17. Reuni

74 14 6
                                    

Pasti banyak yang terkejut ketika mendengar namanya disebut.  Beberapa orang di barisan sebelah kanan, dekat panggung, bahkan berdiri dan melongokkan kepala ketika melihatnya berjalan di atas karpet merah itu.  Maisa semakin erat mencengkeram lengannya. Dia berjalan di samping Cakra dengan kepala tertunduk.

Maisa melepasnya di depan tangga, Cakra naik sendirian.  Arkan menyambutnya, segera memberikan tempat untuk berfoto. Dia berfoto bersama mereka. Arkan mengenalkan dirinya secara singkat kepada mempelai laki-laki dan keluarganya. Hanya itu yang sempat dilakukan.

Dia turun dari panggung dengan perasaan berdebar.  Melewati barisan kursi di sebelah kanan, tempat keluarga besarnya duduk berkumpul.  Semua mata mereka kini tertuju padanya.  

Cakra tak sempat meresapi suasana asing itu, Maisa kembali memeluk lengannya, setengah menyeretnya untuk menghampiri Ratika, ibu tirinya yang duduk di barisan terdepan.  Di atas kursi roda.

"Kau pulang," ucapnya, ketika menyambut tangan Cakra yang lalu menciumnya.

"Ibu sehat?" tanya Cakra setelah berdiri.

Ratika mengangguk sedikit.  Bibirnya melengkung ke bawah dengan alis terangkat, menunjuk ke arah kursi rodanya.  Sorot matanya masih terasa sama.  Dingin dan angkuh.

Cakra melanjutkan mencium tangan beberapa orang lagi di sebelah Ratika.  Wanita-wanita yang sebaya dengan ibu tirinya.  Cakra tidak mengenali mereka.  Mungkin, mereka adalah kerabat Ratika.

"Kau istrinya?" tanya salah seorang wanita itu, ketika Maisa ikut mencium tangannya.

"Bukan, Cek Ma," suara berat Ratika menyelanya, "Dia anaknya Shafiyah.  Mantan menantu Kak Hasna."

Wanita itu terkejut, "Mantan menantu Kak Hasna? Apa kau istrinya Ibad? Ah, jadi sudah bercerai kalian?"

Maisa mengangguk takut-takut. Mata-mata tua itu menatapnya dengan sorot penuh penghakiman.  Dengan canggung, dia sedikit menyembunyikan diri di belakang Cakra.

"Lalu, di mana istrimu?" tanya wanita berkerudung merah, di sebelah kanan Ratika.  Matanya jelas menunjukkan ketidaksukaan pada sikap Maisa yang masih menempel pada Cakra.

"Sedang berbulan madu, bersama suami barunya, Macik," jawab Cakra tenang.

Ketiga wanita di depannya terbelalak, saling pandang satu sama lain.

"Dia pun sudah lama bercerai," jelas Ratika dingin.

"Ck, ck, anak-anak jaman sekarang, kelakuannya memang jauh berbeda dengan kita," ucap salah seorang dengan mata mendelik. 

"Bagi mereka, pernikahan itu seperti main-main saja," timpal yang lain mencemooh.

"Kau harus mewanti-wanti anak dan cucumu, Tika.  Jangan sampai meniru perbuatan misan-misannya.  Anak-anakku, syukurlah tidak ada yang begitu," sahut seorang lagi pada Ratika.

"Eh, dia ini bukan misan si Arkan," tunjuk wanita di sebelah kiri Ratika pada Cakra.

Ratika sedikit menoleh ke arah wanita yang tadi menasihatinya.  "Dia anak tiriku, Cek Da.  Anak Admiral dengan istri mudanya."

"Oh, jadi ini anak Komering itu," sahut yang lain.

"Pantas lah," gumam seseorang.

Cakra memijit dahi sembari meniup nafas pelan. Mulai merasa gerah mendengarkan obrolan keempat wanita tua itu. Dia ingin segera beranjak, tetapi bingung mencari alasan.  Maisa pun merasakan hal yang sama. Mereka terjebak situasi.

"Nda!"

Panggilan Ibad, menyelamatkan mereka.

Lelaki itu mendekat.  Ketika melihat Ratika dan keempat wanita itu, dia berinisiatif untuk mencium tangan lebih dulu, seraya menyebutkan nama mereka satu persatu.  Tentu Ibad mengenal mereka.  Ibunya adalah sepupu Ratika.

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang