Hindzel bersidekap dada menyimak pemandangan di depannya. Kota yang selama enam hari lalu dia lihat di waktu malam dari atas kepala naga yang terbang melebarkan sayap di atas langit. Menginjakkan kaki di area itu langsung membuatnya dikelilingi keramaian orang-orang yang berlalu lalang silih berganti di sekitarnya. Menginjakkan kaki di area itu juga membuatnya berpikir masuk akal jika tidak ada yang percaya kalau dia bilang di balik tanah berlapis batu balok yang kita injak ada ruang bawah tanah raksasa seluas kawasan wilayah kekuasaan kebangsawanan Belarus itu sendiri. Tapi juga masuk akal jika area bawah tanah itu sungguhan ada. Karena, di area ruang bawah tanah itu, ada pilar-pilar raksasa yang bisa menopang peradaban di atasnya.
Sesuatu mendengkur dan membuat suara auman kecil di belakang bahunya. Sekaligus menempatkan dirinya di bahu Hindzel. Membuat Hindzel merasa dirinya sedang membawa tas ransel tak kasat mata yang hidup, bergerak, dan bersuara.
Edgar datang membawakan cemilan tusuk sate yang memang dipintai oleh Hindzel sebelumnya. Setelah melewati antrean panjang karena toko yang memang memiliki banyak peminat. "Tuan Muda."
Hindzel menerimanya tanpa mengucapkan terimakasih—merasa tidak perlu untuk itu. Hindzel berpura-pura menyembunyikan dirinya yang sedang mengunyah daging di tusukan sate dari Edgar ketika sebenarnya dia menyembunyikan deretan daging yang raib satu-persatu oleh entitas yang bahkan Hindzel pun tidak bisa lihat. Tusuk sate itu bukanlah untuknya melainkan untuk peliharaan barunya.
Melihat tusukan yang sudah habis dalam selang waktu yang tidak begitu lama Edgar tercenung. "Tuan Muda lapar? Ingin membeli makan siang?"
Hindzel melirik bahunya. Berpikir naga itu sudah cukup makan dan dia sendiri pun belum lah lapar. "Tidak. Sudah cukup."
"Apa yang membuat Tuan Muda tiba-tiba ingin ke kota? Tuan Muda tidak pernah mau keluar dari Kediaman Belarus sebelumnya."
Hindzel mengedikkan bahu. Siapa yang bisa mengetahui alasan Hindzel betah sekali di rumahnya? Aku bukanlah dia. Aku suka berjalan santai jika aku memang bisa. Apalagi dia kini tidak perlu memusingkan ongkos transportasi maupun uang jajan.
"Kau punya sesuatu untuk diperbincangkan? Aku ingin mengobrol."
Edgar memerjapkan matanya.
"Tuan Muda tidak punya teman bicara?"
Hindzel tidak menanggapinya. Tapi Edgar pun tidak memerlukan jawaban.
Karena itu memanglah benar. Hindzel tidak dekat dengan kedua saudaranya. Hindzel tidak punya teman yang sebaya dengannya. Dan Hindzel memanglah penyendiri.
Tapi sepenyendiri apapun orang, akan ada masanya untuk dia menginginkan seseorang untuk bisa menjadi temannya bicara. Dan Edgar tidak keberatan untuk jadi orang itu. "Ya, Tuan Muda. Apakah ada topik tertentu yang ingin Tuan Muda perbincangkan?" senyum cerah Edgar.
"Bicarakan tentang dirimu sendiri."
"Saya?" herannya.
Hindzel mengangguk. "Beritahu aku latar belakangmu. Di mana kampung asalmu. Siapa kau di dalam keluarga marga-mu."
Mata Edgar bergerak memandangi lalu lalang orang seperti Hindzel. Menimbang-nimbang dari bagian mana dia bisa mulai menuruti permintaan topik perbincangan Hindzel. "Lodpard berkediaman di bagian barat wilayah Kekaisaran Plorvis. Di area yang sedikit jauh dari pemukiman sekitar. Setiap Lodpard akan memiliki sanak saudara yang banyak dari setiap generasi. Yang seperti yang sudah setiap keluarga bangsawan tau, akan tersebar untuk melayani seorang bangsawan. Begitu kami sudah mengabdi pada seorang bangsawan maka kami tidak akan lagi melihat sanak saudara kami sebagai saudara. Jika memang tuan kami saling bermusuhan, maka kami sang pelayan pun akan saling memihak tuan kami sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Transmigrated Duke Strikes Again (🌘TTDSA) | yoggu033🎐
Fantasy🎐 @yoggu033 | _TTDSA_| Ketika kelopak matanya membuka dan iris matanya dipertemukan dengan pemandangan yang tidak familiar, dia menolak menerima fakta kalau dia sudah tidaklah lagi berada di dunia yang dia kenal. Rekan-rekannya tidak ada bersamanya...