8. Ajeng

123 15 7
                                    

Siang yang panas, dan Cakra tidak punya lagi bahan untuk dimasak.  Rasa lapar membawanya datang kembali ke warung makan di perkampungan belakang kompleks perkebunan di jam tiga sore.

Sering berkunjung ke perkampungan ini membuat Cakra menjadi familiar dengan situasinya.  Banyak warga yang sudah mengenalnya, menyapanya saat berpapasan. Kebanyakan ibu-ibu.  Dia jarang bertemu dengan kaum lelaki kampung itu saat makan siang. 

Pernah sekali waktu dia mencari makan di waktu malam, tetapi tidak ada lagi warung makan yang buka.  Hanya ada sebuah kedai kecil yang menjual kopi, mi instan, dan beberapa merek minuman keras murahan.  Namun, suasana kampung justru lebih ramai.

Dekat dengan warung makan itu, terdapat pondok kayu kosong tak berdinding.  Saat malam, tempat itu ramai oleh lelaki dewasa yang main gaple.  Sepertinya judi, karena celoteh kasar sering terdengar.  Sekilas, Cakra juga melihat uang yang dihempaskan mereka di lantai pondok. 

Di siang hari, biasanya pondok itu kosong atau menjadi tempat nongkrong remaja-remaja sepulang sekolah.  Namun, kali ini Cakra melihat ada seorang pria dewasa duduk di sana.  Lelaki kekar yang hanya memakai celana panjang dan kaus dalam, bersandar pada tiang pondok dengan botol minuman keras di tangannya. 

Dia baru saja memasukkan suapan terakhirnya ketika insiden itu terjadi.  Lelaki itu, tiba-tiba saja bangkit dan berjalan sempoyongan, melewati tempatnya makan sambil menunjuk-nunjuk dan berteriak.  

"Mau apa lagi kau ke sini!? Sudah kukatakan, tidak usah datang-datang lagi ke sini!"

Cakra melarikan pandangan ke arah yang ditunjuk.  Sebuah rumah panggung dengan tangga separuh dari batu.  Dua  orang wanita, dan seorang anak perempuan terlonjak mendengarnya.  Seorang di antaranya bercadar.  Bahasa tubuh mereka memperlihatkan rona ketakutan.  Sementara si lelaki pemabuk itu semakin mendekat. 

Ketiganya bergegas turun dari undakan rumah menuju ke bawah.  Sebuah sepeda motor terparkir di bawah tangga.  Belum sempat mencapainya, lelaki itu sudah sampai di hadapan mereka. 

Cakra memicingkan mata untuk melihat lebih jelas, sambil menuci tangannya di wastafel depan warung.  Pemilik warung ikut keluar dan berdiri di samping Cakra.  Beberapa tetangga kiri kanan rumah panggung itu juga memasang mata, tetapi tidak ada yang berani melerai bahkan sekadar mendekat.

"Jangan pengaruhi anak istriku.  Kau dengan ajaran sesatmu tidak diterima di sini!" teriaknya menggelegar.   Botol yang dipegangnya teracung ke arah wanita bercadar itu.

"Ck ... si Badar berulah lagi," desah suara di samping kiri Cakra.  Bukan pemilik warung, tetapi wanita lain yang baru disadari Cakra keberadaannya.

"Tapi memang si Ajeng salah juga.  Lah, Bapaknya tidak mengizinkan anaknya belajar di pesantren, masih juga didatangi.  Si Indari juga tidak mikir kalau suaminya seperti itu," timpal pemilik warung.

Jadi itu Ajeng

Dia yang sekarang sedang tersudutkan di balik anak tangga, sedangkan lelaki mabuk itu telah menghantamkan botol beling kosongnya di undakan batu.  Ditingkahi pekik wanita bernama Indari, istri lelaki itu, dan tangis anak perempuannya.

"Iyo.  Tapi Indari itu kan masih sepupunya Ajeng.  Jadi wajar saja kalau dia masih suka datang dan ingin keponakannya belajar dengannya.  Lagi pula si Winda itu kelihatannya memang suka belajar di pesantren itu.  Mau sekolah sendiri, Bapaknya tidak mau mengurusi dan membiayai," balas wanita satunya.

Cakra hanya tertegun.  Matanya masih mematri adegan di bawah tangga rumah itu.

"Bapak sudah selesai makannya?" tanya pemilik warung sambil tersenyum, mengalihkan perhatian Cakra.  Dia mengiyakan.  Mereka berdua kembali ke dalam warung untuk menyelesaikan transaksi.

Relung Cakrawala (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang