4: Mentari dan Rini

1K 18 8
                                    

Mertua, kadang baik. Kadang tidak. Itulah yang dipahami Mentari. Sebab itu dia memilih hidup menjanda, usai bercerai dari suaminya, Raden Asmoro, yang menuruti kehendak ibunya untuk menikahi sesama bangsawan.

Mentari sempat trauma berurusan dengan kaum darah biru yang berperilaku sok ningrat. Tetapi Rini Dipo, sahabatnya, nampak berbeda. Rini baik sekali kepadanya, bahkan menjadi donatur tetap panti asuhannya. Sebab itu, Mentari bingung ketika Mirna justru mengeluhkan perilaku mertuanya itu.

"Aku selalu dituntut untuk cepat punya anak, Bu." Keluh Mirna, saat Mentari datang, dan mereka duduk di taman.

Tak ada Rini saat itu, mertuanya belum pulang dari acara arisan dengan para sosialita. Sehingga Mirna dapat berkeluh kesah pada Mentari.

"Sabar, Mirna. Tak ada manusia sempurna, setidaknya kan kamu tetap bisa bersama suamimu," nasehat Mentari.

"Betul sih, Bu. Tetapi tekanan mertuaku itu membuatku stres!"

"Udah, jangan ditanggapi. Fokus saja ke suamimu."

"Aku mau tinggal terpisah."

"Eh, jangan! Bahaya itu. Bisa-bisa mertuamu ingin kalian bercerai."

"Be-benarkah?!"

Mentari menyentuh pundak Mirna dengan lembut. "Sebelum kau menikahi Nody, seharusnya kau paham jika dia anak semata wayang. Ibunya bahkan sangat superior di rumah, bapaknya saja kalah. Artinya, kau tak bisa bersitegang dengannya."

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"

"Berdamai dengan keadaan."

"Ooh...," Mirna mengusap wajah cantiknya dengan kesal. "Aku sendiri tak tahan dengan kondisi lima tahun ini, Bu. Aku bisa gila? Aku sedih, Bu. Apa salahku sampai tidak kunjung hamil?"

Perlahan, Mentari mengeluarkan surat-surat Dona, lalu meletakkannya di pangkuan Mirna. "Itu surat-surat ibu kandungmu. Sebaiknya kau baca dan bertemu dengannya. Mungkin itu bisa membuatmu bisa memiliki anak."

Mirna bengong, lalu dia cepat menjejalkan surat-surat itu kembali dalam tas Mentari. "Kalau begini namanya ibu tak sayang padaku. Sudah kubilang bakar saja semua surat dari wanita itu!"

"Kau kan bilang ingin punya anak!"

"Iya, tapi bukan begini caranya. Aku benci padanya, ibu kan juga tahu?"

"Temui ibumu, minta maaf dan juga maafkan dia. Insha Allah kau akan lebih tenang dan bisa cepat hamil."

"Tidak perlu, bu. Sebulan lagi kami akan melakukan proses bayi tabung. Semua masalah ini akan berakhir."

"Tak bakal, percaya sama ibu."

"Kok ibu begitu?"

Mentari mengambil semua surat yang tersumpal di tasnya, lalu kembali meletakkannya di atas pangkuan Mirna."Jangan jadi anak durhaka. Bagaimana pun, dia melahirkanmu dan juga sempat menyusui dan membiayai hidupmu."

"Tetapi dia membuangku di panti asuhan."

"Apa kau tidak bersyukur diasuh oleh ibumu si Mentari ini? Berkat kau jadi anak panti, ibumu ini jadi bisa mencari tempat magang kerja terbaik untukmu, bahkan anak yang punya perusahaan sampai melamarmu? Tak cukupkah kamu mensyukuri semua ini?"

"Ibuuu.... bukan itu intinya."

"Lalu? Kau mau menuntut apa untuk remaja usia empat belas yang ke luar sekolah karena hamil pas masih kelas dua SMP? Bersyukurlah dia tidak membuangmu di tempat sampah, Mirna!"

Mirna menggigit bibir, perlahan air matanya jatuh. Terbayang masa kecilnya di Panti Asuhan Kasih Ibu yang menyedihkan. Harus berbagi kasih sayang dengan ratusan anak-anak malang lain. Para pengasuh datang dan pergi, jadi mereka hanya menganggap Bu Mentari sebagai ibu sebenarnya. Tapi wanita baik itu harus "diperebutkan" ratusan anak yang menuntut hak yang sama. Jika Mirna tidak sekuat tenaga berusaha mencuri perhatian Mentari, maka mungkin, dia hanya sekedar diketahui "ada".

Sebelum Dona mengirimkan surat dan uang padanya, Mirna sudah sangat dekat dengan Mentari. Selalu nempel bak perangko. Sehingga terkadang menimbulkan rasa iri dan dengki dari anak panti lainnya. Sering Mirna dicurangi, dijahili, dipukuli atau hal lain yang membuatnya tak nyaman berada di sana. Apalagi ketika Dona rutin mengirim uang, surat dan barang-barang bagus untuknya, kebencian terhadapnya dari anak-anak lain seakan semakin berat dan kejam.

Mirna tak pernah melawan. Dia takut, lemah dan pendiam. Bertahun-tahun, dia menelan penderitaan sendirian. Dimusuhi hampir seratus anak, hidup seakan berbeda dan mengundang kebencian yang mengerikan pula. Baru saat lulus SMA, satu persatu rombongan kawan panti yang seusia dirinya mulai meninggalkan tempat itu untuk kuliah dan bekerja di tempat jauh. Pada masa itu, barulah Mirna merasa hidupnya sedikit tenang, meski kadang dia masih terbangun di tengah malam karena ketakutan jika masih ada yang menutup wajahnya dengan bantal, mengikat kakinya di tiang ranjang, atau kedua tangannya dengan kain, sehingga tidurnya tak nyenyak dan badannya sakit bila terbangun esok pagi.

"Kau masih memiliki orangtua, dan mamamu masih mampu menghidupimu. Mengapa kau masih di sini dan terus menjilat pada Bu Mentari?" Teriak anak-anak itu sambil memukul tubuh dan menjambak rambutnya, setiap hari, setiap malam, setiap waktu Mirna lepas dari pantauan dan pengawasan Bu Mentari. Sesuatu yang menjadi trauma mendalam.

"Surat-surat siapa itu?"

Mirna tersentak,"Oh, eh... maaf Mami." Tak disangka mertuanya tiba-tiba telah berdiri di hadapannya. Dengan tergesa, Mirna meraih semua suratnya dan pamit pergi untuk memasuki kamarnya.

"Kenapa dia?" Tanya Rini, sambil memeluk dan mencium Mentari. Lalu mereka duduk berhadapan.

"Biasa, ada kiriman surat-surat dari ibunya Mirna. Si Dona!" Sahut Mentari, sambil tersenyum.

Rini mencibir,"Masih tanpa alamat suratnya? Hih, ibu macam apa itu. Kirim surat ke anak tanpa keinginan agar suratnya dibalas. Sebetulnya, saat Mirna akan menikah dengan Nody dulu, aku tak masalah lho jeng, jika ibunya Mirna hadir. Tapi mau ngundang ke mana? Masa kudu sewa detektif untuk cari besan kita?"

Mentari kembali tersenyum,"Dona, ibunya Mirna sudah datang ke panti, jeng. Dia ingin bertemu Mirna. Cuma, aku belum izinkan untuk langsung ke sini. Aku masih perlu membicarakan ini pada jeng Rini."

"Oh ya?" Rini terdiam sesaat, lalu menatap Mentari."Tujuannya apa ingin bertemu Mirna sekarang, kenapa tidak dari dulu? Apakah karena dia sudah tahu jika anaknya mendadak naik derajat saat jadi menantu keluarga Baldwin yang wong sugih?

"Entahlah, jeng. Aku kurang paham. Itu kali kedua kami bertemu, setelah dia datang dua puluh lima tahun lalu untuk mengantarkan bayinya yang kini kita kenal sebagai Mirna. Dia muncul begitu saja, tiba-tiba. Seakan lupa bagaimana proses dia melepas anaknya berpuluh tahun ini."

"Di mana dia sekarang?"

"Katanya sih, tinggal di Bogor."

"Mirna mau bertemu ibunya?"

"Sepertinya masih berat."

"Ya, sudah. Sebaiknya jangan dipaksa. Lha, itu kan salah ibunya sendiri?"

"Tapi...," Mentari menghela nafas dengan berat. "Ini sekedar pendapatku lho, jeng. Jika Mirna memaafkan ibunya, mungkin...mungkin dia bisa cepat hamil. Restu seorang ibu itu penting."

Rini terkekeh,"Alah, lihat ibunya dulu dong. Ibu yang bener, baru layak dimintai restu. Bukan ibu yang bunting hasil zina, terus tega membuang anaknya selama puluhan tahun. Itu ibu durhaka namanya!"

Mentari tersenyum kecut, dia tak berani lagi berkomentar. Maksud hatinya hanya ingin ikhtiar mencari solusi agar kemelut ketegangan hubungan menantu dan mertua dan mencair. Tetapi rupanya, Rini sama pikirannya seperti Mirna. Mereka tak berminat menanggapi niat tulus Dona, yang ingin sekedar bisa kembali bertemu anaknya.

(Bersambung)

Ibuku Hamil AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang