasena yang sekarang, berbeda dengan Nawasena yang dulu. Dia seperti menjadi orang lain. Nawasena tidak lagi menutupi mata kanannya yang bernetra merah. Bagi Nawasena, itu sebuah kebanggaan dan kekuatan yang akan ditunjukkan pada dunia.

Dia juga telah mengetahui kekuatan terpendamnya. Bahwa, dia mampu memerintah Ahool dan manusia Ahool untuk tunduk dan patuh pada perintahnya. Hanya saja, Yolai tidak bisa membantu Nawasena mengindentifikasi kaditula yang ia miliki. Jawaban yang Nawasena perlukan berada di kemaharajaan dan inilah yang sedang terjadi sekarang.

Di atap sebuah gedung pencakar langit. Nawasena berdiri sambil memikul kaditula di pundaknya. Jas hitamnya berkibar-kibar diterpa angin malam. Gemerlap Jakarta tidak berbeda, masih sama seperti sebelumnya.

Kepadatan dan kemacetan lalu lintas masih terjadi di beberapa titik. Dalam setahun ini, Nawasena mendapat kabar bahwa sebagian besar ingatan Sudra telah dimanipulasi. Kendati demikian, beberapa orang masih mengingat peristiwa setahun lalu. Namun, tidak seorang pun yang mempercayai. Orang-orang yang bebal terhadap manipulasi ingatan membentuk sebuah komunitas yang disebut Candala. Satu pekerjaan tambahan yang membuat kemaharajaan bekerja lebih keras.

"Bagaimana? Apa lo bisa merasakannya?"

Sejak diselamatkan Yolai dan kawanannya. Nawasena kehilangan kontak dengan Kafin. Padahal, Nawasena sangat berharap bisa berjumpa kembali dengannya. Dia ragu, memikirkan Kafin yang kembali tersegel.

Begitu memikirkan Lembuswana itu. Angin mendadak berhembus kencang. Indra penciuman Nawasena menangkap sebuah aroma yang tidak asing. Baunya seperti wewangian aroma terapi, terkesan manis. Namun maskulin.

Dari arah langit, Nawasena mendapati sepasang sayap putih yang membentang lebar. Ujung bibir Nawasena tersenyum puas. Ia membatin, menyebut sebuah nama.

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang