16. Dependency🌷

112K 14.8K 1K
                                    

Happy Reading

~•~

     Tempat ruangan santai tampaknya dalam suasana begitu tegang dan suram. Neila merasa tak pernah terpojokkan seperti ini dalam hidupnya. Dan itu semua karena gadis yang bahkan selalu transparan keberadaannya. Sejak kapan semuanya berubah seperti ini? Mengapa ia begitu lengah dan santai?

Neila menarik nafas dalam-dalam sembari menahan emosinya. Wajahnya yang begitu pucat dan tegang menjadi tenang dalam sekejap.

Dia duduk dengan kepala tertunduk ke arah Rose. "Maafkan aku Ibu. Ini semua salahku. Aku memerintahkan mereka seperti itu bukan untuk menyakiti putraku sendiri. Hanya untuk mencari aman sehingga tak ada orang yang tersakiti lagi disekitarnya."

Ekspresi Rose mereda. Namun masih tidak nyaman. "Jangan memerintahkan hal seperti itu lagi tanpa seizinku. Jika cucuku terluka, maka aku yang akan bertindak."

Neila masih menunduk sehingga tak ada yang melihat mata kejamnya. Giginya bergemelatuk, mamun suaranya lunak dan lembut. "Ya, Bu. Maafkan aku."

Reane tak bisa untuk tidak mengagumi kecepatan perubahan emosi Neila. Dia tidak tahu mengapa Neila sangat ingin menyingkirkan Ray dengan alasan mengobatinya di luar negeri. Jelas-jelas niat sebenarnya tidak begitu. Dia sudah menebak dengan intuisi bahwa tujuannya tidak akan sebaik itu.

"Meminta maaflah kepada putramu, bukan kepadaku."

Tanpa basa-basi, Neila langsung beranjak dan duduk di bawah menghadap Ray. Reane agak terkejut dengan tindakannya. Menoleh ke arah orang yang menjadi pusat perhatian, pria itu malah menatapnya. Seolah kebedaraan Neila dan yang lain tidak ada. Hanya dia di matanya.

"Ray ... Putraku. Tolong maafkan ibumu. Ibu tahu bahwa tindakan ibu kasar dengan memerintahkan mereka, tapi ketahuilah itu semua untuk kebaikanmu juga."

Neila akan mengambil tangan Ray yang memegang tangan Reane, namun Ray langsung menepisnya dengan kasar dan kuat. Entah karena pukulan itu atau sengaja, Neila langsung terjatuh mundur membentur meja.

"Ah!"

"Neila!" teriak Rose dan Hart bersamaan

"Ibu!" Albion langsung menghampiri dengan cemas.

"Ray! Kenapa kamu bertindak begitu kasar!!" marah Hart dengan wajah memerah. Melihat lagi Neila yang memegang belakang kepalanya kesakitan, dia langsung menghampiri dengan cemas. "Neila! Apakah kamu baik-baik saja?!"

Melihat mereka mengerumuni Neila dengan cemas, Reane mengerutkan kening. Ia bisa merasakan betapa kerasnya reaksi Ray saat ayah mertuanya itu membentak marah. Tangan Ray yang memegangnya semakin menggenggam erat dengan gemetar. Saat melihat wajahnya, Reane terkejut melihat matanya memerah. Pupilnya gemetar, antara rasa takut, syok, sehingga menyusut.

"Nenek!" panggilan Reane langsung membuat Rose menoleh.

Melihat reaksi cucunya seperti itu, ekspresinya semakin khawatir. Dia sudah sangat familier, keadaan Ray saat ini awal kekambuhannya.

Dia langsung menatap Grehen. "Grehen! Bawa Ray! Tenangkan dia! Jika kamu tak mampu, masukan dan kunci dia kamarnya!"

Grehen tahu situasinya tidak baik. Dia langsung maju untuk membawa Ray sebelum semuanya benar-benar buruk. Namun ternyata tangan pria itu menggengam tangan kecil Reane dengan erat seperti mengunci, mungkin jika di lepas, tangan gadis itu akan memerah. Namun karena panik, Reane tidak bisa merasakan sakitnya.

"Tuan Muda ..."

"Pak, biar aku saja." Selaan Reane membuat Grehen dan Rose terkejut.

Keduanya akan membantah, namun Reane berkata setenang mungkin. "Tidak apa-apa. Aku bisa membuatnya tenang."

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang