CHAP. 23 : Olga Kecelakaan 😢

745 32 2
                                    

Siang ini, aku duduk di sebuah kedai kopi tidak jauh dari rumahku. Seperti biasa, Om Alfian kembali menghubungiku dan meminta jatah premannya.
Sebenarnya, aku bisa saja menolaknya. Namun, rasa kemanusiaan dan persaudaraan yang masih melekat di dalam diriku ini, membuatku merasa tidak apa-apa sesekali membantunya.
Bagaimanapun, ia adalah adik kandung ayahku.

"Halo, Olga," sapa Om Alfian. Ia datang dan langsung duduk di kursi depanku. Dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

Penampilannya hari ini cukup bergaya. Dengan setelan Polo shirt dan celana jeans hitam, tak lupa juga kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Belum lagi parfumnya yang begitu kuat aromanya menusuk indra penciumanku.

"Uangnya sudah siap?" tanyanya tanpa sungkan. Seakan tidak ada waktu lagi untuk sekedar berbasa-basi tentang menanyakan kabarku.

Aku mengeluarkan amplop cokelat berukuran sedang dan menyerahkan padanya. Mendorong amplop tersebut di atas meja ke arahnya. Ia tersenyum lebar sampai memperlihatkan barisan giginya.

"Nah, gitu, dong! Besok-besok, jangan nunggu om minta. Harusnya kamu udah punya inisiatif. Kita, kan keluarga." Setelah mengatakan itu, ia meraih amplop tersebut dan melihat isinya sebentar.

"Om enggak perlu hitung lagi, ya?" tanyanya.

"Kalau mau dihitung ulang, silakan aja," dan semoga dia dirampok di jalan karena ada yang melihat dia menghitung uangnya di sini.

"Om percaya sama kamu," putusnya.

"Om lagi puber ke-dua, ya?" tanyaku penasaran.

"Kenapa begitu?" Ia menatapku dengan bingung.

Aku sedikit menjorokkan tubuhku ke kiri dan memerhatikan penampilannya dari ujung sepatu hingga ujung rambutnya, "Rapi banget, wanginya juga gilaaa, sampe sakit hidung Olga!" Aku mengibaskan tangan di depan hidungku dengan gerakan sedikit berlebihan, karena merasa terganggu dengan aroma parfumnya. Sengaja, karena memang sangat ingin menyindirnya.

Dia hanya tertawa kencang menanggapi ucapanku hingga kedua matanya tertutup sempurna.

"Kalau begitu, Olga pamit dulu," ucapku seraya bangkit dari kursi, enggan menunggu tanggapan darinya.

"Loh? Kita enggak pesan makanan dulu?"

"Olga harus pulang, nanti Remy curiga," jelasku.

"Tapi om lapar," katanya.

"Pesan aja."

"Nanti siapa yang bayar?" tanyanya dengan enteng.

Aku mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu dan meletakkannya di atas meja.

"Segitu pasti cukup, kalau kurang, om bisa bayar sendiri. Hari ini, kan om lagi banyak rezeki," ejekku.

Dia tertawa kecil. Tanpa menunggu jawaban apapun darinya, aku segera meninggalkannya di sana.

***

Brakk!!!

"Great!!" ucapku spontan dengan sangat kesal. Aku melihat spion di depanku untuk melihat keadaan belakangku.

Mobilku ditabrak dari belakang, sebenarnya tidak kencang, tetapi dentumannya membuatku terkejut. Aku langsung menghentikan mobilku setelah sedikit menepi agar tidak mengganggu pengendara lainnya. Aku segera turun dari mobil untuk mengecek kondisi mobilku.

Mobil yang menabrak mobilku dari belakang, ia juga ikut menepi dan berhenti.
Seorang pria dengan wajah keturunan bule menghampiriku.

"Maaf ya, tapi coba kalau kamu enggak berhenti mendadak. Enggak akan terjadi begini," ucapnya tenang.

Aku yang masih menunduk melihat bagian belakang mobilku hanya baret saja, tapi jelas terlihat. Langsung berdiri melihat pria tadi.

"Loh? Minta maaf tapi ujung-ujungnya malah salahin saya! Kamu gimana, sih?! Kalau enggak niat minta maaf, enggak usah pake nyalahin orang juga, dong!" balasku dengan nada ketus.

"Sebenarnya yang salah, kan kamu. Kamu tiba-tiba berhenti begitu saja." Pria itu masih bersikeras menyalahkanku.

"Kalau motor di depan enggak pake main belok aja, ini juga enggak bakal terjadi. Motor di depan saya itu belok tapi lampu sein-nya enggak hidup," jelasku masih dengan nada kesal.

"Kamu enggak lihat, tuh!" lanjutku sekaligus menunjuk ke kaca belakang mobilku.

Aku menunjuk ke arah stiker yang bertuliskan 'jaga jarak, saya masih belajar.'
Stiker yang memang sengaja aku pesan secara online dengan tulisan yang sangat cocok untuk keadaanku saat ini yang masih baru dalam berkendara.

Pria tadi melihat ke stiker tersebut dan malah ia tertawa.

"Itu stiker custom?" tanyanya penasaran, sepertinya.

"Iya!" jawabku dengan nada ketus.

"Ini. Saya tetap akan bertanggung jawab soal mobil kamu. Kamu bisa hubungi saya di nomor itu." Pria itu menyerahkan kartu namanya padaku.

Aku membacanya sebentar.

"James?" tanyaku sekaligus memastikan namanya.

"Panggil Jimmy saja."

"Tunggu dulu!" ujarku seraya mengambil ponsel di dalam mobil.

Lalu, aku dengan cepat menekan nomor pria tadi yang ada di kartu namanya. Tidak lama kemudian, terdengar suara dering ponsel dari dalam mobilnya.
Ia berniat ingin mengambil ponselnya, tapi aku langsung mencegahnya.

"Itu nomor saya, Olga. Tolong diangkat kalau saya telepon kamu, ya?" Aku memastikan kembali.

Ia mengangguk seraya tersenyum.
Aku segera memasuki mobilku dan meninggalkan ia sendirian yang masih berdiri di sana dengan sebelah tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya.

 Aku segera memasuki mobilku dan meninggalkan ia sendirian yang masih berdiri di sana dengan sebelah tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Olga, kesel mobilnya habis ditabrak malah disalahin.

*Olga, kesel mobilnya habis ditabrak malah disalahin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Om Alfian, ketika mendapat duit segepok dari Olga. Hadeh 😑

I LOVE (MONEY)OU! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang