Aku sedikit kesal dengan pesan yang kuterima ini. Pesan yang mengatakan bahwa final perlombaan akan dipercepat. Ini panitianya yang kurang serius atau bagaimana? Namun jumlah kompensasi ditawarkan juga tidak sedikit.
Aku agak tak percaya dengan kompensasi yang mereka berikan yaitu dua puluh juta dan sudah dikirim ke rekening.
"Ini asli"
Aku tak tahu harus berkata apa karena kompensasi mempercepat perlombaan malah diberikan sebanyak itu. Bagaimana dengan finalnya? Yang aku tahu disebutkan miliaran dan aku tak terlalu menganggapnya karena banyak pelaksaan perlombaan merias promosi mereka secara berlebihan.
Namun kompensasi yang kuterima ini jelas tidak sedikit, ini sudah mengalahkan nominal juara pertama kompetisi nasional.
"Kau juga dapat?" aku bertanya pada Halim yang tampaknya masih belum percaya dengan nominal yang ia terima.
"Iya, dan ini asli" aku melihat senyum lebar di mulutnya itu walau halim mencoba menutupinya.
"Oh ya, tiketnya sudah kamu terima?"
"Sudah, tampaknya check in online semua" ujarnya sambil memperlihatkan tiket yang dikirimkan bersamaan dengan email pemberitahuan tersebut.
Tiket ini tak main-main, pulang pergi, penginapan dan bahkan voucer untuk menginap di beberapa hotel secara gratis. Tampak begitu totalitasnya perusahaan ini dalam meningkatkan pandangan peserta terhadap mereka.
"Kekurangan mereka hanyalah satu yaitu mengganti jadwal secara mendadak. Selebihnya sangat luar biasa" aku memuji ini bukan karena sebatas uang dua puluh juta itu. Informasi dari layanan peserta juga sangat cepat dalam merespons berbagai pertanyaan, termasuk Batasan usia.
"Untunglah kita boleh ikut tanpa harus membawa wali" ujar Halim.
"Aku tahu itu. Kalau tidak, mungkin kita berdua tak akan bisa pergi. Ayahku sibuk dan ibuku juga tak ada d isini. Kau juga begitu kan Halim?"
"Ya, ibuku sih mau-mau saja. Tapi tak adil jadinya jika Master Vasco yang jadi tak bisa ikut" selorohnya.
Dia rutin memanggilku master semenjak kami menyelesaikan teka-teki keluarga Halim itu. Aku beberapa kali memberikan tatapan kesal tapi tampaknya tak berhasil. Dia tetap konsisten menggunakan panggilan ini dalam setiap candanya.
"Apa saja yang sudah kamu persiapkan?" Aku sedikit penasaran dengan persiapan Halim, lagi pula ibunya masih di rumah, setidaknya aku bisa menjadikannya referensi untuk mulai berkemas.
"Pakaian untuk tujuh hari, kotak P3K, oksigen kecil, obat nyamuk, Ambu Bag dan Ransum"
"Tunggu, tunggu sebentar. Kau membawa banyak barang medis seperti itu, dan terlebih Ambu Bag? Kau ingin menyelamatkan orang henti nafas di sana?"
Aku tak habis pikir dengan barang yang dibawa oleh anak ini. Ini lomba pemecah kode, bukan lomba penanganan medis darurat.
"Seharusnya aku juga disuruh membawa Swiss Army Knife, sayangnya akan sulit dibawa ke bandara" ujarnya dengan polosnya.
"Kau ada-ada saja, membawa senjata malah nanti kau dianggap teroris" aku menepuk jidat tak paham dengan pola pikir orang yang satu ini.
Dia juga berencana membawa ransum militer yang merupakan makanan darurat tentara saat bertugas. Aku tak tahu kata apa yang cocok menggambarkan orang ini, apakah terlalu hati-hati atau malah terlalu penakut.
"Ah, itu bukan daftar yang kubuat. Ayahku yang memaksanya" ujar Halim lagi. Tampaknya dia tak mau aku salah paham dengan daftar barang bawaannya itu.
Ayahnya, Aku tak menyangka yang mulia Duta Besar akan sehati-hati itu. Apakah karena Halim anak pertama sehingga mereka memperhatikannya sampai segitunya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Kode #1: Kriptografer Kematian
Mistério / SuspenseVasco sangat menyukai kriptografi, pertemuannya dengan Halim dimulai dengan misteri pesan rahasia dari perang dunia itu. Mereka berdua akhirnya terseret pada misteri kode-kode masa lampau dengan teknik penyandian khusus. Hal ini membawa mereka pada...