7

5 5 3
                                    

"Aku menyukaimu, karna memang sudah ditakdirkan begitu"

Di Jam pelajaran ke 5 dan 6, guru-guru mengadakan rapat dan murid- murid dibiarkan bermain-main. Seperti sekarang aku duduk didepan kelas, sambil menatap kebawah melihat orang-orang berpacaran, foto-foto, ataupun nyanyi bersama-sama, tetapi aku lebih fokus menatap orang yang sedang bermain futsal, tepatnya Razka. Melihat dia berlari kesana kemari mengejar bola, rambutnya yang lompat-lompat ketika berlari, badannya yang basah oleh keringat membuat bentuk tubuhnya tercetak jelas, sesekali dia mengumpat dan tertawa bersama
temannya.

"Lo suka ya sama Razka?" Zea menatapku dengan alis menukik, menuntut kejujuran.

"Keliatan ya?"

"Jelas banget gila, satu sekolah juga bakalan tau kalo lo natap dia kek gitu"

"Emang gue natap dia gimana? biasa aja"

"Biasa aja pala lo, lo itu natap dia seakan akan dia itu taehyung ck"

Aku hanya tertawa pelan menanggapinya. Sepertinya aku memang sudah jatuh dalam pesona seorang Razka Fahreza Langitara. Buktinya mataku tidak bisa beralih darinya, menatapnya membuat aku berdebar dan juga candu. Razka sudah menjadi objek favoritku.

"Kenapa coba lo harus suka sama orang kayak dia?"

"Emang kenapa kalo gue suka sama dia?"

"Astaga yuri! Dia itu cool, 11 12 sama lo tapi dia 12, lo 11 nya, kalo seandainya lo sama dia lo mau ngomongin apa? Orang sama sama kaku gitu,paling diam-diaman doang kek tembok" Cerocosnya panjang lebar.

"Salah ya gue suka cowok kayak dia?" Ucapku meminta jawaban.

"Salah banget, harusnya lo suka sama cowok yang ekstrovert biar hidup lo lebih bewarna lagi, biar dia bisa buat lo tersenyum lebar tiap hari, lah kalo Razka? dia itu susah banget ri, lo tau kan Gea yang cakep di IPA 7 itu? Gea aja yang ajak dia ngomong ga ditanggepin sama dia, apalagi lo? bukan maksud gue ngeremehin lo atau buat lo insecure sama cewek yang deketin dia tapi dia itu abu abu ri, susah ketebak"

Hening. Aku hanya diam menyimak dalam diam perkataan Zea. Aku tau kita adalah sesuatu yang begitu sulit untuk menyatu. Tapi apalah kata, bisakah kita memilih kemana hati harus berlabuh?

"Gue cuma gamau lo sakit hati gara-gara dia padahal dia ga ngapa-ngapain lo ri"

Aku paham sekali kekhawatiran Zea, dia takut aku menjadi manusia yang lebih pendiam lagi, lebih sendu lagi.

"Makasih Ze atas perhatian lo"

Aku masih menatap Razka dalam diam, membiarkan perkataan ku hilang ditelan angin karna tidak mendapat jawaban lagi dari Zea, aku tau dia tidak mau melihat aku sedih padahal melihat aku bahagia dalam jatuh cinta saja belun pernah.

"Gue juga gamau jatuh hati sama dia Zea,Tapi jatuh hati tidak pernah bisa memilih,Tuhan yang memilihkan, Kita hanya korban, Kecewa itu konsekuensinya, dan bahagia itu bonusnya" Aku juga tidak mau jatuh hati lagi, kecewa lagi, tapi apakah aku bisa memilih? Kalau seandainya bisa, aku lebih memilih untuk tidak pernah jatuh hati, tidak apa jika perasaan ku kosong karna dengan begitu hidupku jauh lebih tenang.

"Kalau gue udah jatuh, apapun itu sakit senang  kecewa bakal gue terima Ze, lo cuma perlu support gue" Aku melihat Zea yang sudah mencebikkan bibirnya sedih,  aku terkekeh pelan.

"Kenapa sedih si Ze, gue jadi ngerasa kalau gue manusia termenyedihkan tau" Aku menatapnya sebal, Zea mendengus kasar, lalu menghadap kearahku dan memelukku erat.

"Gue cuma bisa doain lo Yuri, semangat mencintai dalam diam, semoga lo kuat" Ucapnya parau.

"Iya lo kan tau gue kuat" aku membalas pelukan itu. Ya, semoga aku kuat mencintai dalam diam, lagi.

Bel pulang berbunyi, siswa siswi berteriak kegirangan dan mulai dorong mendorong memenuhi koridor. Aku menghela nafas, hari ini aku piket dan 5 orang lainnya. Tapi setelah aku balik dari toilet aku tidak menemukan seorangpun dikelas, hanya tas ku yang tersisa. Pasti mereka lupa, kebiasaan ketika jamkos diakhir. Aku juga ingin pulang meninggalkan kelas ini dalam keadaan kotor dan berantakan tapi besok aku bisa mati dihukum oleh guru tergalak apalagi dia datangnya subuh subuh. Mengingat itu dengan berat hati aku membersihkan sendirian, demi tidak teekena amukkan dipagi hari.

Kurang lebih 15 menit aku selesai menyapu bersih kelas dan menyusun kursi seperti semula, hanya tinggal memasukkan sampah ke dalam tong sampah menggunakan sekop.

"Anata"

"Astaga" Aku terkesiap sampai sampah yang sudah ku kumpulkan diatas sekop bertebaran kembali. Menoleh kesamping mendapati Razka berdiri tegak serta senyum tipis yang menghiasi bibirnya.

"Ngagetin aja" decakku sedikit sebal.

"Haha... Maaf ta" Seperti biasa dia dengan tawa renyahnya yang selalu merdu ditelingaku. Aku hanya menanggapinya dengan deheman.

"Sendirian aja? Tanyanya sambil menyondongkan kepala menengok ke dalam kelasku.

"Iya udah pada cabut" ucapku seadanya.

"Kok mau aja sendiri? biarin lah, mereka jadi keenakan nantinya"

"Maunya gitu, tapi besok sama bu nopi, bisa mati gue" Fyi, bu nopi itu guru fisika yang sangat disiplin dan juga tegas, yang kalau ditatapnya saja membuat gemetaran.

"Oh gitu" jawabnya pendek.

"Lo ngapain kok belum pulang?" Tanyaku menatapnya, karena dia juga tipe orang yang tidak suka berlama lama disekolah dari yang kuamati.

"Habis piket juga"

Aku hanya mengganggukan kepala paham, meletakan sapu dan juga sekop sampah disudut kelas, dan mengambil tas, ku lihat dia masih berdiri didepan sambil bermain hp, sepertinya sedang membalas chat seseorang.  Aku mengunci pintu kelas, dan berdehem pelan.

"Hm gue duluan ya" ucapku sambil mengambil langkah pelan tanpa menunggu jawaban darinya.

"Kok duluan? Bareng lah" ucapnya sambil memasukkan hpnya kedalam saku celana, dan berusaha menyamai langkahku.

"Kirain lagi nunggu seseorang" ucapku sambil mengeratkan pegangan pada tali tas.

"Iya lo seseorangnya" jawabnya, lagi lagi dengan tawa renyahnya. Aku hanya mendengus tapi tak ayal tersenyum tipis.

"Bawa motor?" Tanyanya padaku sambil berjalan menuruni tangga.

"Iya"

"Mau bareng ga?"

" Kan bawa motor" ucapku memandang heran kearahnya.

"Tinggalin aja" balasnya santai.

"Dih gamau" ucapku tertawa pelan, dia juga ikut tertawa.

"Padahal mau minta tolong" katanya terdengar sedikit kecewa.

"Tolong apa?"

"Temenin beli gitar baru" jawabnya sambil menggaruk tengkuknya. Aku menoleh kaget, apakah ini nyata? Razka minta ditemani beli gitar kepadaku? Astaga tolong aku bingung harus senang apa sedih.

"Kok ga sama temen lo yang lain?" Tanyaku heran, karena mungkin lebih nyaman.

"Pada sok sibuk"

"Gimana ya ka, gue udah bilang ke bunda juga soalnya mau nemenin dia ke rumah temennya habis ini"

"Oh yaudah gapapa" katanya sambil tersenyum tipis kepadaku, tapi aku bisa menangkap sirat kecewa di matanya, dan itu membuat aku merasa bersalah.

"Gimana kalau besok?" Tanyaku sedikit ragu.

"Mau?" Dia langsung menoleh ke arahku dengan wajah ceria.

"Iya mau"

"Oke besok ya abis pulsek"

"Iya"

"lo gausah bawa motor, bareng aja, nanti biar gue yang nganterin pulang"

"Oke" Kita sudah sampai diparkiran sekolah, aku mulai memasang helm ku, aku tidak perlu susah mengeluarkan motor karena parkiran sudah sepi.

"Anata gue duluan ya, jangan lupa besok" katanya sambil tersenyum lalu melesat pergi meninggalkan aku yang sedang berdebar, membayangkan, besok akan semenyenangkan apa.





















FavoritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang