Bab 7

117 18 0
                                    

Angin sore ini menyapu helaian rambut Alana yang tergerai. Gadis itu duduk di atas sebuah ayunan, menyaksikan gerak awan dan rona jingga matahari yang perlahan tenggelam.

Dalam genggamannya, terdapat es teh yang masih tersisa setengahnya. Sesekali helaan berat keluar dari saluran pernapasannya.

Rasanya sakit sekali jika mengingat kejadian kemarin. Bayangan kejam itu semakin menusuk memporakporandakan ruang hatinya. seiring rasa sakit yang menusuk di sana.

Ciuman pertama yang ia simpan untuk seseorang. Malah tercuri oleh pria tua menyebalkan.

Bahkan sampai detik ini, kesesakan masih datang mengambil alih segala kewarasan yang seperti menghilang. Dan dengan susah payah gadis itu mengusir sejauh-jauhnya pintasan buruk yang telah suaminya ciptakan.

Suami?

Kalau bisa jujur, Alana belum bisa mengakui laki-laki tersebut sebagai suaminya. Tentu saja, diusianya yang terbilang masih remaja, tak mudah untuk Alana terima.

Ayolah. Siapapun itu, jika langkahnya dipertemukan dengan takdir yang tak sejalan seperti apa yang diharapkan tentu saja hanya akan berakhir dengan gumpalan kecewa yang kemudian membias nyata menjadi luka. Alana sulit nenutupi membohongi itu.

.
Jam berdentang menunjukkan pukul enam petang, sebuah deringan dari ponselnya berhasil mengambil alih lamunannya. Lalu tak berapa lama, ia hanya menjungkitkan alis kanannya.

"Halo,"

"Lo dimana?"

"Di taman. Kenapa?"

"Pulang,"

"Nanti aja lah masih sore gini,"

"Lo tu gimana sih. Bisa jadi istri yang baik apa nggak?"

"Kok Om malah marah-marahin aku sih?"

"Pokoknya pulang sekarang!"

"NGGAK!"

"Shahin kecelakaan, kakinya patah. Balik lo sekarang."

Alana diam, ia tergugu selama beberapa saat. Tidak juga meneruskan kalimat-kalimat yang kini harus ia telan sampai panggilan itu berhenti tanpa Alana sadari.

                              💕💕💕

Tiga puluh menit perjalanan, Alana merasa hatinya cukup gusar. Bahkan setibanya di rumah Alana nggak langsung masuk ke dalam seperti biasanya. Apa lagi sepasang netra bulat Alana menemukan kendaraan yang ia ketahui milik mertuanya.

Tangan gadis itu bahkan terkesan dingin dan saling bertaut satu sama lain, gugup dan takut berbaur menjadi satu.

Takut karena apa? Entah, Alana sendiri belum bisa mencerna perasaannya dengan baik saat ini setelah mendapati kabar dari pamannya bahwa Shahin mengalami kecelakaan siang tadi.

Sampai-sampai bayangan ngeri mengenai kondisi Shahin datang seperti teror mengerikan yang tak ia undang.

Akan tetapi mau tidak mau, ia tak mungkin kan hanya berdiri saja di luar? Seiring dengan napasnya yang memberat, Alana mulai menggerakkan kembali tungkai kakinya untuk melintasi sekat kayu yang tertutup. Dan begitu telapak tangannya yang agak bergetar mendorong papan berbingkai itu, semua mata yang ada di ruang depan langsung tertuju padanya.

Oke, Alana bingung sekarang. Ia tak tahu harus berbuat apa? Jadi untuk beberapa detik Alana diam mematung di depan pintu. Sampai-sampai sapaan hangat mengambil alih seluruh perhatiannya.

"Kenapa diam di situ?" serunya seraya mendekati Alana.

"Ke-ke-aaadan-keadannya gimana, Bu?"

Seolah mengerti, wanita paruh baya itu tersenyum lagi. "Baik, kamu jangan khawatir."

Alana mengangguk pelan, ada kelegaan yang kini mengganti gusar.

"Kamu sudah makan?"

Alana menggeleng samar.

"Ya sudah makan dulu sana. Kebetulan Ibu bawain makanan buat kalian."

"Nanti aja, Bu. Al mau lihat Kak Shah dulu," jawab Alana menolak tawaran ibu mertuanya.

"Ada di kamar dengan paman kamu."

"Baik, Bu. Al permisi dulu." Ucap Alana permisi, ia masih merasa cukup canggung dengan situasi ini.

.
Pintu kamar terbuka lebar Alana berdiri di sana dan melihat Shahin sedang mengobrol bersama Rey, pamannya.

Meski ruangan itu ditempati oleh Alana juga, ia tidak menyingkirkan kesopanan. Alana jelas mengetik pintu terlebih dahulu, sehingga kedua orang pria itu menoleh secara bersamaan.

Hingga selang beberapa menit, Rey menepuk bahu Shahin lalu melenggang pergi. Mungkin bermaksud memberi ruang untuk Alana atau untuk keduanya.

Sepeninggal Rey, Alana mulai memasuki kamar mereka.

Jangan tanyakan bagaimana rupa Alana sekarang? Yang tadi begitu ketakutan kini berganti lagi menjadi datar. Bayangan semalam lagi-lagi datang menghadang keprihatinan yang sebelumnya tersemat dalam-dalam.

"Sepertinya kalau Rey nggak ngasih tahu, kamu nggak bakalan pulang deh."

"...."

"Terus kenapa nomer aku kamu blokir juga?"

"...."

"Kamu masih marah sama saya gara-gara saya cium?"

Alana langsung menoleh setelah tangannya menutup pintu lemari. Tanpa sepatah kata pun mau menjawab rentetan pertanyaan dari Shahin yang kakinya terbalut  Pen dan terdapat luka memar dibagian keningnya.

"Atau jangan-jangan kamu emang seneng melihat saya celaka?" Tuding Shahin makin membuat Alana mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

Hingga akhirnya mata Shahin hanya mampu melihat punggung Alana menghilang dari balik kamar mandi. Sampai indera rungunya menangkap kucuran air cukup deras terbuang percuma lama. Karena Alana hanya diam di balik pintu untuk sekadar melampiaskan tangis yang sejak tadi ia tahan.

                                💕💕💕

Malam kian beranjak sepi. Shahin yang ingin ke toilet bangkit dengan susah payah dari ranjangnya. Bahkan nyanyian rintihan yang keluar dari mulutnya turut menghiasi langkahnya.

Saking tak bisanya ia berjalan, lelaki itu sampai kehilangan keseimbangan membuat tubuh tinggi Shahin limbung dan jatuh.

Bunyi gedebum dari dalam kamar tak ayal mengundang reaksi nyata untuk Alana. Gadis yang sedang melahap nasi dari luar kamar pun langsung menghampiri Shahin yang sudah meringis di lantai.

"Ya, ampun kenapa bisa jatuh sih, Om?"

"Saya mau ke toilet,"

"Kan bisa panggil, aku."

"Kamu kan lagi marah sama saya,"

"Emangnya Om pikir aku nggak punya empati apa, ya?"

"Habisnya dari tadi kamu diemin saya melulu."

"Udah, ah ayo bangun." Alana mengajak Shahin bangun. Tangan Shahin yang Alana raih disimpannya di antara pundaknya yang tidak sekuat yang ia bayangkan.

Karena bobot badan Shahin jelas dua kali lipat dari tenaga yang Alana miliki.

"Ya, Tuhan berat banget!" ringis Alana sampai benar-benar berhasil membuat Shahin berdiri kembali.

"Masih mau ke toilet?"

"Saya mau buang air kecil, kamu ... "

"Aku anterin doang ya, bukan mau nemenin Om sampai selesai buang air." Alana mendadak nyolot.

"Lagian siapa juga yang mau ditemenin sama kamu."

"Ya udah buruan, Om tuh berat tahu." Protes Alana.

Shahin menoleh ke arah lain sekilas. Hanya untuk menyembunyikan senyum yang ... entahlah. Ia merasa gemas sendiri pada Alana yang saat ini berusaha memapah dirinya ke dalam toilet.

TBC💕💕💕

JODOH SI BUJANG LAPUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang