14. Dependency🌷

107K 13.2K 333
                                    

Happy Reading

~•~

     Senja sore hari membentang indah di langit barat. Burung kecil dan kelelawar berseliweran di udara seolah menyambut datangnya malam gelap. Angin sepoi-sepoi kecil sesekali menyentuh dedaunan sehingga batang menari-nari di tubuh pohonnya.

Sebuah rumah besar yang biasanya terlihat suram, kini diselimuti kehangatan yang di sebabkan beberapa tamu berkunjung. Tidak lain tidak bukan, mereka adalah keluarga Helison yang sudah terkenal di kota akan kesuksesannya sejak beberapa tahun terakhir belakangan ini.

Ruangan yang biasanya sepi dan sunyi, kini terang dengan cahaya lampu kekuningan. Makanan lezat dan menggiurkan membentang memenuhi meja makan. Cemilan-cemilan manis serta makanan penutup sudah tersedia tersajikan di sana. Buah-buahan segar mengkilap menjulang tinggi di atas mangkuk indah berwarna emas dan perak.

"Bagaimana kabarmu, Reane?"

Reane yang tengah tegang dan sedikit gugup langsung tersentak. Ia bergerak senormal mungkin agar tidak terlihat bodoh dan lemah dihadapan mereka. Mengangkat kepala menatap wanita tua anggun diseberangnya, dia tersenyum lembut dan menjawab. "Saya baik-baik saja, Nek."

Senyum Rose semakin dalam. Suara wanita tua itu selembut penampilannya. "Jangan terlalu formal dan tegang. Kita semua di sini keluarga, bukan orang asing."

Apakah gerakanku terlalu jelas? Reane menarik nafas dalam-dalam sembari mengamati satu persatu orang di meja makan dalam diam.

Dia belum pernah merasakan berada dalam suasana ini. Dan mereka adalah orang-orang kalangan atas dari keluarga yang sama.

Wanita tua yang sangat ramah kepadanya sejak awal bertemu, tentu Reane bisa menebak siapa. Dia adalah Rose, nenek dari Ray. Rambutnya sudah setengah memutih, namun tergulung rapi dengan beberapa riasan. Senyum lembut dan ramah tak pernah lepas dari bibirnya yang berkerut sedikit pucat. Reane bisa membayangkan bagaimana cantiknya dia di saat masih muda.

Lalu di samping kanannya ada seorang wanita paruh baya cantik yang tak kalah anggun. Riasannya glamor namun tak berlebihan. Reane tak bisa menebak siapa dia saat pertama kali melihat di pintu kamar Ray, karena jika dia ibu Ray, dia terlalu muda. Atau mungkin dia awet muda? Entahlah. Yang pasti ternyata dia memang ibu Ray. Meskipun ia hanya menebak, namun keberadaan pria di sampingnya meyakinkan Reane bahwa pria itu ayah Ray. Mereka tak menunjukkan banyak ekspresi sejak awal, hanya menyapanya seformal mungkin. Terlebih, itu sangat terasing.

Reane tak berharap lebih, karena sejak awal ia sudah sedikit menebak sikap mereka terhadapnya. Namun tak menduga, sikap nenek Ray begitu lembut dan ramah, membuat Reane agak menghangat dan tersanjung.

Melihat lelaki yang berusia sekitar dua atau tiga tahun di atasnya di samping kiri wanita tua itu, Reane langsung menebak bahwa dia adalah kakak Ray. Penampilannya cukup cerah dan mencolok. Namun jika wajah tampannya di bandingkan dengan Ray, dia kalah jauh. Ray masih menjadi orang paling menarik nomor satu dihatinya. Sekalipun jika seandainya dia melihat pemeran utama yang sebenarnya, Reane sudah berniat untuk tidak tertarik.

Memikirkan itu, dia menoleh ke arah pria yang duduk dekat di sebelah kanannya. Dia terlihat sibuk memakan kue stroberi yang sempat dia suguhkan sendiri. Dan ternyata mata semua orang hampir terfokus pada suaminya itu. Hanya saja ... itu pandangan tidak nyaman. Terkecuali Rose tentunya yang masih menunjukkan ekspresi lembut.

"Kakekmu tidak bisa datang karena sakit pinggang dan tulang punggung."

Rose berkata tiba-tiba membuat atensi Reane kembali padanya. 'Alih-alih' menyebutkan 'suamiku' atau panggilan formal lainnya, Rose malah menyebut 'kakekmu' menjadi seolah merasa lebih dekat. Dan dirinya benar-benar cucunya. Reane merasa hatinya lebih hangat.

Dependency ✓ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang