36

94 21 10
                                    

Kafin tersentak. Tidak ada yang menyenangkan dengan terbangun di antara wanita yang memeluk tubuhmu tanpa sehelai kain menutupi dada dan juga otot perutmu.

"Pergi!" Kafin mendesis. Melambaikan tangan ke udara hingga membuat dua wanita berpiyama terlempar membentur dinding. Keduanya mengerang kesakitan. Tetapi Kafin tidak peduli.

Dalam sekejap mata. Kafin sudah berteleportasi ke luar kamar. Sialnya, seluruh rumah penuh dengan para wanita yang penampilannya memamerkan lekuk tubuh mereka. Beberapa mata dan senyum tengil terarah pada Kafin. Ini situasi yang buruk.

"Mau pergi ke mana, Bang?" Seseorang melangkah mendekati Kafin sambil melipat tangan di depan dada. Atasannya sedikit terbuka dan Kafin yakin, sesuatu dibaliknya akan terlihat jelas ketika kedua tangannya diturunkan.

"Gue tidak terlalu suka berkelahi dengan wanita. Tapi, jika kalian memaksa. Apa boleh buat."

Tawa cekikikan bergema saling sahut-sahutan. Wanita Kuyang mulai mengerubungi Kafin semakin dekat. Beberapa mulai melepaskan pakaian yang mereka kenakan tuk menggoda Kafin lebih intens. Bukannya tergoda, Kafin malah semakin bergidik ngeri.

Dia menghempaskan setiap wanita dengan embusan angin ke setiap dinding dan menahan mereka untuk tidak bergerak. Kafin terus melakukan itu sampai dia bisa membuka jalan dan berhasil melewati mereka semua.

Beberapa Wanita Kuyang mencoba membebaskan diri. Tetapi usaha mereka sia-sia belaka. Kafin tidak akan ragu sekarang. Dia terus berjalan melewati setiap lorong kamar dan turun melewati tangga yang melingkar. Di bawah tangga, duduk seorang wanita yang hanya mengenakan handuk untuk melilit tubuhnya. Dia melirik sekilas ke arah Kafin sambil mengigit sebuah apel merah dan mencoba menawarkannya.

"Mau sarapan bersama?"

Langkah kaki Kafin terhenti di anak tangga terakhir.

"Berikan minyak bintang yang lo rampas dari gue," kata Kafin mengancam.

"Barang rampasan sudah dijual."

"Oh, ya?" Ujung bibir Kafin tertarik tipis. "Sungguh menarik lo bisa menjual benda seperti itu. Jika lo sendiri ingin memilikinya."

"Namaku Yumartri."

"Gue enggak tanya dan enggak terlalu peduli."

Yumartri tertawa lebar. Dia kembali mengigit apel dari tangannya. Namun, matanya tidak lepas memandang Kafin.

"Lo milik gue." Yumartri berkata sambil berdiri dan berjalan mengintip ke arah luar jendela. "Tidak bagus, jika lo harus keluar di hari sepanas ini."

Kafin tidak peduli. Dalam satu kedipan mata. Dia sudah meraih ganggang pintu, mencoba membukanya. Namun tangan Yumartri mencengkram kuat pergelangan tangan Kafin. Dengan kasar, Kafin menepis tangan tersebut.
Pasalnya, sentuhan Yumartri membuat kulit Kafin terbakar.

"Nah, duduklah." Yumartri membujuk. "Kita bisa mengobrol sebentar. Jangan jual mahal. Banyak pria yang berharap bisa mampir di rumah kami."

"Oh, jangan gila. Gue bukan pria hidung belang atau pria brengsek yang terhibur dengan rumah prostitusi."

Sindiran itu tepat sasaran. Wajah Yumartri memerah semu. Dia tersinggung dengan ujaran kebencian yang terlontar oleh Kafin. Tetapi, Yumartri masih dengan tenang memperlihatkan senyum terbaiknya.

Tanpa takut, dia mendekatkan diri ke telinga Kafin bermaksud untuk berbisik. Sayang, tangan kiri Kafin sudah terulur meremas leher Yumartri dengan kuat. Semakin dia meremas, terdengar bunyi tulang patah.

Mata Yumartri terbelalak. Dia berusaha melepaskan rengkuhan Kafin. Berpikir bahwa Yumartri kesakitan. Dia justru tertawa keras, lalu mengedipkan satu matanya kepada Kafin.

Sedetik kemudian, Kafin sadar bahwa dia hanya meremas udara kosong. Tubuh Yumartri telah berpindah tempat.

"Selama gue masih hidup. Lo akan terkurung di tempat ini, Lembuswana. Lo tawanan gue dan budak gue sekarang. Jangan harap lo bisa kabur dan satu hal. Bukan berarti gue seorang Kuyang, lo bisa menganggap enteng kami. Kemudian." Yumartri mengelus perutnya. "Ada anak kita di sini. Lo yakin?"

Kepala Kafin berdenyut. Rasa nyeri tiba-tiba menghantam kepalanya. Itu sesuatu di luar dugaan. Kafin tidak berani memikirkan lebih lanjut. Dia marah, ketakutan dan tertekan. Semua perasaan Kafin campur aduk.

Kafin mulai merasa jijik pada dirinya sendiri. Sebuah fakta yang menampar bahwa dia disetubuhi oleh seorang Wanita Kuyang saat tidak sadarkan diri. Entah berapa hari telah berlalu, Kafin yakin. Ini baru sehari setelah mereka menyerangnya sepulang dari bertemu Panglima Burung.

"Lembuswana. Ada anak lo di sini." Yumartri masih menggoda. Tersenyum puas pada perubahan emosi di wajah Kafin.

"Lo yakin itu anak gue?" tanya Kafin. "Mengingat profesi lo di dunia manusia sebagai gadis penghibur."

Yumartri kembali tertawa sambil mengelus perut. "Gue punya keahlian memilih, kepada siapa gue harus mengandung. Pasti hebat 'kan? Anak kita bisa menjadi makhluk paling kuat. Kita bisa berjaya dan memimpin pasukan."

Kafin menepis bayangan seperti itu dalam benaknya. Darah murni seorang makhluk mitologi bercampur dengan darah seorang Kuyang. Rasanya, Kafin ingin membunuh Yumartri dan bayi yang dikandungnya.

Akan tetapi, rasa simpati Kafin begitu besar. Dia tetap tidak tega melukai wanita. Tidak peduli apa ras yang mereka miliki. Di satu sisi, Kafin merasa ternodai dan malu mengenai dirinya sekarang.

Bagus. Lembuswana memang memiliki empati yang tinggi. Jika gue berhasil mempengaruhinya. Gue bisa sukses mendapatkan penghormatan tinggi di kemaharajaan.

Tapi, apa dia beneran sepolos ini? Ritual penyatuan dua darah mitologi hanya terjadi di bulan purnama dan malam kemarin hanya bulan sabit separoh.

Tidak, jika aku bisa menahannya sampai purnama berikutnya datang. Gue benar-benar bisa mengandung seorang anak Lembuswana.

...

Seminggu berlalu, sejak insiden Kafin ditangkap oleh para Kuyang. Nawasena tidak bisa menunggu. Sesuatu pasti terjadi pada Kafin. Dia tidak akan menghilang selama ini. Bahkan Kafin telah meyakinkan mereka, bahwa dia hanya butuh waktu dua-tiga hari untuk bertemu Panglima Burung.

"Jangan gegabah, Tucca," sindir David sambil menasehati. "Lo enggak bisa dengan mudah masuk di Kemaharajaan Kalimantan. Aturan mereka berbeda dengan Kemaharajaan Jawa. Lo perlu surat izin dari sini."

"Tapi Kafin bisa bebas keluar masuk di sini," ujar Nawasena.

"Seberapa tua umur lo dan Kafin? Dia sudah hidup lebih lama dari lo. Jelas, dia pasti punya akses. Kita tidak bisa menyusul."

"Kita?" ketus Nawasena tidak suka. "Siapa juga yang mau ajak lo. Hanya gue dan Yolai."

"Oh, baguslah," balas David tidak peduli. "Ini pasti akan jadi tontonan menarik."

Yolai pun menyikut Nawasena untuk berbicara di luar tanpa terdengar oleh David.

"Kita harus menunggu." Yolai mengingatkan. "Itulah yang diperintahkan Kafin."

"Benar. Tapi, jika sesuatu terjadi pada Kafin. Gue enggak bisa tinggal diam. Gue merasakan firasat buruk. Lo tetap di sini, jaga David. Gue akan pergi ke Kemaharajaan Jawa dan minta bantuan dari Abang gue. Dia pasti bisa bantu."

"Tidak." Yolai menggeleng tegas. "Itu ide buruk. Bagaimana jika kehadiran lo tercium para Senopati? Ingat? Raksa Auriga tidak ingin lo terlihat."

__//___/___
Tbc

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang