Entah malam atau siang. Nawasena tidak tahu, perutnya melilit dan perih sejak ia membuka mata. Tempat itu hening dan tidak ada seorang pun yang datang berkunjung.
Kedua lengan Nawasena pun mulai mati rasa dan tubuhnya terasa sangat lelah. Jika terus seperti ini, Nawasena yakin, ia bisa kehilangan akal sehat. Waktu terus berlalu dan dehidrasi semakin membuat Nawasena terkulai lemas.
Sebuah lingkaran sihir mendadak muncul dari dinding baja. Nawasena memaksa membuka kelopak matanya dan sebelum ia sempat melihat lebih jelas. Sebuah pukulan mengenai rahangnya dengan sangat kuat.
Tidak berhenti melukai wajah Nawasena. Reno juga menendang perut Nawasena dan memukulnya berulang kali. Rekan-rekannya yang lain hanya tertawa melihat Nawasena yang sekarat.
"Cukup Reno. Dia adalah subjek penelitian. Lo enggak bisa menghabisinya."
Reno tidak peduli atas teguran tersebut. Setiap kali menatap Nawasena, kepalan tangannya gatal untuk menonjok wajah tersebut.
"Ini."
Reno meletakkan nampan berisi makanan di bawah kaki Nawasena. Setengah menendang agar makanannya mendekat. Dengan mata yang lebam, Nawasena menatap makanan tersebut dengan rasa melilit yang teramat sangat perih di perut.
Tidak ada yang iba ataupun berkenan membantu Nawasena. Hanya tawa yang bergema di ruangan isolasi tersebut.
Puas memberi pelajaran bagi Nawasena. Orang-orang mulai berjalan pergi. Tetapi tidak dengan Reno. Dia berdiri di depan Nawasena dengan sorot menantang lalu meludah tepat di makanan yang berada di bawah.
Nawasena hanya bisa menatap nanar semua perlakuan tersebut. Amarah dalam dirinya mendidih. Ada luka yang tidak terlihat, namun sangat membekas.
Penghinaan yang akan selalu Nawasena ingat. Jelas, mereka tidak menginginkannya. Makanan itu tidak akan pernah bisa di santap. Kedua tangan Nawasena di rantai dan mulutnya dibekap. Situasi yang tersirat betapa ia tidak akan diperlakukan sebagai seorang manusia.
Nawasena merindukan rumah, merindukan orang tua yang tidak diingatnya lagi, ia juga merindukan kakak laki-lakinya. Menebak-nebak, apakah pria itu tahu. Kalau adiknya di siksa seperti ini.
Nawasena ingin mengamuk dan melampiaskan seluruh hal yang telah menimpanya. Ia meraung, menjerit dengan frustasi. Tanpa ada seorang pun yang bisa mendengar kesedihannya.
Di tempat berbeda, Gayatri sedang sibuk melakukan negoisasi pada seorang wanita di meja resepsionis.
"Ini susuk yang sangat langkah," kata Gayatri. "Tempelkan di kening dan lo bisa memikat pria mana pun yang lo inginkan. Bagaimana? Gue bisa memberikan ini secara gratis kalau lo bisa mengabari gue ruang para Senopati. Terlebih, Senopati Yudha."
Wanita dengan nametag Rani itu, mengerutkan alis. "Tidak ada janjian, tidak ada akses."
"Oh, ayolah. Cuma sama lo susuk ini gue beri. Lo tahu? Ini biasa digunakan oleh para Sekar Kedaton. Susuk dari bidadari di lapis pertama." Gayatri berpura-pura kecewa. "Baiklah, tampaknya lo dan gue enggak bisa jadi rekan bisnis."
Gayatri masih menunggu reaksi resepsionis tersebut. Kalau rencana ini gagal. Maka mereka akan menjalankan rencana kedua.
"Tunggu sebentar." Rani berseru dan Gayatri tersenyum puas di dalam hati.
"Bisa gue buktikan sekarang?" Dia berpikir, tidak ada salahnya mencoba dan mencari tahu.
"Oh, tentu saja. Lo bisa gunakan pelet ini pada salah satu pengunjung yang ada di lobi."
Gayatri pun memberikan kotak perhiasan kecil berwarna keemasan pada Rani. Di dalamnya, ada sebuah cangkang putih tipis yang berkilau. Dengan menggunakan jari telunjuk kanan. Rani menempelkan benda tersebut dari kotak ke dalam keningnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heroes Bhayangkara
FantasyNusantara dalam bahaya. Saatnya para pemburu berjuang untuk menyelamatkan dunia. Kekuatan mitologi adalah kunci segalanya. #1 Fantasi Indonesia #2 Fantasi Lokal