Prolog

328 32 29
                                    

Toyota Yaris pink itu melaju dengan kecepatan tinggi di jalan lintas Sumatera. Guncangan demi guncangan tak terhindarkan. Sang empunya lebih cemas dengan gelapnya malam, dari pada sekadar jalan tak rata.

Penat. Sudah empat jam dia menyetir. Padahal, Wildan kakaknya, sudah mewanti-wantinya agar jangan terlalu siang memulai perjalanan, supaya tidak kemalaman. Tetapi keputusan untuk berangkat baru terjadi di saat-saat terakhir. Dan mengepak barang-barang bukanlah perkara yang mudah.

Semoga saja tidak ada yang ketinggalan.

Akan repot sekali jika ada barang kecil yang terlupa, sedangkan tempatnya begitu terpencil, jauh dari mana pun.

"Jangan berharap ada mall, ada warung kecil saja sudah bersyukur," kata Wildan menakutinya.

Tidak apa-apa. Dia tidak membutuhkan mall saat ini, melainkan hanya ketenangan.

Tetapi apa dia akan mendapatkannya di sana?

Dia belum pernah bepergian hingga sejauh ini sendirian. Dulu, selalu saja dengan Ibad.

Kak Ibad.

Nama itu yang menjadi alasannya untuk pergi meninggalkan Palembang. Ingin melarikan diri sejauh mungkin darinya.

Dia sangat berharap agar pria di tempat tujuannya ini mau membantunya. Minimal menampungnya sementara sambil mendengarkan uneg-unegnya.

Namun, hatinya sempat patah karena ditolak mentah-mentah. Teleponnya diabaikan, WA-nya langsung diblokir begitu dia mengatakan akan berkunjung.

Meski rasa tersinggung justru semakin menyalakan tekad untuk menemuinya, tetap saja ada keraguan mengingat jarak yang begitu jauh.

Laju mobil melambat ketika melewati permukiman. Maisarah memutuskan turun dan bertanya kepada seorang lelaki paruh baya yang masih duduk di depan sebuah warung kecil. Desa Gunung Meraksa hanya berkisar satu kilometer lagi. Perasaannya menjadi sedikit lega.

Dia mengecek kembali posisi peta dari aplikasi GPS-nya. Garis-garis segitiga di kanan atas layar ponselnya sudah tidak ada, pertanda sinyal benar-benar raib.

Jadi, percuma saja usahanya merayu petugas ekspedisi langganan kantor itu. Bukan mustahil peta kebun yang ia kirimkan malah melenceng jauh dari lokasi yang sebenarnya.

Barisan pohon sawit mulai terlihat setelah beberapa meter berkendara. Dia mulai mengurangi kecepatan demi menemukan plang gerbang penunjuk lokasi - yang kata Wildan ada - beberapa meter setelah melewati gerbang desa.

Akhirnya ketemu. Nyaris tidak terlihat karena tertutup rimbun dedaunan dan semak yang menjulur. Sepertinya plang itu tidak pernah diganti, sejak Wildan mengunjunginya bersama Bapak, sembilan belas tahun lalu.

Maisa tak habis pikir. Kata Wildan, ini perkebunan besar. Namun, pamflet iklan sedot WC saja masih lebih bagus dari pada plang penunjuk jalan masuknya.

Mungkin, alasannya agar lahannya tidak mudah dimasuki oleh orang asing. Maisa tahu dia sangat tertutup. Tapi tentu saja Maisarah bukan orang asing baginya. Awas saja jika sampai menganggapnya begitu, maka reuni ini akan berubah menjadi pertemuan penuh darah.

Dia membelokkan mobil dan mulai memasuki jalan tanah becek, luar biasa jelek. Mungkin sore tadi turun hujan di wilayah ini.

Suasana gelap semakin menambah kengerian. Tak ada penerangan apa pun. Sepertinya, sang pemilik tidak mau juga memasang lampu di satu-satunya jalan masuk ke lahan miliknya ini.

Atau jangan-jangan, ada jalan lain?

Rasa ragu menghentikannya.

Bagaimana jika ini adalah jalan yang salah dan berujung pada negeri antah berantah?

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang