EMPAT

3.1K 273 19
                                    


Maaf banyak typo

****

Perempuan kecil tadi menangis. Ia harusnya merasa senang dan puas. Tapi, kenapa ia malah merasa bersalah saat ini.
Wajar perempuan kecil itu mendapat perlakuan jahat darinya, karena perempuan kecil dan lusuh itu, sumpah... selama sebulan lamanya yang sudah berlalu, Adnan tidak bisa tidur dan makan dengan enak.

Bayangan wajah kaget perempuan itu, bayangan dirinya yang reflek meloncati bunga, bayangan dirinya yang membekap mulut perempuan itu dengan tapak tangannya, bayangaan miliknya yang bergelantungan dengan celana yang sudah melorot sampai di atas lututnya, menari-nari bagai kaset rusak di otak Adnan.

Intinya sangat memalukan dan menjijikkan. Andai calon istrinya yang melihat, tidak apa. tapi, yang melihatnya adalah pembantu rendahan yang bekerja di rumah calon mertuanya, fuck.
Adnan takut, Vanya akan mengetahui hal ini. Vanya akan cemburu, lalu berpikir hal yang tidak-tidak.

"Tapi, tidak akan terjadi, perempuan tadi, sudah kamu peringatkan di teras, jadi dia tidak akan macam-macam..."desis Adnan sambil mengusap wajahnya kasar.
Sungguh, secuilpun Adnan tidak mau Vanya terluka karenanya, apalagi Vanya tidak mempercayainya.

Sampai mati hanya akan ada Vanya. Orang yang sudah menyelamatkan nyawa dan hidupnya.

Orang yang sudah menyelematkan garis keturunan mama dan papanya. Karena ia adalah anak tunggal. Apabila ia tiada. Adnan tidak tahu, akan sehancur dan sesakit apa mama dan papanya.
Oleh karena itu, Adnan sudah berjanji untuk hidup dan matinya, Adnan akan mengabdikan hidupnya pada Vanya. Walau belum ada cinta untuk Vanya saat ini, Adnan akan mencoba untuk terus menumbuhkan rasa cinta dalam dirinya untuk Vanya.

Lalu setelah mereka menikah, mereka akan mempunyai anak sebanyak mungkin, agar hidupnya dan hidup kedua orang tuanya, tidak kesepian lagi....

*****

Orang yang pertama kali Ajeng cari adalah Bi Nani. Tapi, Bi Nani sudah tidak ada di dapur. Dengan kepala yang rasanya ingin pecah, hati yang terasa sesak dan sakit, Ajeng berjalan lemah menuju penjemuran yang ada di rumah ini, pasti Bi Nani ada di sana.

Ada di lantai 3 rumah ini, dan benar saja, Bi Nani terlihat sedang menjemur pakaian di sana.

"Bibi..."Panggil Ajeng dengan suara seraknya.

Ajeng tersenyum di tengah hatinya yang tengah sakit di dalam sana, melihat Bi Nani yang sangat peka dan baik padanya, langsung menoleh kearahnya. Bahkan Bi Nani juga meletkkan kembali jemurannya ke dalam ember. Berjalan cepat menuju Ajeng yang masih berdiri di ambang pintu.

"Bibi... saya nggak pernah sakit hati sebelumnya, Bi. Mau di caci, mau dihina, saya nggak pernah sakit hati,"ucap Ajeng serak, dengan air mata yang kembali mengalir dalam diam.

Tapi, dengan gesit dan cepat, air mata yang mengalir dengan bulir besar di kedua pipi Ajeng dengan cepat di hapus oleh Bi Nani menggunakan punggung tangan dan jari-jari perempuan parubaya itu.

"Saya nggak pernah minta hal buruk untuk orang-orang yang selalu menghina saya selama saya hidup di dunia ini 19 tahun lamanya, nggak pernah, Bibi... tapi, tadi. Hati saya benar-benar sakit, apa yang belum pernah saya lakukan, saya lakukan, Bibi. Dan sungguh, saya sangat menyesal saat ini sudah mendoaakan orang yang jelek..."ucap Ajeng masih dengan suara serak dan paraunya.
Bi Nani? Perempuan parubaya itu diam, memberikan waktu dulu pada Ajeng yang masih ingin mengeluarkan isi hatinya saat ini.

Tapi, tangan Bi Nani yang kasar, tak henti-henti mengelus lembut bahu gemetar Ajeng. Berharap dengan elusan tangan kasarnya, bisa membuat Ajeng sedikit tenang.

Ajeng yang saat ini, atau detik ini, sepertinya sudah bisa menguasai dirinya.

Melihatnya, Bi Nani tersenyum.

"Adukan semua apa yang kamu rasakan saat ini, bibi siap mendengarnya, Ajeng. Adukan, Nak....."ucap Bi Nani lembut, mendapat gelengan kuat dari Ajeng.

"Apa Tuan Adnan memarahimu? Bahkan Tuan Adnan memukulimu? Apa kamu membuat kesalahan?"tanya Bi Nani sambil menahan nafas kuat. Tatapan Bi Nani juga menyorot tajam, tubuh Ajeng dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tidak ada luka gores atau memar di tubuh Ajeng yang terlihat, atau luka-luka itu ada di tubuh Ajeng yang tertutup oleh pakaian Ajeng....

"Tidak ada luka fikis. Luka batin dan hati, iya, bibi.... Apakah orang miskin, memang di perlakukan seperti ini, bi? Sama orang-orang kaya seperti Nyonya Sarah dan Tuan Adnan apakah mereka jahat seperti ini?"

"Tidak. Tidak semua orang kaya seperti Nyonya Sarah atau Tuan Adnan. Kamu hanya apes. Bibi juga hanya apes mungkin sehingga kita bisa kerja di rumah ini..."

"Ya, gaji saya selama 3 bulan tidak di kasih, andai gaji saya di kasih, pasti saya tidak akan menerima uang ini dari Tuan Adnan..."ucap Ajeng sedih, kembali air mata yang sempat berhenti mengalir, mengalir lagi dari kedua mata Ajeng dengan buliran yang besar.

Bi Nani? Mengernyitkan keningnya bingung. Jantung Bi Nani juga rasanya ingin meledak di dalam sana.

"Uang? Uang untuk apa?"tanya Bi Nani penasaran dan sangat tidak sabar.

"Cepat, katakana, Ajeng. Sebelum Tari datang melihat kita saat ini, dan mengomel..."

"Uang 400 ribu ini katanya sebagai hadiah karena saya sudah antar kopi ke dalam kamarnya, dan uang ini di suruh untuk beli pakaian saya, agar Tuan Adnan nggak sakit mata melihat pakaian saya yang jelek..."poton Ajeng pahit ucapan Bi Nani.

Bi Nani yang masih belum puas pada penjelasan Ajeng. Lantas bagian mana yang membuat Ajeng sakit hati? Tuan Adnan memberi uang, harusnya Ajeng senang, itu sebagai hadiah...

"Setelah uang ini saya terima, dan saya hampir pergi, saya di panggil lagi, uang ini di minta kembali, Tuan Adnan memarahi saya, harusnya saya tolak, padahal sudah saya tolak, terus saya di usir, hampir saya mau keluar kamar, saya di panggil lagi, Tuan Adnan membuang uang-uang ini, suruh saya mungut dan uang ini untuk saya. Saya sedih, Bi. Di permainkan begitu. Saya sedih, walau sudah di hina dan dipermainkan. Saya tetap ambil uang ini, karena saya butuh untuk kiriman nenek di kampong. Hiks..."ucap Ajeng dengan tangisan yang sudah pecah.

Tapi, agar tangisannya tidak menyebar luas ke rumah ini, Ajeng sudah membekap mulutnya kuat.
Tapi, percaya lah, tangisan Ajeng terhenti telak di saat Bi Nani...

"Harusnya kamu mengaku saja, Ajeng. Kamu yang sudah menolongnya dari para preman itu, kamu bahkan sempat di sentuhnya sedikit setelah kamu menyelamatkan laki-laki bajingan itu dari para preman. Kamu ngaku saja, Ajeng. Kamu yang sudah menyelamtkannya, bukan Nyonya Vanya. Kalau laki-laki bejat itu, Tuan Adnan tidak percaya dengan pengakuanmu, lempar saja kalung laki-laki itu yang terputus dan masuk ke dalam kantong baju kamu pada saat malam kejadian di wajahnya agar dia percaya kamu yang menolongnya, bukan Nyonya Vanya...."

Tbc

Lanjut dan ada yg baca?

Satu kata untuk Adnan apa?

Mau Ajeng lah yang meninggalkan Adnan tanpa kata nanti secara diam2?

Atau Adnan lah yang mencammpakkan Ajeng? Wkwkw

Menikah Dengan Kekasih Majikanku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang