Suara siraman air membisingi telinganya, tapi dia tidak bisa menghindarinya.
Dengan sepasang tangan yang sibuk Hindzel mencibir. "Syukurlah kau tidak berontak ketika dimandikan." Dia membasahi sang naga dan mengusapnya dengan sabun. Lalu menggosok giginya. Kukunya dia bersihkan dan dia semir. Tanduk dan sayap juga sisik-sisik di ekornya dia bersihkan dengan kain lalu Hindzel mengusapkan minyak bayi pada kulit reptil naga itu begitu mengeringkannya dengan handuk.
Naga itu berdiri dengan keempat kakinya di sebelah baskom tempat dia dimandikan Hindzel. Memandangi Hindzel. Hindzel menaikkan alisnya.
"Haruskah aku memberikanmu nama? Aku punya satu nama yang kupikir cocok untukmu."
Sang naga mengerti apa yang diucapkannya. Membuat auman kecil.
"Rawr."
Hindzel mengangguk. "Ryu. Namamu Ryu." Nama karakter seekor naga dari sebuah judul buku komik yang pernah dia baca ketika dia SMA.
Ryu mengaum lagi lalu mengusap-usapkan kepalanya pada kaki Hindzel. Hindzel menepuk-nepuk kepala sang naga singkat lalu berdiri untuk keluar dari ruang bak mandi diikuti Ryu yang menggunakan levitasi di belakangnya. Edgar menahan dirinya dari bergidik melihat seekor naga berada di sisi belakang bahu tuannya. Naga itu mengakuinya untuk bisa melihat sosoknya.
Edgar menundukkan kepala padanya. "Tuan Naga."
Hindzel menaikkan alis. Teringat kalau naga adalah figur makhluk agung yang dihormati oleh umat manusia di abad-abad lalu. Hindzel melirik naga yang kini sudah memiliki sebutan nama darinya itu. Bertanya-tanya apakah dia harus menghormati naga kecil itu juga seperti Edgar. Tapi Hindzel memilih untuk pura-pura tidak tahu.
Untunglah dia punya peran sebagai tuan dari sang naga. Tak bisa dia bayangkan dia harus memberikan hormat pada seekor reptil.
Hindzel membenturkan bokongnya sendiri pada bantalan dudukan sofa besar. Bertopang pipi lalu melamun. Edgar si pelayan yang perhatian membungkukkan bahu memiringkan kepala. "Ada yang Tuan Muda inginkan?"
"Tidak." Hindzel menjawab tanpa membuat sedikitpun pertimbangan. Bibirnya mengucapkan pikiran yang mengganggu benaknya. "Kau... tau...? Terkadang takdir memang tidak bisa diprediksi. Secara tiba-tiba sesuatu yang mulanya hanyalah bahan khayalan, seketika menjadi bagian dari hidup kita. Manusia, tidak, semua makhluk hidup dituntut untuk bisa beradaptasi karena itulah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Jika kau memang masih punya keinginan bulat untuk hidup, itu kuncinya."
"Apa alasan kita lahir di dunia ini? Mencapai sesuatu? Benar. Tapi, yah... kupikir ada alasan solid kenapa aku ditempatkan di dunia yang satu ini."
"Apa yang diinginkanNya?" Hindzel melamun tapi mulutnya berucap. Membuat Edgar yang ada di ruangan bersamanya bisa mengetahui semua yang tengah ada di pikiran sang tuan. "Sesuatu seperti apa yang bisa kulakukan sampai Dia memilihku dari sekian banyak orang."
Hindzel berhenti berbicara. Edgar dengan ragu-ragu membuka mulutnya. "Apakah ... Tuan Muda mengharapkan respons saya?"
"Tidak," jawab Hindzel langsung. "Aku hanya..." dia mencari kata yang ingin dia gunakan, "....melantur."
Edgar mengangguk. Di satu sisi juga bersyukur. Karena dia pun bingung harus membuat respons apa. Dia yakin sang tuan mudanya itu hanya sedang di fase mencari tujuan hidup. Karena siapa yang belum pernah menemui fase itu? Bahkan dulu ketika dia di umur belasan selayaknya Hindzel pun dia di otaknya sering mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan itu.
Dan Edgar sudah menemukannya. Berkat Hindzel. Dia sudah tau tujuan hidupnya. Untuk menjadi pelayan pribadi Hindzel untuk hidup dan mati. Mendampinginya di manapun dan kapanpun, di situasi apapun, memberikan kontribusi sebesar mungkin dalam apapun yang hendak diraih Hindzel Belerus, dan, sudah.
Untuk bisa memberikan potongan pikiran maka dia harus lebih dulu berwawasan luas, makanya dia tekun belajar. Untuk bisa diminta memata-matai seseorang dia sudah punya keahlian dari seorang mata-mata, serta pekerja bayaran.
Dia sudah siap melakukan apapun jika itu artinya dia bisa berguna bagi Hindzel. Sempat terguncang ketika remaja itu menunjukkan kalau dia hanya mau malas-malasan. Lalu bersyukur ketika sang remaja berubah pikiran.
Kecil pun tidak apa-apa. Edgar hanya, ingin berkontribusi dalam sesuatu. Tapi sebagai seorang pelayan pribadi dari Hindzel Belerus.
Tuannya sebagai tangan seorang Maestro, dan Edgar sebagai pemain musik yang dipimpin olehnya.
"Tapi Tuan Muda tau kalau Tuan Muda sebenarnya tidak perlu terlalu menjadikannya beban pikiran, kan? Tuan Muda hanya perlu menjadikan kewajiban Tuan Muda sebagai putra dari seorang bangsawan sebagai patokan Anda dalam mencari dan menemukan tujuan Anda."
Hindzel melepaskan topangannya dan berubah bersandar menenggelamkan diri pada sandaran sofa. Untukku tidak sesederhana itu.
Karena dia bukanlah Hindzel sang Putra Duke Belerus. Dia Kim Ji Won. Makanya, apa yang Dia ingin untuk Kim Ji Won lakukan di dunia Hindzel ini? Dengan Hindzel Belerus sebagai topengnya, apa lagi.
Hindzel mengusap rambut depannya ke belakang. Mempertunjukkan kening.
Ikuti alur? Tapi sepertinya Dia tidak memberi kemudahan sebesar itu. Dia cemberut. Faktanya lihatlah ini. Menemui Raja adalah langkah yang kakinya buat, bukan dari sekedar mengikuti alur. Jika dia mengikuti alur maka dia akan membiarkan Edgar pergi.
Hindzel tertawa kecil sinting. Edgar kebingungan. Dia ingin bilang kalau ini adalah ulah perbuatanku sendiri? Karena aku tidak ingin karakter pelayan ini pergi.
Setiap keputusan memiliki dampak. Ini dampak yang harus kuhadapi. Tapi berengsek, dia menutup wajahnya dengan satu tangan seraya tertawa-tawa sinting, aku dijahili.
Dijahili untuk memainkan sebuah peran drama kelas atas karena dia ketinggalan sesi pilih peran sehingga dia mendapatkan peran terakhir yang belum terpilih siapapun di luar keinginan hati nuraninya.
Hindzel adalah orang yang bertanggung jawab di sela kepasrahannya. Di kondisi ini, dia pasrah tapi dia tetap segan untuk mengecewakan siapapun. Termasuk Edgar. Karena Edgar sang pelayan lah yang menjadi akar dari alur kisah ini.
"Kau istirahatlah. Aku agak sedang ingin sendirian."
Edgar tersentak.
Ada yang salah? Dia dibuat cemas. "Sebelum itu, ada yang Tuan Muda butuhkan?"
"Tidak." Hindzel menggeleng. "Kau ke kamarmu saja."
Edgar dengan murung meninggalkan ruangan. Menyisakan Hindzel dengan Ryu.
Hindzel memanggil. "Ryu."
Sang naga melayang mendekatinya. Bersemayam di lengan sofa yang lebar.
"Kemampuan apa saja yang kau punya?" tanyanya. "Atau, sihir seperti apa saja yang ada di dunia ini? Apakah kau mungkin untuk bisa memberitahuku?"
Ryu mengarahkan satu kaki depannya ke arahnya.
"Bisa."
Hindzel sejenak diam tanpa reaksi. Seolah dia tidak mendengar suatu suara aneh apapun di kepalanya.
"Hm?"
Mereka berdua berbagi tatap. Akal sehat Hindzel menghalaunya untuk memproses apa yang baru saja terjadi. "Huh??? Kau baru saja bicara di kepalaku?????"
Naga dengan nama Ryu itu mengangguk. Hindzel mengerutkan kening. "Coba ulangi."
"Aku bisa. Ini aku."
Hindzel merasa seolah bumi terbagi dua. "Whoa.... gila."
Ryu memiringkan kepala. "Ini tidak aneh. Kau sudah memberiku nama. Pintuku untuk bisa bicara padamu sudah terbuka."
Hindzel mengerutkan kening lebih dalam dari sebelumnya. "Jika sejak awal aku memberimu nama, sejak awal kau bisa bicara padaku?"
Naga kecil itu mengangguk lagi. Hindzel merasa kepalanya diketuk oleh palu karet raksasa. "Uh... lalu, bisa aku bertanya beberapa?"
Ryu mengangguk lagi. Mata Hindzel menyipit. "Berapa umurmu?"
24/01/2023 06.27 1074
KAMU SEDANG MEMBACA
The Transmigrated Duke Strikes Again (🌘TTDSA) | yoggu033🎐
Fantasy🎐 @yoggu033 | _TTDSA_| Ketika kelopak matanya membuka dan iris matanya dipertemukan dengan pemandangan yang tidak familiar, dia menolak menerima fakta kalau dia sudah tidaklah lagi berada di dunia yang dia kenal. Rekan-rekannya tidak ada bersamanya...