34

105 26 4
                                    

Mereka berempat pun pergi ke  Master Cafe. Secara kasat mata, tidak ada yang terlihat di sana. Hanya bangunan kosong tidak berpenghuni.

Namun, Nawasena tahu. Itu hanya kamuflase yang dibuat Agha agar orang di kemaharajaan tidak mengetahui persembunyian mereka.

"Maksud lo, Dewaguru tinggal di sini?" sindir David dengan ekor mata menatap sinis. "Agak aneh juga ya?"

"Lo bisa diam tidak?" tegur Kafin yang kesal karena harus membawa orang tersebut di atas punggungnya selama perjalanan. "Lo ini mau ditolong agar enggak cacat lagi. Belajar tata krama dong. Setidaknya, kalau masih merasa manusia. Masa kalah sama seorang Tucca."

Wajah David memerah. Tangannya terkepal kuat. Ingin rasanya dia meninju rahang Kafin. Tetapi ia urung, dia segan dengan makhluk mitologi tersebut. Sebagai gantinya, David hanya mengeram tanpa bisa melakukan apa pun.

Nawasena sendiri tidak ingin membuang-buang waktu beradu argumen dengan David. Dia menunggu dengan sabar saat bayangan Magma muncul dari balik udara.

"Apa ini?" tukas Magma sambil menatap mereka semua. "Dan dia?" Bocah itu tampak tidak suka melihat David.

"Lo bisa membuatnya kembali seperti semula?" tukas Nawasena tanpa basa-basi. "Gue udah janji sama mereka untuk itu."

Salah satu alis Magma terangkat naik. Dia menatap Nawasena tidak percaya. Lalu melirik David. "Magma tidak mengerti."

"Lo bisa melakukannya atau tidak? Kami sudah capek-capek datang ke sini dan terlalu malas pulang dengan tangan kosong." Kafin berseru sambil menatap  David dan Magma silih berganti. Sorot matanya, menunjukkan tekad bahwa tujuan mereka harus terpenuhi.

"Magma bukan dokter." Magma masih berpura-pura. "Magma masih kecil."

"Kecil kepalamu," seru Kafin yang makin kesal dengan Magma. Dia memberi isyarat lewat mata kepada Nawasena agar bertindak lebih cepat.

"Lo udah mendengarnya dua kali. Apa kemarin kalian membohongi gue lagi? Sungguh sial, kalau gue harus jatuh ke lubang yang sama."

Magma menatap Nawasena tanpa minat dan David malah menatap Magma dengan tatapan menghakimi. Tidak percaya bahwa bocah kematian di hadapannya adalah seorang Dewaguru. David bahkan tidak merasakan energi apa pun yang mengkonfirmasi hal tersebut.

Dia mulai tersulut emosi. Merasa dipermainkan oleh Nawasena. Tidak, dia merasa semua orang mulai mempermainkannya sejak ia menjadi cacat. Rasa sakit hati, terluka, kekecewaan bercampur menjadi satu. Emosi itu siap meledak.

"Dewaguru bertugas meruwat mereka yang terkena kutukan." Magma menjelaskan. "Menyembuhkan memang salah satu tugasnya. Tapi ... mengembalikan fungsi organ tubuh seseorang membutuhkan cakra yang sangat besar. Itu tindakan yang memerlukan cahaya suci. Sekalipun dia bisa melakukannya. Tindakan tersebut tidak bisa diminta begitu mudah."

"Jadi,?" ujar Nawasena yang emosinya tidak berbeda jauh dengan David.

"Kalian ingin mempermainkan gue?" sela David dengan kesabaran setipis tisu basah yang dirobek. "Bocah ini adalah Dewaguru? Demi Dewa! Kalian cari mati."

Belum sempat David mengangkat kaditulanya ke udara. Yolai bergerak cepat menahan bahu David dengan menggunakan cakra. "Lo bisa tenang tidak? Ini wilayah Sudra. Sikap lo akan menarik banyak perhatian."

David menatap sekitar. Ada banyak pejalan kaki di sekitar mereka. Lalu lalang kendaraan yang memenuhi udara dengan polusi dan beberapa gerai yang terbuka oleh pengunjung.

"Jadi apa? Bocah kematian ini Dewaguru?" David menunjuk ke arah Magma dan bocah itu tertawa keras.

Tahu, bahwa ini hanya buang-buang waktu. Kafin bergerak cepat ke hadapan Magma. Mencengkram kerah bajunya dan mengangkatnya ke udara seringan bulu.

"Gue serius. Dahulu, kaum kami sangat menghormati kalian," bisik Kafin dengan nada ancaman. "Entah karena perkembangan zaman. Mungkin sikap kalian turut berubah. Jangan mengulur-ulur waktu. Gue bisa berubah nekat untuk menghancurkan topeng yang lo pakai selama ini. Gue tahu, kalian perlu Nawasena untuk kemaharajaan dan begitulah sebaliknya. Jadi, sembuhkan David atau ...,"

Tangan Kafin menekan salah satu pembuluh darah di leher kiri Magma. Mereka saling menatap begitu dalam. Ada lonjakan energi yang tercipta, menguar dari tubuh masing-masing.

"Dengar Lembuswana. Gue juga tidak ingin cari gara-gara dengan siapa pun. Lo dan Nawasena punya rencana. Begitu pula gue," ujar Magma dengan nada bicara yang hanya bisa ditangkap mereka berdua. "Tapi, kekuatan gue memiliki sebab akibat. Apa lo mau tanggung jawab? Seandainya gue menyembuhkannya sekarang dan dia malah melukai orang lain setelahnya. Nah, apa lo bisa menjelaskan itu? Gue punya hak untuk memilih siapa yang benar-benar membutuhkan kemampuan gue. Banyak orang mencari gue demi kepentingan mereka pribadi. Jadi, sorry. Lo berempat pulang dengan tangan kosong."

Kafin kehilangan kata-kata untuk membalas kalimat Magma. Melihat itu, Magma malah tersenyum puas. Kemudian dia menambahkan, "Tapi jangan risau. Masih ada satu cara buat kalian. Kenapa lo enggak minta bantuan kawan lama lo? Si Panglima Burung? Bukankah dia terkenal karena kemampuan penyembuhannya?"

Cengkraman di kerah baju Magma terlepas. Bocah itu terjatuh dengan pantat yang lebih dulu mencium tanah. Kendati demikian, Magma tidak menangis. Dia justru cengegesan menatap Kafin. Bertindak seperti bocah yang baru saja mengerjai kawan sepermainannya.

"Apa yang kalian berdua bicarakan?" tukas Nawasena yang penasaran. "Energi kalian pecah."

"Kita pergi," ujar Kafin tanpa menjawab pertanyaan Nawasena. Dia membalikkan badan menatap David dengan tajam. "Kita punya PR besar untuk mengurus makhluk satu ini. Dia tidak akan membantu."

Nawasena menatap Magma dengan kesal. Sebelum dia sempat membuka mulut untuk memprotes. Kafin sudah kembali menyela, "Nawasena. Dia tidak akan bisa membantu lo. Gue punya kenalan yang jauh lebih baik dari bocah jadi-jadian itu."

"Jadi, Dewaguru itu tidak ada?" David menyela dengan skeptis. Putus asa, merasa terpukul. Sekali cacat, selamanya akan menjadi cacat. Toh, dia juga merasa bodoh harus percaya pada orang yang telah melakukan hal ini padanya.

"Pernah dengar soal Panglima Burung?" tanya Kafin pada mereka bertiga. Mengabaikan Magma yang perlahan mengabur ke dalam udara. Nawasena ingin menahannya. Namun lebih penasaran pada Kafin.

"Mustahil," gumam Yolai. "Anda ingin menemui beliau?"

"Siapa dia?" sela Nawasena penasaran.

"Cih, dasar bodoh." David meledek.  "Ah, ya. Gue lupa, lo kan dibesarkan di lingkungan Sudra. Jelas, enggak terlalu tahu banyak mengenai kemaharajaan."

"Jangan dengarkan dia, Nawa," seru Yolai. "Panglima Burung adalah entitas yang sangat dihormati oleh penduduk hutan. Beliau adalah sosok sakti dan luar biasa kuat. Panglima Burung merupakan sosok yang baik hati. Ia juga dikenal ramah, sabar, serta sangat sopan. Dia suka menolong dan sering terlibat dalam pertempuran besar."

"Ya, tapi dia akan berubah kejam dan gagah berani ketika posisi mereka terancam. Tidak segan-segan, ia akan memutus nyawa seseorang jika kesabarannya telah habis. Jadi, kalau lo berpikir kesabaran lo seperti tisu  yang kerendam air. Kay lebih ke senggol dikit, gue bacok."

Kafin menghela napas berat. Tampak agak merasa beban harus menemui sahabat lamanya.

"Apa Anda dan beliau saling mengenal? Anda menyebut namanya, Kay?"

Kafin mengganguk. "Itu nama yang ia pilih untuk disebut. Jelas bukan nama asli."

"Seperti lo yang tidak menggunakan nama asli." Nawasena ikut berujar dan Kafin mengganguk membenarkan. "Jadi, kita pergi ke hutan lagi?"

"Tidak, itu tidak perlu," tukas Kafin. "Gue yang akan pergi untuk menghubunginya. Sementara itu, kalian bertiga tetap di Jakarta."

__///____/____
Tbc

The Heroes Bhayangkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang