26

137 33 2
                                    

Nawasena membisu, tidak tahu harus bersikap apa. Kafin telah memberikan gambaran jelas apa yang harus ia hadapi. Menghilangnya Raksa Auriga berbulan-bulan lamanya karena ia telah dipilih menjadi calon pendamping seorang putri.

Nawasena tidak tahu sejak kapan itu mulai terjadi. Tetapi, seingat Nawasena, hal tersebut mulai saat kematian kedua orang tua mereka. Raksa Auriga sudah sering berpergian dan pulang ke rumah dalam hitungan jari.

Kebencian Nawasena semakin meningkat. Dia tidak ingin, melihat Raksa Auriga diperintah seperti boneka. Mungkin itu salah satu alasan, mengapa Raksa Auriga sengaja menyembunyikan semuanya dari adiknya sendiri.

"Jika lo udah lebih tenang. Gue akan menjelaskan lebih detail."

Kafin telah mengajak mereka pada sebuah kedai minuman di dekat alun-alun. Tempat ini untungnya tidak terlalu ramai pengunjung. Sebab, sebagian besar diisi oleh para lansia. Muda-mudi secara sengaja, memang tidak akan mampir.

"Jika Abang Nawasena terikat politik kemaharajaan. Apa itu, akan membuat Raksa dan Nawasena tidak bisa bertemu bebas?" tanya Yolai sambil mencicipi segelas wedang jahe.

"Perintah kemaharajaan adalah hal mutlak." Kafin menjelaskan sambil mengipas wajah sejak tadi. "Tidak ada seorang pun yang bisa menggeser aturan tersebut. Gerak - gerik Raksa Auriga di awasi. Kita bisa celaka, kalau mereka tahu dia punya adik yang seorang Tucca."

"Apa mereka akan mentitah Raksa Auriga untuk menghabisi Nawasena?" Yolai kembali bertanya.

Pertanyaan ini cukup menarik. Fokus Nawasena teralihkan. "Sebelum perintah itu keluar. Gue akan menghancurkan mereka."

"Gue dukung," imbuh Kafin semangat.

"Tunggu sebentar," sela Yolai bingung. "Mengapa Anda mendukungnya? Anda kan bagian dari kemaharajaan."

"Kata siapa?" ujar Kafin dengan sinis

"Sejarah mengatakan itu."

"Sejarah ditulis oleh pemenang. Lo udah hidup berapa lama? Lebih tua dari gue?"

Yolai bungkam, lalu menggeleng.

"Dengar," jelas Kafin. "Senopati berada dalam kuasa kemaharajaan. Mereka punya pilar politik dan pelindung yang tidak bisa dihancurkan oleh seorang Tucca. Jika tujuan lo untuk bertemu Raksa Auriga. Maka hal itu sudah tercapai. Lo sudah melihatnya tadi dan dia baik-baik saja. Ya, kelihatannya. Walau sebenarnya dia melakukan semuanya karena terpaksa. Kita bisa pulang besok siang. Di sini memang masih siang dan di Jakarta udah larut malam. Kalian pasti butuh istirahat."

Nawasena sependapat dengan ide Kafin. Mereka memutuskan mengganti topik. Akan tetapi, pemilik kedai tiba-tiba menghampiri meja Nawasena dan menyampaikan hal yang membuat mereka bertiga terkejut.

Tanpa banyak bicara. Nawasena segera menurut dan mengikuti pemilik kedai menuju dapur. Di sana, berdiri seorang pria dengan jubah lusuh dan tudung yang menutupi kepalanya.

Tanpa perlu melihatnya, Nawasena bisa mengkonfirmasi aroma tubuh seorang Raksa Auriga.

"Kita hanya punya waktu 15 menit, Nawa." Suara bariton yang sangat dirindukan Nawasena. "Gue tahu, cepat atau lambat. Lo akan mengetahuinya. Gue tidak akan heran, melihat lo berhasil ke sini."

"Mari pulang ke rumah bersama-sama," balas Nawasena. "Mari berkumpul seperti dulu."

"Semuanya tidak akan seperti dulu lagi, Nawa. Apa lo baik-baik saja? Gue udah dengar soal masalah parlemen dan tentangmu dari Eril."

"Abang tahu?"

"Lebih dari tahu," jawab Raksa. "Jangan khawatir, Gayatri dan dukun lain memang diperintah kemaharajaan untuk membunuh sudra yang terkena kutukan. Jangan membenci mereka, Anomali hidup dengan perintah."

"Nawa ingin pulang ke rumah lama kita."

"Pulanglah dan jaga rumah itu. Abang akan berkunjung sesekali."

"Kapan? Dua bulan sekali? Setahun sekali?"

"Nawa!" Raksa memberi peringatan. Dia tahu, Nawasena bukanlah anak kecil yang bisa dibodohi dan dibuat patuh.

"Hidup gue udah jungkir balik, Kak. Persetan dengan semuanya. Kita bisa hidup di luar kemaharajaan dengan tentram. Ayah dan Ibu tidak akan menyukai ini."

"Memang tidak, mereka tidak akan suka. Pulanglah dan tinggallah di Jakarta. Gue akan mengirim pesan dengan seekor rajawali. Ada sebuah tempat yang bisa kau tempati di sana dan aman dari Anomali bahkan Sudra. Hati-hati setahun ini memang aman, tapi ada pergerakan dibalik layar."

"Gue tidak peduli dengan kemaharajaan atau abad kekosongan." Nawasena mulai menyampaikan tujuannya. "Karena Abang ada di sini. Apa Abang tahu, dimana Dewaguru berada? Kata orang, dia bisa meruwat seorang Tucca."

"Gue tidak tahu. Dewaguru adalah sosok yang sangat sulit diketahui. Bahkan kemaharajaan tidak bisa menemukannya. Tidak ada yang tahu, apakah dia pria ataupun wanita. Gelar itu biasanya muncul tiap generasi yang berbeda. Daripada memikirkan itu, berhati-hatilah terhadap pengikut Sapta Syam."

"Apa Abang ingin bebas dari belenggu ini?" Nawasena tampaknya tidak menggubris peringatan Raksa.

"Jangan melakukan hal bodoh, Nawa. Pulanglah, waktu kita hampir habis."

"Nawa akan bertanya ulang. Apa Abang mencintai Kinara? Sejak kapan perjodohan ini terjadi? Apa ayah dan ibu tahu?"

Raksa Auriga menghela napas berat dan itu sebuah sinyal yang bisa dijadikan sebuah jawaban. "Maaf, Nawa. Abang harus pergi. Pulanglah ke Jakarta dan hiduplah seperti sebelumnya."

Nawasena bergerak cepat menahan pergelangan tangan Raksa. Tubuh pria itu perlahan-lahan memudar ke dalam udara.

"Gue akan membawa pulang Abang dari kemaharajaan. Itu janji Nawa. Abang tidak perlu melakukan ini semua."

Mata Raksa Auriga terbelalak. Tidak ada lagi yang bisa tersampaikan. Nawasena hanya mematung memandang udara kosong.

...

"Abang gue menyembunyikan sesuatu. Gue curiga. Ini ada kaitannya dengan kematian orang tua kami saat gue berusia 9 tahun."

Yolai memilih diam, dia sungkan jika harus berpendapat bila mengenai hubungan keluarga. Mereka bertiga telah meninggalkan kedai. Belum terlalu memutuskan tetap tinggal atau  kembali ke Jakarta.

"Tujuanmu bertemu Raksa Auriga sudah terpenuhi," ujar Kafin dari sisi kanan Nawasena. "Sekarang, apa rencana kedua lo?"

"Membebaskan Abang gue dari belenggu kemaharajaan. Dia udah berkorban besar dan gue ingin membalasnya."

"Oke, gue akan membantu." Kafin setuju dan tampaknya akan selalu setuju dengan keinginan seorang Nawasena. "Kita perlu rencana. Lo udah ada?"

"Bergabung dengan pengikut Sapta Syam."

Yolai membeku, begitu pula Kafin. Nawasena memang penuh tekad dan ambisi. Tetapi, tidak seorang pun bisa memahami jalan pikirannya.

"Gue enggak salah dengar?" Protes Yolai dan Kafin pun mengganguk.

"Lo bilang, seorang Tucca tidak akan mampu menghancurkan kemaharajaan seorang diri." Nawasena membela diri. "Sekutu yang punya tujuan sama dengan kita adalah mereka."

"Tapi lo pernah adu jontos dengan salah satu pengikutnya. Emm, siapa ya?" Yolai berusaha mengingat cerita yang pernah disampaikan Nawasena.

"David. David Bintar," jawab Nawasena.

"Nah, lo pikir mereka bakal percaya? Kita harus meyakinkan mereka."

"Tentu saja." Senyum licik Nawasena terbit bagai matahari Teletubbies. "Gue punya hewan kontrak seorang Lembuswana dan pasukan Ahool. Bukankah mereka sendiri yang membatu kalian lewat portal-portal itu?"

Entah bagaimana, Yolai merasa tengkuk belakangnya mendadak dingin. Ada sebuah firasat yang bergejolak aneh dalam dadanya. "Mereka memang membantu."

"Jika seperti itu rencananya. Maka kita akan mencari pengikut Sapta Syam. Lo masih ingat tempat pertarungan itu?" tanya Kafin tanpa mencegah keinginan Nawasena. Padahal sebelumnya dia cukup terkejut.

"Sebuah rumah makan prasmanan."

"Baiklah. Ayo kita ke sana. Tetapi sebelum itu. Mari mencari hotel dan istirahat. Kita akan kembali saat matahari terbenam di sini. Kita juga perlu mengumpulkan perbekalan."

__///___/___
Tbc

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang