Bab 9

116 17 0
                                    

Siapapun tidak ingin merasakan sakit terlalu lama. Begitu juga dengan Shahin, pria itu kerap kali mengeluh karena kesal dan memikirkan bagaimana pekerjaannya kian menumpuk. Memang akan ada Rey yang sigap membantu dan dirinya masih bisa menghandle dari rumah. Hanya saja, rasa bosan kerap melanda paling unggul menguasai mood-nya.

Ini sudah minggu ke tiga Shahin terkurung di rumahnya sendiri. Ia masih harus pasrah hanya berjalan-jalan di sekitar rumahnya saja menggunakan kruk bolak-balik sendirian dari dalam ke halaman, begitu sebaliknya. Karena tidak mungkin Alana bolos selama itu.

Bisa-bisa istrinya itu kena depak begitu saja dari sekolahnya. Dan saking merasa bosannya, Shahin yang duduk di bangku teras rumahnya dengan perasaan yang ... entahlah.

Sepertinya makin nggak karuan ketika melihat Alana pulang di antar dengan seseorang yang pernah ia lihat di Mall tempo hari. Laki-laki itu pun Shahin langsung memicingkan mata tak suka ditambah lagi Alana yang tersenyum juga melambaikan tangan kelewat ramah.

Namun, sebisa mungkin Shahin mencoba bersikap acuh tatkala kendaraan roda dua itu telah meluncur pergi.

Alana sendiri, tampak berjengit kaget tatkala menemukan suaminya tengah duduk santai saat Alana membalikkan tubuhnya.

"Om ngapain di sini?" Alana bertanya tanpa bisa menyembunyikan raut keterkejutannya.

"Keliatannya lagi apa? Pacaran sama kucing?" jawabnya benar-benar ketus.

Alana agak tersindir, padahal Alana tidak sedang pacaran atau apa pun yang menunjukkan fakta bahwa ia sedang pacaran. Tidak!

Alana hanya di antar pulang, sebab itu sudah biasa sejak sebelum Alana menikah. Dan tanpa bicara lagi, Alana hanya merotasikan kedua bola mata seraya melanjutkan langkah.

Melihat istrinya pergi begitu saja, tanpa Alana sadari, Shahin turut menyusul ke dalam.

.
"Besok-besok, kalau pulang itu naik bis ke, naik taksi ke, naik ojeg ke," protesnya saat Alana hendak mengganti pakaian.

"Boke, nggak punya duit. Punya suami kaya. Sayangnya pelit," Alana menukas dari dalam kamar.

"Kan bisa bayarnya di sini,"

"Dih, keliatan banget kere-nya dong."

"Ya, udah kalo kaki saya udah sembuh, kamu saya antar jemput atau kalau perlu saya kasih supir pribadi buat kamu." timpal Shahin enggan mengalah.

Alana menutup pintu lemari setelah memilih pakaian yang akan ia bawa ke kamar mandi. "Mendingan beliin motor aja, susah amat sih!"

"Nggak! Nanti celaka, saya yang repot."

"Oh, jadi ngerasa direpotin gitu? Sadar diri ya sekarang yang celaka siapa dan yang repot siapa?" Alana berujar seraya menutup pintu. Dan Shahin yang sejak lima belas menit lalu menyandarkan tubuhnya di muka pintu agak tertohok mendengar jawaban dari perdebatan yang memang tidaklah penting.

Namun, sekali lagi, pertanyaannya kenapa harus selalu ada adu mulut di antara keduanya? Apalagi ini hanya hal kecil, Alana hanya di antar pulang oleh temannya dan Shahin sudah cukup terbiasa dengan itu sebenarnya. Hanya saja, kalau anak laki-laki itu, Shahin jadi tidak suka.

                            💕💕💕

Suasana malam, saat gerimis tak kunjung berhenti sejak satu jam lalu. Keheningan yang sama menjadi satu-satunya saksi ketika Alana sibuk dengan buku-bukunya yang dibiarkan terbuka lebar sementara ia sendiri hanya senyam-senyum, lalu tertawa pelan ketika mendapati bahan ghibahan di ponselnya.

Shahin, tentu saja hanya memasang wajah datar dengan tangan menekan remote televisi. Tak ada acara menarik menurutnya, melihat berita pun itu-itu saja dan sesekali, Shahin melirik melalui ekor matanya. Melihat Alana Alana yang asyik cekikikan sendirian, mengacuhkan dirinya.

Hingga dimenit berikutnya, hanya embusan napas yang mampu Shahin hadirkan. Lantas bangun dari duduknya, lalu melangkah menuju kamar.

.
Shahin tidak tahu seperti apa rasanya tertawa lepas sekarang ini. Ketika ia mengingat bagaimana pernikahannya gagal dan harus tergantikan oleh gadis remaja yang saat ini seperti memasang sekat dan jarak darinya.

Kalau saja bisa, Shahin ingin jujur jika ia hanya ingin memiliki rumah tangga sewajarnya seperti teman-temannya yang lain. Mengingat usianya sekarang yang tak lagi ... muda.

Namun agaknya ia harus bersabar untuk mengambil hati Alana yang bisa saja masih membenci dirinya.

Sedang pria itu menyelami alam fikir mengenai Alana dan dunia keduanya juga perbedaan yang begitu mencolok. Ponsel di sakunya meraung memaksa agar segera diangkat.

Mbak Shafira, sebait nama itu muncul dan tanpa membuang waktu Shahin menggeser tombol merah pada layar ponsel pintarnya.

"Hallo,"

"Shah, gimana keadaanmu?"

"Baik Mbak."

"Syukurlah."

"Mbak sendiri gimana?"

"Baik juga, oh iya. Besok lusa Mbak pulang."

"Semuanya, Mbak?"

"Iya, semuanya dan Mbak rencananya mau menetap aja di Indonesia, nggak balik lagi kesini."

"Baguslah, Mbak. Biar bisa kumpul bareng-bareng dan biar Alana ada temannya."

"Alana?"

"Istriku, Mbak."

"Oh, sorry Mbak lupa."

"Dia kan seumur sama Rena."

"Astaga, umurnya? Kenapa bisa sih, Shah? Bukannya kamu sama Bella sudah siap?"

"Nggak tahulah, Mbak. Aku udah nggak mau bahas."

"Loh?"

"Dia kan yang memutuskan untuk pergi."

"Tapi Mbak sempat lihat dia loh di rumah sakit kalau nggak salah. Apa dia sakit?"

"..."

Shahin enggak menjawab. Ia diam, tetapi merasakan hati seperti sedang dipatahkan sekali lagi.

Sungguh, jangankan mengingat tentangnya, Shahin sudah tak mau tahu tentang wanita yang pernah hadir di masa lalunya.

Rasa kecewa dan sakit sudah cukup mencabik habis hatinya. Terutama, mengingat kedua orang tuanya yang turut merasakan luka serupa, Shahin sudah tidak bisa memberi maaf untuk wanita itu.

                              💕💕💕

"Aku kira Om udah tidur?"

"..."

"Oiya, besok aku bakalan pulang telat. Ada acara di sekolah dan aku harus mempersiapkan bareng anak OSIS."

"..."

"Kok diem aja sih? Biasanya langsung ngedumel!" ejek Alana.

Shahin melirik ke Alana, menatap pasti selama beberapa detik pada istrinya itu sebelum membuka mulutnya untuk bicara.

"Al,"

"Hmmm,"

"Besok, Mbak Fira pulang,"

"Oh, yang di Singapore itu ya?"

Shahin mengangguk. "Kalau bisa jangan panggil Om ke saya."

"Loh, memang mau dipanggil apa?"

"Apa aja,"

"Sayang gitu?"

Ada yang kreket-kreket dalam lambung Shahin, tapi buyar ketika sadar kalau Alana saat ini sedang tertawa terbahak-bahak. Kalimat sayang itu tak lebih dari ejekkan untuknya.

"Boleh. Itu panggilan yang bagus, kalau bisa mulai sekarang, ayo panggil saya, sayang. Sayang!" Timpal Shahin langsung membuat derai tawa Alana berhenti.

Mampos anda, Al.

TBC💕💕💕

JODOH SI BUJANG LAPUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang