13

145 33 3
                                    

"Lo terluka?" seru Yudha yang datang setelah insiden.

"Lo mau mengejek atau memuji?" balas Javas dengan wajah menahan kesal. Perutnya telah dililit oleh perban dan aroma khas aromatik alkohol tercium dari sana.

"Keduanya." Yudha menjawab. "Melihat Agha berhasil melukai lo. Tandanya, dia sudah cukup berkembang untuk mengakali Kakaknya."

Javas mencibir kesal sambil memutar bola mata malas. Kemudian memperhatikan Yudha yang duduk di sofa berkancing tidak jauh dari meja kerjanya.

"Gue baru menghadap Rakryan Rangga dan menjelaskan apa yang terjadi," ujar Yudha sambil menjelaskan alasan keberadaanya. "Mereka meminta kita menghabisi monster itu lepas tengah malam dan mereka tidak tertarik untuk menyelidiki seorang Tucca."

"Dan salah siapa semua jadi begini?" sindir Javas dengan tatapan mengejek.  "Tindakan bodoh lo membawa makhluk itu ke sini mendatangkan bencana. Gara-gara Agha, gue harus menanggung malu di depan prajurit gue sendiri."

"Ahahah, reuni yang tidak terkira bukan?" Ledek Yudha sambil bangkit berdiri. "Terima kasih untuk yang sebelumnya. Tapi, gue mendapatkan izin khusus untuk membunuh makhluk itu sekarang."

"Tunggu sebentar," cegah Javas. Yudha yang sudah berjalan ke depan pintu pun berhenti dan menoleh ke belakang. "Mengapa lo sangat tertarik dengan makhluk itu?"

"Entah. Hal sama yang ingin gue tanyakan pada Agha. Tapi sayang, sebagai seorang Senopati. Gue harus tunduk pada titah kemaharajaan. Walau sesungguhnya, gue sangat tertarik melakukan eksperimen."

"Jangan buang-buang waktu." Javas mengingatkan. "Aksi main-main lo membawa orang lain terseret masalah. Jika lo masih bermain dengan makhluk itu. Gue yang akan menghabisi lo lebih dulu."

Yudha tertawa, tetapi mengganguk akan petuah Javas. Sepeninggal Yudha, Javas pun menghela napas panjang.

"Agha," gumam Javas. "Apalagi yang ia pikirkan?"

...

Di depan ruang isolasi. Yudha mengerutkan alis. Dia mencium aroma yang mencurigakan. Diam-diam, dia melirik ke arah kesatria bhayangkara yang berdiri di kanan dan kirinya. Berpikir, bahwa bau itu berasal dari tubuh mereka. Tetapi, Yudha masih tahu diri untuk tidak menegur secara langsung.

Merasa tidak perlu khawatir berlebihan. Tangan Yudha melambai ke depan pintu. Memunculkan, seberkas cahaya kekuningan yang membentuk lingkaran dengan aksara-aksara kuno yang mengelilinginya.

"Abimantrana," ucap Yudha. Lalu dia menyentuh beberapa huruf di dalam lingkaran sihir untuk membentuk sebuah barisan kata. Huruf-huruf itu berpendar dari kuning menjadi kehijauan.

Sekonyong-konyong. Yudha terduduk lemas di depan pintu. Paru-parunya seolah mengempis dan mengkerut. Racun yang Magma letakkan mulai menyebar saat segel pintu terbuka. Hal tersebut, menyebabkan semua racun yang terpasang di seluruh gedung parlemen ikut aktif.

Sial. Yudha merutuk. Tidak hanya dia, semua orang mulai sesak napas. Lingkaran sihir darurat mulai aktif di mana-mana. Tapi itu tidak akan bertahan lama, racun yang Magma miliki menyebar lebih cepat.

Gemuruh dari langit bergerak dan membentuk kumpulan awan hitam. Rumah sakit rujukan anomali mendapatkan sinyal bahaya. Javas pun dengan terpaksa menghancurkan kaca jendela dan melompat keluar. Para pekerja yang lain ikut berlarian keluar gedung dengan langkah tertatih-tatih.

Hujan mulai turun saat bantuan medis berdatangan. Kekacauan itu menarik orang-orang di kemaharajaan. Sebagian berkumpul untuk melihat lebih jelas apa yang terjadi.

Saat yang lain berlarian keluar. Yudha mempertahankan diri tetap di depan pintu isolasi Nawasena. Ia berusaha, sekeras mungkin menutup lingkaran sihir tersebut. Namun sialnya, racun, sihir jebakan dan sihir kunci saling kontraindikasi.

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang