Aku menatap lembaran penuh catatan dihadapaanku dengan serius,menit-menit terakhir sebelum bell berbunyi dan kami harus menatap soal-soal yang seketika membuat kepala sakit itu.
"Santai,Ly. Gue yakin lo udah prepare sejak lama. Nggak usah terlalu tegang gitu,deh." Kyka menatap jengan aku yang sedari tadi hanya diam diajaknya bicara.
"WOOY! Lo budek,ya?! " Ia akhirnya menyerah dan menjitak kepalaku kemcang.
"Gue nggak belajar malam tadi,Kikya!!! " Balasku berteriak.
"Hahh? Masa sihh lo nggak belajar? Nggak percaya gue."
"Iya,malam tadi kepala gue sakit banget. Nggak bisa dipaksain sama sekali. Jadinya tadi gue bangun jam tiga pagi buat ngejar ketinggalan materi." Jawabku lesu. Yang persiapan aja biasanya akan ada baku hantam dengan Ayahnya,apalagi kalau seperti ini?
"Tapi,Ly. Belajarnya secukupnya aja,jangan dipaksain ya." Kali ini Kyka berkata lebih lembut dan berhenti menggangguku.
___
"Apa?!! 65?!" Aku diam menunduk,tak berani melihat wajah orang itu.
"Ayah nggak salah denger?!" Teriaknya lagi.
"Kamu nggak belajar?!"
"Belajar,Yah." Jawabku pelan.
"Kamu ini emang bodoh atau gimana? Belajar tapi dapat nilai segitu? Ini itu mata pelajaran wajib di jurusan kamu July!" Wajahnya merah padam.
"Ini baru hari pertama,Yah. Masih ada hari esok." Kudengar langkah kakinya beranjak mendektaiku. Orang itu menyamakan wajahnya denganku yang masih berdiri di dekat pintu masuk rumah.
"Tatap mata Ayah." Kini aku bisa dengan jelas menatap manik mata itu. Orang itu peerlahan menggenggam pergelangan tanganku yang gemetar.
Suaranya merendah, "Seorang atlit lari ketika bunyi pistol terrdengar, sebenarnya sudah tahu apakah ia akan berlari kearah garis finish sebagai pemenang atau sebagai pecundang. Mereka tahu dari mana? Dari ketika ia menginjakkan kakinya untuk pertamakalinya,karena ia tahu,telat hanya beberapa milidetik ia melangkah,takdir juga dengan cepat berubah." Suara itu pelan dan dalam,menyayat hati.
"Kembali kekamar!" Perintahnya setelah menyentak tangan kananku.
___
Saat tiba dikamar,ku tatap pergelangan tangan kananku yang memerah,orang itu menggenggam tanganku untuk menyalurkan segala emosinya.
Perlahan aku menuju cermin didekat jendela kamar. Menatap pantulan diri yang terlihat disana.
Seorang remaja perempuan usia enam belas tahun. Air mata terlihat menggenang di pelupuk matanya,hanya menunggu waktu untuk terjun bebas. Masa-masa bahagianya telah usai sejak ia kelas lima SD. Ketika malam-malam penuh kehangatan berubah oleh teriakan - teriakan keputus-asaan.
"Aku yang akan membesarkan July!"
"Apa? Aku tidak salah dengar? Kamu saja tidak pernah ada waktu untuknya,dan sekarang kamu mau mengambil hak asuh July?" Ujar seorang laki-laki sarkastik.
"IYA,dibandingkan kamu. Aku tidak yakin July akan bahagia hidup bersama seorang Ayah yang hidupnya hanya bekerja dan terus bekerja."
"Tapi,lebih baik ia hidup dengan Ayah yang sibuk bekerja daripada dengan Ibu yang telah menghancurkan keluarganya."
"Aku memang tidak mencintai kamu,tapi bukan berarti aku tidak menyayangi July!"
"Terserah! Apapun yang kamu katakan,kita akan bertemu dipengadilan untuk melihat kepada siapa hak asuh July akan jatuh."
"Kamu tidak pernah menajadi sosok Ibu bagi July!"
"Dan kamu,selalu memaksa July untuk hidup dengan ekspektasi kamu,dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri jika bersama kamu!!"
Sekelabat bayangan kejadian itu hinggap di otak July. Ia mengerjap pelan untuk menghilangkannya.
Ia ambil sebuah cutter dari salah satu laci nakas. Biarlah. Hari ini ia biarkan lagi dirinya terluka. Segenap rasa di dadanya sudah terlalu sesak,tapi tak kunjung bisa dikeluarkan. Hanya sejenak,biarkan ia terluka,agar dirinya lega.

KAMU SEDANG MEMBACA
July
Ficção Adolescente"Kaka nyata,tapi disaat yang bersamaan Kaka juga nggak ada." -July "Kaka akan datang. Kaka janji."- Han "Lo selalu bisa jadiin gue sebagai rumah." - Alden "Rumah gue,rumah lo juga kok." -Kyka