22

128 31 8
                                    

Semua terjadi begitu cepat. Jantung di tangan Eril masih berdetak dengan darah yang menetes.

"Kapten," seru salah seorang kesatria. Beberapa di antara mereka menghalau Ahool yang berusaha mendekat. Walau mereka terampil bertarung, setiap Ahool yang mati. Akan memunculkan Ahool-ahool baru. Ini adalah pola yang terus berulang tanpa henti dan pekerjaan yang merepotkan.

Eril pun melompat ke belakang sambil mengambang di udara. Dia memberi isyarat untuk tidak seorang pun mendekati Nawasena.

Begitu semua orang mulai menjauh. Ahool yang tersisa menukik turun menutupi jarak pandang. Tidak ada seorang pun yang yang bisa melihat tubuh Nawasena yang tertutupi. Perlahan, para Ahool kembali terbang mengudara dan menghilangkan jejak Nawasena yang sebelumnya terkapar.

Magma sendiri tidak percaya dengan apa yang barusan ia lihat. "Kakak membunuhnya!"

Eril hanya diam sambil menatap jantung yang berdetak di tangannya. "Lo tidak berhak mencampuri takdir orang lain. Nawasena punya jalan yang harus ia pilih dan tentukan sendiri."

"Sialan!" Magma masih mengeram kesal.

"Simpan saja kekuatanmu," ujar Eril dengan nada peringatan. "Kali ini, tidak lagi yang bisa mengacaukan parlemen."

...

Nawasena tidak tahu, seberapa lama ia tertidur. Tubuhnya lebam dan rasa nyeri di mana-mana. Ia terbelalak dari atas rumput kering begitu sadar, bahwa ia berada dalam sebuah tempat yang tidak di kenal.

Ada banyak stalaktit yang menggantung di langit-langit. Benda itu mengeluarkan cahaya yang cukup terang.

"Lo sudah bangun?"

Nawasena tersentak. Seorang pria bertelanjang dada dengan celana kain selutut berwarna hitam. Datang menghampiri Nawasena dengan tangan memegang sebuah tempurung kelapa.

"Minum dulu."

"Lo siapa?" tanya Nawasena tanpa ba-bi-bu.

"Yolai." Pria itu memperkenalkan diri. "Gue Alpa dari kawanan Ahool yang menolong lo."

Nawasena berjengit. Dia tak percaya bahwa sosok yang ia lihat adalah perwujudan dark seorang Ahool.

"Ya, tidak heran kalau lo tidak percaya." Yolai meletakkan tempurung berisi air di dekat Nawasena.

"Mengapa kalian menyelamatkan gue? Gue benci kalian!"

"Ya, gue tahu."

"Lalu?" tanya Nawasena dengan alis bertaut.

"Sesama kawanan harus saling peduli."

Seluruh tubuh Nawasena merinding. Dia tidak sudi, menjadi bagian dari seorang monster seperti Yolai.

Nawasena lantas memaksakan diri untuk berdiri. Anehnya, pakaian yang ia beli bersama Magma masih melekat. Kotoran dan sobekan selama bertengkar dengan Magma, lenyap tak berbekas. Pakaian itu tampak seperti masih baru dan bersih.

"Pakaian itu mengandung sihir," komentar Yolai. 'Kami tidak bisa melepasnya. Hanya bisa dilepas oleh pemakai itu sendiri."

Nawasena tidak menyahuti informasi dari Yolai. Pikirannya adalah pergi dari tempat itu sesegera mungkin. Dia masih ingat pesan Eril untuk pergi ke Stasiun Bendungan Hilir.

Sekonyong-konyong, Nawasena tersentak. Bagaimana jika Magma menunggunya di sana. Tidak, bahkan Agha dan Gayatri juga bisa berada di sana.

Nawasena menggeleng. Dia tidak mau kembali ke Master Cafe. Orang-orang itu menipu dan memperalatnya. Nawasena pikir, dia harus menyelesaikan semuanya. Ia harus segera bertemu Dewaguru dan menjadi manusia normal seperti sedia kala.

"Lo tidak bisa pergi ke mana-mana," tukas Yolai memperingatkan. "Ini adalah gunung salak dalam dimensi berbeda. Lo seorang Tucca dan itu menjadi ancaman bagi para manusia."

"Gue akan segera kembali menjadi manusia utuh."

"Oh, ya?" Nada mencemooh keluar dari bibir Yolai. "Memangnya siapa yang mau membersihkan Tucca? Kesatria Bhayangkara menghabisi semuanya. Sungguh gila kalau lo percaya ada yang bisa melakukannya."

"Gue akan mencari Dewaguru," balas Nawasena.

"Dewaguru?" ulang Yolai dengan raut terkejut. "Itu mustahil. Dia adalah sosok yang tidak bisa ditemukan."

"Ya, karena itu, gue akan menemukannya. Dia pasti berada di suatu tempat."

"Suka-sukamu saja. Itu pun kalau lo bisa keluar. Tempat ini penuh sihir yang bisa menyesatkanmu."

Nawasena termanggu. Sejenak, dia berpikir mengenai kata-kata Yolai. Akan buang-buang waktu, jika dia berkeliaran di gunung seorang diri.

Dia perlu memikirkan cara lain untuk keluar dan pergi ke stasiun. Raksa pasti bisa menolongnya mencari Dewaguru. Nawasena sangat yakin, Raksa Auriga tidak akan membiarkan adiknya hidup menjadi seorang Tucca.

"Kenapa? Katanya lo mau keluar dari sini?" sindir Yolai yang masih berdiri di tempatnya.

"Kalau gue bertanya jalan keluarnya sama lo. Apa lo mau menunjukkannya pada gue?"

Yolai tertengun. Lalu, ia tersenyum kikuk. " Entahlah."

"Begitu?" Pancing Nawasena.

"Lo kehilangan jantung. Apa lo lupa?"

Nawasena mendadak meraba dada kirinya. Ia sama sekali tidak merasakan ada sesuatu yang berdetak.

"Jantung lo dibawa salah seorang Senopati. Secara teknis dia tidak bisa menghancurkan itu. Walau lo bisa dipukul sampai babak belur. Jiwa yang sudah tercemar oleh Tucca tidak akan bisa dibunuh begitu mudah."

"Gue tidak mengerti, apa yang sedang lo bicarakan."

"Tucca hidup dengan dua jiwa. Dia butuh jantung dari sisi diri lo yang lain untuk membunuh. Satu jantung tidak akan berarti apa-apa."

Tanpa sadar, Nawasena mengepalkan kedua tangannya. Eril telah membawa pergi jantungnya sebagai imbalan memberitahu cara bertemu Raksa.

"Jika lo ingin membalas dendam pada mereka. Gue bisa membantu lo." Yolai menawarkan diri.

"Tapi gue juga ingin membalas dendam pada kalian." Seringai Nawasena.

"Oh."

Hanya balasan pendek dari Yolai. Nawasena merasa aneh dengan sikapnya.

"Kesatria bhayangkara bekerja dengan keterampilan pedang dan mantra sihir. Lo yang sekarang, mustahil bisa melawan mereka. Latihan pedang mereka, telah dipelajari bertahun-tahun."

"Lantas? Lo ingin memuji mereka di depan gue?" balas Nawasena dengan sewot.

"Tidak juga. Tapi gue bisa membantu lo mengimbangi mereka. Lo bisa belajar cara berpedang ala seorang Ahool."

"Dan bagaimana dengan pengguna sihir?

"Gue punya kenalan yang bisa membantu kita."

"Manusia atau Ahool?"

"Manusia," jawab Yolai. "Dia sangat terampil dalam sihir apa pun. Ya, walau agak sedikit menyebalkan."

Nawasena hanya bergumam pendek. Mendadak, dia punya sebuah rencana di dalam kepalanya. Sebelum keluar dari gunung salak. Dia ingin berlatih sihir dan pedang. Sebisa mungkin menjadi sosok yang tidak hanya bermodalkan menebas.

Nawasena ingin belajar lebih dan lebih guna menjadi kuat. Musuhnya tidak hanya satu, untuk sesaat. Nawasena akan menurunkan sedikit egonya.

"Lo bilang, lo adalah Alpa dalam kawanan," ujar Nawasena.

"Yap, gue Alpa. Area ini adalah wilayah kekuasan gue."

"Bagaimana, jika suatu hari. Ilmu yang lo ajarkan pada gue. Balik menyerang kawanan lo?"

Sejenak, ada perubahan binar dalam mata Yolai yang kehitaman. Dia lalu tersenyum tipis dan dengan percaya diri dia berkata. "Itu bukan sesuatu yang harus lo khawartikan."

"Menarik," komentar Nawasena. "Gue akan tetap di sini buat belajar pedang sampai mahir. Tidak ada makan siang gratis. Jadi, bayaran apa yang lo inginkan?"

"Menghancurkan kemaharajaan," jawab Yolai. "Gue ingin lo melakukan itu."

__//___/___
Tbc

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang