Bab 8

149 45 5
                                    

Bara tersenyum tipis sambil membolak-balikkan surat kabar yang tengah ia baca. Tajuk berita pada surat kabar itu merubah senyum tipis Bara menjadi senyum lumayan lebar. Tajuk berita menyatakan: Skandal Seorang Barsel! Ada gosip menjijikkan bahwa seorang Barsel, pebisnis muda yang sukses berselingkuh di usia pernikahan yang baru seumur jagung.

Mulut Bara berkerut jijik. Ia tak menyangka Barsel sangatlah bodoh. Semua ini tidak pernah ia rencanakan namun kebodohan Barsel sangat menguntungkan baginya. Tanpa perlu bersusah payah, Barsel telah mencoreng namanya sendiri.

Saat tengah asyik membaca surat kabar, ponsel Bara berdering. Ia melirik layar ponselnya, tak ada nama yang tertera di sana. Hanya ada nomor saja dan ia tidak mengenali nomor itu.

"Halo?" Bara menyisihkan surat kabar dan menjawab telpon itu.

"Halo?" Tak ada suara di seberang sana.

Bara berpikir hanya orang iseng, mungkin. Namun, nomor pribadi miliknya tidak sembarang orang tahu.

"Jika kamu tetap diam, aku akan menutupnya."

Setelah mengancam akan menutup telpon, kini terdengar suara wanita di sebrang sana.

"Ini, aku."

Bara meringis mendengar suara wanita itu. "Clara," ucapnya hati-hati.

"Ya."

Terdengar helaan napas panjang setelah jawaban pendek dari Clara.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Bara tahu, Clara pasti tidak baik-baik saja. Namun, ia tetap bertanya sekedar untuk basa-basi saja.

"Aku butuh pekerjaan. Aku bisa melakukan pekerjaan apa saja. Apa kamu bisa membantuku. Bukalah pintu ruanganmu, aku sudah ada di depan."

Bara mematikan teleponnya lalu ia bergegas menuju pintu untuk melihat, apakah Clara benar-benar ada di sana.

"Kau?"

Sulit di percaya tapi Clara memang kini sudah ada di sana. Berdiri di depan pintu mengenakan kemeja putih dan celana hitam khas orang-orang yang ingin mendaftar kerja.

"Maaf, Tuan. Aku sudah menahannya untuk tidak datang ke sini. Namun, Nona ini tetap datang kemari."

"Tidak apa-apa, Sam. Dia istri sahabatku. Kau ingat? Barsel. Jadi, kembalilah ke tempatmu. Biar aku yang mengurusnya." Bara tersenyum tipis pada Sam, asisten pribadinya.

"Baik, Tuan."

Sam segera undur diri dan Bara mengajak Clara masuk ke ruang kerjanya setelah Sam pergi.

"Silahkan duduk!" Bara meminta Clara untuk mengikutinya duduk di sofa hitam lumayan besar yang ada di ruang kerjanya, "jadi ceritakanlah. Apa tujuan kedatangan kamu sebenarnya," lanjut Bara setelah mereka duduk.

"Aku ingin bekerja."

"Barsel pengusaha terkenal untuk saat ini. Kamu pasti tahu itu. Usaha yang dia dirikan cukup sukses meski dia pernah terpuruk saat di coret dari keluarga besarnya."

"Aku tahu."

"Lalu kamu tetap ingin bekerja?"

"Ya. Aku tidak mau bergantung padanya."

Bara menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Clara seksama, "ada hal lain?"

Clara yang sejak tadi berusaha tegar, kini matanya mulai berkaca-kaca. Meski ia sadar, selama ini hubungan pernikahannya dengan Barsel tidak baik-baik saja. Mereka juga jarang bicara. Namun, saat ini ia masih menjadi istri sah pria itu. Ia merasa terkhianati untuk kedua kalinya.

Luka atas pengakuan Sena saat itu saja belum mengering dan pagi ini, luka itu terkoyak kembali. Rasanya sangat sakit dari sebelumnya.

"Aku yakin kamu sudah mengetahuinya."

"Semua itu belum tentu benar. Mungkin ada pihak-pihak lain yang ingin menjatuhkan karir suamimu."

Bibir Clara tersenyum tapi air matanya menetes. "Semua itu bukan jebakan. Aku yakin itu."

"Jangan menangis."

Bara tak suka dengan wanita yang menangis dihadapannya. Ia tak suka melihat wanita menderita meski ia sadar, semua penderitaan yang Clara alami adalah ulahnya.

"Aku tidak akan menangis."

Clara berusaha menghapus air matanya tapi air mata itu justru menetes lebih deras.

"Sial!"

Bara mengumpat cukup keras kemudian meraih Clara dalam pelukannya dan membiarkan Clara menangis sepuasnya.

"Aku bodoh, aku terlalu naif dan mudah percaya begitu saja. Harusnya aku mencari tahu, tentangnya terlebih dahulu. Aku menyesal."

Clara terus berbicara sambil menangis sesenggukan meluapkan segala sesuatu yang ada di hatinya. Ia merasa sangat lelah dan tak kuat lagi jika harus menanggungnya sendirian. Ia membutuhkan seseorang yang mau mendengarkannya. Berharap kesedihan dihatinya mereda.

Bara tak berbicara apapun, ia hanya mendengarkan keluh kesah Clara sambil mengusap-usap punggung wanita itu supaya lekas membaik.

Bara's Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang